Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi "Pasek Dukuh Bunga Asahduren": 2012

Jumat, 14 Desember 2012

Leluhur Orang Bali Mula (Bali Aga) Penduduk Asli Pulau Bali

Pulau Bali adalah pulau dengan segala keunikkan kekayaan alam, budaya dan pesonanya telah tersohor ke seluruh dunia. Penduduk yang tinggal di Bali mayoritasnya adalah pemeluk agama Hindu dengan adat istidat leluhur yang sangat kental didalamnya. Tidak jarang  upacara-upacara yang diadakan di Bali menarik minat wisatawan khususnya wisatawan mancanegara yang baru pertama kali melihatnya. Namun pernahkah terbersit siapa yang pertama kali menempati pulau dengan sejuta pesona ini? Mengapa agama Hindu begitu berkembang pesat didalamnya.
Diperkirakan yang menjadi cikal bakal manusia yang menempati pulau Bali adalah bangsa Austronesia dilihat dari peninggalan-peninggalan yang tersebar di Bali berupa alat-alat batu seperti kapak persegi. Bangsa Austronesia berasal dari daerah Tonkin, Cina kemudian mengarungi laut yang sangat luas menggunakan kapal bercadik. Kejadian ini terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi.
Bangsa Austronesia memiliki kreasi seni yang sangat tinggi mutunya. Terbukti dari hiasan-hiasan nekara dan sarkofagus , peti mayat lengkap dengan bekal kuburnya yang masih tersimpan rapi di Bali. Bangsa ini juga memiliki kehidupan yang teratur dan membentuk suatu persekutuan hukum yang dinamakan thana atau dusun yang terdiri dari beberapa thani atau banua. Persekutuan hukum inilah yang diperkirakan menjadi cikal-bakal desa-desa di Bali. Bangsa inilah yang kemudian menurunkan penduduk asli pulau Bali yang disebut Orang Bali Mula atau ada juga yang menyebut Bali Aga.
Ketika itu orang-orang Bali Mula belum beragama. Mereka cuma menyembah leluhur yang mereka sebut Hyang. Dari segi spiritual mereka masih hampa, hal ini berlangsung sampai abad ke empat sesudah masehi. Melihat pulau Bali yang masih terbelakang maka penyiar Agama Hindu berdatangan ke pulau ini. Selain untuk mengajarkan agama mereka juga ingin memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan. Maka muncullah seorang Resi ke Bali yang bernama Resi Maharkandya. Resi Maharkandya dalam suatu pustaka dikatakan berasal dari India.
Nama Maharkandya sendiri bukanlah nama perorangan namun nama suatu perguruan yang mempelajari dan mengembangkan ajaran-ajaran gurunya. Resi Maharkandeya menolak semua marabahaya yang menghadang setelah diberikan petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa untuk melakukan upacara penanaman lima logam yang disebut panca datu di daerah yang disebut dengan nama Wasuki yang berkembang menjadi Basuki yang artinya keselamatan. Disinilah awal mula kehidupan harmonis antara masyarakat pendatang yang membawa ajaran agama Hindu berakulturasi dengan orang Bali Mula yang menjadi penduduk asli pulau Bali.
Di daerah Basuki ini akhirnya dibangun sebuah pura yang terbesar di Asia Tenggara yakni Pura Besakih. Setelah kerajaan Majapahit runtuh, pemeluk agama Hindu terdesak oleh datangnya agama Islam yang menduduki pulau Jawa sehingga harus menghindar dan pindah ke pulau Bali. Sehingga makin banyak orang yang tadinya berasal dari Jawa akhirnya bermukim dan mengembangkan agama Hindu sampai begitu pesatnya di Pulau Bali.
Perbedaan yang mencolok antara Bali Mula dengan Bali yang datang dari Majapahit tampak dari upacara kematiannya. Orang Bali Mula melaksanakan upacara kematiannya dengan cara di kubur atau ditanam, yang disebut beya tanem. Sedangkan untuk orang Bali yang pendatang biasanya melakukan upacara kematian dengan cara dibakar. Hal ini dapat dijelaskan karena Bali Mula merupakan keturunan Austronesia dari jaman perundagian. Tradisi ini sudah begitu melekat dan sulit untuk dirubah.
Sekarang tempat dimana kita menemukan komunitas Bali Mula atau Bali Aga adalah di Desa Tenganan yang dapat diakses dengan mudah yakni hanya 5 kilometer dari daerah Candi Dasa Bali. Jika ingin yang lebih ekstrim dan pedalaman bisa mengunjungi Desa Trunyan di pinggir Danau Bratan yang terkenal dengan pohon Banyan yang mengeluarkan harum yang khas sehingga mayat-mayat disana yang notabene tidak dibakar dan dibiarkan begitu saja diletakkan dekat pohon tersebut tidak menimbulkan bau sama sekali.
Desa Trunyan
Desa Trunyan
Pohon Trunyan
Pohon Trunyan
Pura Besakih
Pura Besakih
Bali
Bali

Seluk Beluk Caru dan Tawur

Pendahuluan
Dalam Bahasa Sanskerta, caru artinya cantik, indah, harmonis; dalam Bahasa Kawi, caru artinya kurban. Sebagai kata kerja, mecaru artinya menghaturkan kurban untuk memperindah dan mengharmoniskan sesuatu. Dalam arti yang lebih tegas, mecaru adalah suatu upacara kurban yang bertujuan untuk mengharmoniskan bhuwana agung dan bhuwana alit agar menjadi baik, indah, lestari.
Dengan demikian, upacara mecaru adalah aplikasi dari filosofi Trihitakarana, seperti yang disebutkan dalam Lontar Pakem Gama Tirta, agar terjadi keharmonisan dalam hubungan antara manusia dengan Sanghyang Widhi (Parhyangan), hubungan antara manusia dengan sesama manusia (Pawongan) dan hubungan antara manusia dengan alam (Palemahan).

Palinggih Hyang Kompiang, Kawitan, Paibon, Padarmaan

Tattwa, Kedudukan, dan Perbedaannya
Pulau Bali pernah mengalami musibah besar di mana rakyatnya melarat karena bencana alam yang sambung menyambung, tanaman pangan selalu rusak karena diserang hama, dan wabah penyakit menjalar cepat mematikan manusia dan binatang peliharaan.
Menurut Rontal Purana Pasar Agung hal ini disebabkan karena penduduk Pulau Bali tidak “ngaturang aci” dan bersembahyang ke Pura Besakih. Ketika pemerintahan Raja Mayadanawa selama 15 tahun, yaitu sejak tahun 959 Masehi sampai dengan tahun 974 Masehi, rakyat Bali memang benar dilarang ngaturang aci dan bersembahyang ke Besakih.
Para tentara kerajaan membangun pos penjagaan pertama di pinggir sungai Balingkang (letaknya di timur pasar Menanga sedikit lewat jembatan sekarang dikenal dengan pelinggih Yeh Ketipat) dan kedua, di Pura Manikmas sekarang, untuk menjaga agar tidak ada penduduk yang datang ke Besakih.

ARTI LAMBANG SWASTIKA DALAM AGAMA HINDU



LAMBANG SWASTIKA HINDU
Swastika merupakan salah satu simbol yang paling disucikan dalam tradisi Hindu, merupakan contoh nyata tentang sebuah simbol religius yang memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang kompleks sehingga hampir mustahil untuk dinyatakan sebagai kreasi atau milik sebuah bangsa atau kepercayaan tertentu.

Diyakini sebagai salah satu simbol tertua di dunia, telah ada sekitar 4000 tahun lalu (berdasarkan temuan pada makam di Aladja-hoyuk, Turki), berbagai variasi Swastika dapat ditemukan pada tinggalan-tinggalan arkeologis ( koin, keramik, senjata, perhiasan atau pun altar keagamaan) yang tersebar pada wilayah geografis yang amat luas.

Rabu, 03 Oktober 2012

Pura Goa Lawah


Pura ini berdiri di wilayah pertemuan antara pantai dan perbukitan dengan sebuah goa yang dihuni beribu-ribu kelelawar. Lontar Padma Bhuwana menyebutkan Pura Goa Lawah merupakan salah satu kahyangan jagat/sad kahyangan sebagai sthana Dewa Maheswara dan Sanghyang Basukih, dengan fungsi sebagai pusat nyegara-gunung. Bagaimana sejarah pura yang menempati posisi di bagian tenggara itu?


Pura Goa Lawah merupakan suatu kawasan yang suci dan indah. Di situ ada perpaduan antara laut dan gunung (lingga yoni). Seperti namanya, di pura ini terdapat goa yang dihuni ribuan kelelawar. Gemuruh riuh suara kelelawar tiada henti, pagi, siang, apalagi malam. Sekejab puluhan, ratusan bahkan ribuan ekor terbang. Sebentar lagi datang, bergantungan, bergelayutan, beresak-desakkan di dinding-dinding karang goa. Terdengar begitu riuh bagaikan nyanyian alam yang abadi sepanjang mas. Belum lagi munculnya ular duwe, lelawah (kelelawar) putih, kuning dan brumbun, menambah suasana makin mistik di Pura yang berada di Desa Pesinggahan, Dawan, Klungkung itu.

Sementara di mulut goa terdapat beberapa palinggih sthana para Dewa. Di pelatarannya, juga berdiri kokoh beberapa meru dan sthana lainnya.
Lokasinya sekitar 20 kilometer di sebelah timur kota Semarapura, Klungkung atau kurang lebih 59 kilometer dari kota Denpasar. Hari piodalan/pujawali di pura ini dilaksanakan setiap enam bulan sekali (210 hari) yakni pada Anggara Kasih Medangsia. Upacara biasanya nyejer selama 3 hari dengan penanggung jawab, pengempon pura yakni Krama Desa Pakraman Pesinggahan.

Minggu, 03 Juni 2012

Galungan : Menang Melawan Diri Sendiri

dambho darpo’fimansca
krodhah paarusyam eva ca,
ajnyanam ca abhijatasya
parta sampadam asurin.

(Bhagawad Gita.XVI.4).
Maksudnya: Sifat takabur atau berpura-pura, membangga-banggakan diri, pembenci, kasar, mengagung-agungkan kewangsaannya, bodoh tanpa ilmu pengetahuan oh Partha, itu adalah ciri-ciri orang yang tergolong bersifat keraksasaan.

Membumikan Simbol Galungan pada Tataran Sosial

BALI, 31 Januari 2012 (Bali Post) :
Oleh I Gusti Ketut Widana
Apa pun yang namanya simbol adalah sebatas alat, piranti atau media komunikatif, informatif sekaligus imperatif (ajakan) untuk bagaimana menyingkap makna di balik simbol itu lalu mengimplementasikannya ke dalam bentuk perilaku. Pada level teoretis, simbol adalah semacam tanda atau penanda yang menggerakkan pikiran untuk tidak semata-mata berhenti pada tingkatan pengetahuan, tetapi lebih penting lagi mewujudnyatakannya ke dalam tataran perilaku, yang oleh Mead dalam Ritzer (2007) dikatakan ada dua (2) jenis, yaitu perilaku lahiriah (yang sebenarnya) dan perilaku tersembunyi (simbol dan makna).
Dalam konteks Galungan, korelasi perilaku lahiriah yang tampak menonjol masih bergerak di seputaran perilaku tersembunyi lewat prosesi ritual yang harus diakui masih stagnan konseptual, dan belum mantap terekspresi ke dalam konteks perilaku unggul di tataran sosial. Padahal filosofi Galungan itu sendiri sarat simbol signifikansi, yang seharusnya mampu menstimulus umat Hindu untuk terus berjuang menegakkan

Memaknai Galungan secara Benar

BALI, 31 Januari 2012 (Bali Post) :
Rabu besok, 1 Februari 2012, masyarakat Hindu di Bali akan merayakan hari raya Galungan. Karena berulang setiap enam bulan sekali, kesannya seperti rutitas saja. Tetapi tentu dari segi pemaknaan, kita tidak boleh memandang sebagai rutinitas belaka. Secara sosial, pemahaman Galungan sebagai hal yang bersifat rutin sangat berbahaya karena pesan yang dimaknakan dalam hari tersebut akan jauh menyimpang. Pemahaman akan Galungan sebagai hal yang bersifat rutin akan membuat manusia Hindu (Bali) sekadar membuat penjor, mempersiapkan makanan atau sekadar datang ke pura saja. Setelah itu selesai karena hal yang bersifat rutin sudah dikerjakan, untuk selanjutnya begitu lagi terulang enam bulan berikutnya. Sekali lagi, ini berbahaya. Padahal, makna hari raya Galungan adalah merayakan kemenangan dharma melawan

Kuningan, Anugerah Kemenangan dengan Ilmu Pengetahuan

Haywa amuja bebanten kalangkahin tajeg Sang Hyang Aditya asuk juga kawengania, apan yan tajeg Sang Hyang Surya, Dewata amoring swarga. (Petikan Lontar Sunarigama)
Maksudnya: Janganlah mengaturkan bebanten (Kuningan) setelah lewat tengah hari. Kalau sampai lewat tengah hari maka para Dewata telah kembali ke sorga.
Umat Hindu di Nusantara menyelenggarakan upacara Hari Raya Kuningan pada waktu pagi hari sebelum matahari tegak atau tengah hari. Mengapa demikian? Umumnya umat kebanyakan mengatakan agar jangan ketemu dengan Dewa Berung. Padahal tidak ada konsep Agama Hindu yang menyatakan bahwa Dewa itu bisa berung atau luka di badannya. Pandangan yang salah itu mungkin pada awalnya berasal dari orang yang berpengaruh tetapi tidak begitu paham akan ajaran atau petunjuk tentang perayaan Galungan dan Kuningan.
Perayaan Kuningan dilakukan pagi hari karena hari raya tersebut adalah simbol hari anugerah Tuhan atas perjuangan umat menegakkan dharma yang disimbolkan dengan prosesi perayaan Galungan. Menurut

Adat Hindu Harus Selalu “Nutana”

BALI, 19 Februari 2012 (Bali Post) :
Weda, sabda suci Tuhan dengan syair suci yang disebut Mantra, berjumlah sebanyak 20.389 Mantra. Isinya adalah Sanatana Dharma atau kebenaran yang kekal abadi. Artinya, isi ajaran Weda itu tidak akan pernah lekang atau usang oleh ruang dan waktu. Kapan saja dan di mana saja kebenaran Weda itu akan tetap berlaku. Karena isi Weda itu universal. Maka, berbagai pustaka Hindu menyatakan bahwa Weda itu harus ditradisikan sesuai dengan keberadaan zaman dan umat penganut Weda.
Agar selalu dapat mengikuti kebutuhan dan perkembangan zaman maka Sarasamuscaya 260 menyatakan dengan istilah Weda Abhiyasa. Artinya, Weda itu hendaknya diterapkan menjadi kebiasaan hidup sehingga menjadi adat istiadat yang membudaya diikuti oleh umat penganut Weda. Demikian juga dalam Manawa Dharmasastra II,12 dan 18 ada istilah Sadacara yang artinya juga sama yaitu mentradisikan kebenaran

Lima Sikap yang Menumbuhkan “Asuri Sampad”


moghaasaa moghakarmano
moghajnyana vicetasah,
raksasim asurim caiva
prakirtim mohinim sritah.

(Bhagawad Gita IX.12)
Maksudnya: Harapan yang sia-sia, pekerjaan yang sia-sia, ilmu pengetahuan yang sia-sia, tanpa perasaan. Semuanya itu menyebabkan kebingungan batin dan menyuburkan sifat-sifat keraksasaan dalam diri.

Mereka yang Dapat Disebut Bhakta


advesa sarva bhuutanam
maitrah karuna eva ca
nirmamo nirhamkarah
sama duhkha sukhah ksami

(Bhagawad Gita XII.13)
Maksudnya: Dia yang tidak membenci semua makhluk, selalu bersahabat, memancarkan cinta kasih, tidak serakah, tidak egois, seimbang dalam keadaan duka dan suka serta pemaaf. Dialah dapat disebut bhakta.

Membina Tradisi yang “Bergizi”


srutismrti yuditam samyaan
nibaddam svesu karmasu
dharmamuulam neseveta
saadaacara matandritah

(Sarasamuccaya 253)
Maksudnya: Hilangkanlah keengganan hati itu. Upayakan terus mendalami Weda Sruti dan Smrti atau Dharmasastra itu tentang tertib perilaku Catur Varna. Segala upaya agar dilakukan dalam mewujudkan tradisi dharma itu. Latihlah terus menerus Sistacara atau membina tradisi yang suci itu.

Kata Kasar Lenyapkan Kebahagiaan

naarumtudah syaad artu’pi na
paradroha karmadhih
yayasyodwijate waca
naalokyam taamudirayet.

(Manawa Dharmasastra II.161)
Maksudnya: Walaupun dalam kemarahan dan kesedihan, janganlah menggunakan kata-kata kasar yang dapat menyakiti hati orang lain baik dengan pikiran dan perilaku. Jangan mengeluarkan kata-kata yang membuat orang lain takut atau marah pada kita. Hal itu akan membuat kita semakin jauh dari rasa bahagia, apalagi sorga.

Kesadaran Tertinggi Datang Secara Perlahan

Dalam tuntunan spiritual Jawa disebutkan: Witing bilai amarga tuna pangerten (mendapat celaka karena kurangnya pengetahuan). Witing kalantur amarga tanpa pitutur (kesalahan yang berkelanjutan karena tidak adanya tuntunan). Witing katula amarga sepi grahita (jiwa terlunta-lunta karena tidak pernah merenung). Ananing siksa saka ing dosa (adanya siksa karena dosa). Wangening siksa sapundhating dosa (batasnya siksa seiring habisnya dosa). Witing luput saka kalimput (penyebab salah karena tertutupi). Weruh ing sisip sayekti sulit (menyadari kekeliruan benar-benar sulit). Rehne kaprah tan nyana salah (karena lumrah tidak mengira itu salah). Weruh ing angger amarga ing bener (tahu hukum kebenaran karena benar). Angger bawana maneka warna (hukum alam bermacam-macam). Angger kodrat kenceng kaliwat (hukum kodrat (rta) tidak bisa dibelokkan). Angele ngelmu yen durung katemu (sulitnya ilmu jika belum dipahami). Gampange ngelmu yen wis katemu (gampangnya ilmu jika sudah dipahami). Budi hayu manggih rahayu (buddhi mulia menemukan kerahayuan). Durangkara  manggih sangsara (angkara murka menemukan sengsara). Lepas nalar jagad jembar (wawasan luas dunia jadi lebar). Nalar cendhak jagad rupak (wawasan sempit dunia pun jadi sempit).

Pengasingan Diri Secara Spiritual

urddhvabahurviraumyesa na ca kacciçchrnoti me, dharmadarthaçca kamaçca sa kimartham na sevyate (Sarasamuccaya.11); nihan mata kami mangke, manawai, manguwuh, mapitutur, ling mami, ikang artha, kama, malamaken dharma juga ngulaha, haywa palangpang lawan dharma mangkana ling mami, ndatan juga angrêngö ri haturnyan ewêh sang makolah dharmasadhana, apan kunang hetunya; itulah sebabnya hamba, melambai-lambai, berseru-seru mengingatkan, “dalam mencari artha dan kama itu hendaklah senantiasa dilandasi dharma,” demikianlah kata hamba. Namun demikian, tidak ada yang memperhatikannya dengan alasan bahwa sangat sukar berbuat atau bertindak berlandaskan dharma. Apa gerangan sebabnya?

Dengan Pengalaman Kita Berkembang

Dalam ilmu spiritual Jawa ada disebutkan Waton Bab Bener Lupute Wong Urip (Patokan Tentang Benar Salahnya Orang Hidup):
Bener lupute wong urip (Benar salahnya orang hidup): Benering wong urip, eling marang Uripe. Lupute wong urip, lali marang Uripe. (Benarnya orang hidup, ingat kepada Hidupnya. Salahnya orang hidup, lupa kepada Hidupnya.)
Bener lupute wong lali (benar salahnya orang lupa): Benering wong lali, angudi kaweruh kasunyatan.  Lupute wong lali, lumuh angudi kaweruh kasunyatan. (Benarnya orang lupa, mencari pengetahuan kesejatian. Salahnya orang lupa, enggan mencari pengetahuan kesejatian.)
Kapriye wajibe wong urip (Bagaimana seharusnya orang hidup): Wajibe wong urip rumangsa ing Uripe. Hinaning wong urip, ora rumangsa ing Uripe. (Seharusnya orang hidup merasakan Hidupnya. Hinanya orang hidup, tidak merasakan Hidupnya.)

Mengenali Brahman dengan Atman

Di dalam buku Kridha Grahita (anonim), sebuah tulisan spiritual Jawa, disebutkan: Katentreman utawa kajaten ya alame manungsa sejati. Temening anane alam iku tetep langgeng, nyataning alam iku tumrap kang ngalami. Iku alam maha suci, wajibe alam suci mung nampani jiwa kang wus tentrem lan suci. Sapa tentrem utawa suci, ditampa; yen ora, ditulak; ora preduli dumeh angel lakon-lakonane, ora preduli dupeh netepi pranatan donya. Alam suci mung wajib nampani jiwa kang suci. Artinya: Ketenteraman atau kesejatian adalah alamnya manusia sejati. Benar adanya alam tersebut tetap langgeng, nyatanya alam tersebut bagi yang mengalami. Itu alam maha suci, kewajiban alam suci hanya menerima jiwa yang sudah tenteram dan suci. Siapa tenteram atau suci, diterima; kalau tidak, ditolak; tidak peduli kendatipun sudah menjalani hal-hal yang sulit, tidak peduli kendatipun sudah memenuhi aturan-aturan duniawi. Alam suci hanya wajib menerima jiwa yang suci.

Tapa Sadhana Memperkuat Kualitas Satya

Kebanyakan orang menggunakan alasan untuk membenarkan dirinya mengomeli pasangannya sehubungan dengan apa yang mereka tidak suka pada pasangannya, atau mempergunjingkan tentang cacat cela orang lain. Ini bukanlah spirit satya. Kita tidak ingin mengekspos kesalahan-kesalahan, keburukan-keburukan atau aib orang lain. konfrontasi seperti itu dapat menimbulkan perdebatan dan pertengkaran. Sebenarnya, tak seorangpun tahu kesalahan-kesalahan orang lain sebaik pengetahuannya tentang kesalahan yang ada pada dirinya sendiri. Tetapi, kebanyakan orang senang mengekspos kesalahan orang lain dan berusaha menutupi kesalahan sendiri. Semut di seberang tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak. Kesalahan kecil orang lain diekspos, kesalahan besar diri sendiri diabaikan. Ketakutan dan keringkihan hati sering mempengaruhi, sementara tidak ada motivasi dan niat baik untuk memperbaiki kebiasaan itu. Oleh karena itu, membangun niat suci, berpandangan positif, membangun paradigma baru, mengalihkan konsentrasi ke dalam diri sendiri dan membiarkan penyembuhan internal terjadi. Ini adalah kebijaksanaan. Ini adalah ahimsa, tanpa kekerasan. Ini adalah satya, kebenaran, kejujuran atas dasar kebijaksanaan. Para arif bijaksana sangat berhati-hati agar tidak sampai menghina atau mencela orang lain, bahkan dalam hal

Berkarya dengan Karma Kita

Kita, pecinta kehidupan rohani, dalam hati mungkin pernah bertanya, “Kenapa Brahman memberi kita karma untuk dilalui?” Dapatkah Dia membuat kita sempurna sejak awal dan menghindarkan kita dari semua yang menyakitkan?” Para arif bijaksana senantiasa memberi wejangan, “Terimalah karmamu sebagai milikmu, sebagai obat penyembuh, bukan sebagai racun.” Seraya kita melewati pengalaman kreasi kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari dan benih-benih karma bangkit, sebagai aksi-aksi kita kembali melalui perasaan kita, usahakan tuntas di dalam kehidupan sekarang ini, tidak dalam kehidupan masa depan, melepaskan dengan menerima apa adanya setiap dan semua pengalaman sehingga tidak terpengaruh lagi dan menciptakan putaran baru, terbebas dari belenggu samsara. Terimalah karma kita apa adanya, apakah itu karma gembira, karma sedih, karma yang tidak menyenangkan, tidak mengenakkan, yang menyedihkan, miskin, sengsara, atau karma yang sangat menyenangkan, yang sangat menggembirakan, bergelimang harta, hidup makmur, terimalah itu sebagai karma kita. Tetapi itu bukan kita, bukan kita yang sebenarnya, bukan kita yang sejati. Semua pengalaman yang kita lewati diberikan agar supaya kita bisa berkembang, supaya tumbuh, belajar dan akhirnya mencapai kebijaksanaan. Itu semua adalah karya misterius dari Brahman, cara Dia mendekati umat pecinta kehidupan rohani, cara Dia membawa kita mendekat dan semakin dekat kepada diri-Nya.

Kamis, 31 Mei 2012

DEFINISI NGAYAH ADAT

APA difinisi ngayah itu? Seorang tokoh adat menyebutkan, ngayah adalah kerja bakti untuk berbagai keperluan, apakah urusan ritual keagamaan atau pun masalah sosial kemasyarakatan. Kalau sudah disebut sebagai ngayah maka siapa pun yang terlibat tidak mendapatkan upah. Ini kerja gratis.
Namun, tidak demikian untuk krama banjar adat. Menjadi krama banjar adat, kalau tidak ikut ngayah akan kena sanksi berupa denda. Besarnya denda tidak seragam di masing-masing banjar adat. Juga tergantung jenis ngayah itu, apakah memperbaiki lingkungan, bekerja menyiapkan sarana upacara, menjenguk

Makna dan Tata Cara Teknis Upacara Pabayuhan Sapuh Leger


 Umat hindu terutama di Bali sangat meyakini , bahwa orang yang lahir pada Wuku Wayang (lebih lebih pada Tumpek Wayang) merupakan hari kelahiran yang cemer, mala serta melik (kepingit). Dan kebanyakan orang tua yang mempunyai anak lahir pada wuku wayang merasakan ketakutan dan was was atas kelanjutan kehidupan anaknya. Kebanyakan yakin dengan adanya cerita Geguritan Suddamala yang menceritakan ; Dewa Siwa pura pura sakit keras , dan mengutus Dewi Uma mencari Lembu Putih dialam fana sebagai obat.  Dan sebelum susu didapat Dewi Uma tidak dipekenankan kembali ke Siwaloka,  Sang dewi sangat patuh melaksanakan perintahnya, singkat cerita Dewi Uma menemukan Lembu  Putih tersebut, ternyata untuk mendapatkan susu lembu dewi uma harus melakukan hal yang tidak terpuji yaitu harus mengorbankan

Unesco tetapkan “Subak” sebagai Warisan Dunia

Budaya Subak Bali akhirnya berhasil ditetapkan sebagai warisan dunia oleh Unesco. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengapresiasi ditetapkannya Subak Bali setelah setelah perjuangan selama 12 tahun. “Satu lagi kabar gembira bagi bangsa Indonesia, Bali Culture Landscape ( Budaya Subak Bali) sebagai cermin Tri Hita Karana baru saja disetujui untuk ditetapkan sebagai warisan dunia Unesco,” Wamenbud, Windu Nuryanti, Minggu (20/5/2012).

Wayang Sapuh Leger


Kata “Sapuh Leger” di Bali secara khusus dihubungkan dengan pertunjukkan wayang dalam kaitannya untuk pemurnian kepada anak/orang yang lahir tepat pada wuku wayang dalam siklus kalender tradisional Bali (Di Jawa juga ada bila kalender-nya lengkap). Secara ritual upacara pemurnian dinamakan lukat/nglukat, yaitu suatu aktivitas untuk membuat air suci (tirta) yang dilakukan baik oleh seorang pendeta (pedanda/pemangku) maupun seorang dalang (Mangku Dalang) dengan tujuan untuk membersihkan mala (kekotoran) rohani seseorang.

HARI RAYA SARASWATI

Saraswati adalah nama dewi, Sakti Dewa Brahma (dalam konteks ini, sakti berarti istri). Dewi Saraswati diyakini sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi-Nya sebagai dewi ilmu pengetahuan. Dalam berbagai lontar di Bali disebutkan “Hyang Hyangning Pangewruh.”
Di India umat Hindu mewujudkan Dewi Saraswati sebagai dewi yang amat cantik bertangan empat memegang: wina (alat musik), kropak (pustaka), ganitri (japa mala) dan bunga teratai. Dewi Saraswati dilukiskan berada di atas angsa dan di sebe-lahnya ada burung merak. Dewi Saraswati oleh umat di India dipuja dalam wujud Murti Puja. Umat Hindu di Indonesia memuja Dewi Saraswati dalam wujud hari raya atau rerahinan.

Sejarah Topeng Sidakarya


Brahmana Keling
Pada jaman dahulu di suatu daerah yang bernama Keling ada seorang pendeta yang sangat termashyur karena pandangannya tentang kebenaran yang utama yang mempunyai “Ilmu Kelepasan Jiwa”.  Ia disebut sebagai Brahmana Keling karena beliau berasal dari sebuah daerah yang bernama Keling di Jawa Timur. Beliau juga mendirikan pesraman atau pertapaan di lereng Gunung Bromo. Brahmana Keling adalah putra dari Danghyang Kayumanis, cucu dari Empu Candra, kumpi dari Mpu Bahula dan cicit dari Mpu Beradah. Tetapi sampai saat ini belum ada yang tahu nama Beliau yang sebenarnya, karena beliau berasal dari daerah Keling maka beliau dipanggil dengan sebutan Brahmana Keling.

BANTEN SARAT MAKNA SIMBOLIK


Banten Sarat Makna Simbolik (Tak hanya Hiasan Belaka)
SARANA upacara atau bebantenan di Bali, sesungguhnya tidak hanya hiasan belaka. Tetapi, di dalamnya sarat makna simbolis. Pada umumnya, sarana upakara tersebut sebagai media bagi umat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta.
Wakil Ketua Parisada Bali Drs. I Gusti Ngurah Sudiana menyambut baik keinginan umat untuk membuat museum banten. Tetapi, bentuk-bentuk bebantenan yang dipajang di museum itu mesti dilengkapi dengan penjelasan makna dan sekaligus bahan-bahannya. Dengan demikian, umat atau orang asing akan makin paham akan makna di balik bebantenan tersebut. Hal itu juga sekaligus menghilangkan istilah anak mula keto di kalangan umat.

BANTEN SEBAGAI PENGUAT KONSEP HIDUP


Banten Sebagai Penguatan Konsep Hidup
BANTEN merupakan visualisasi dari ajaran tattwa dan susila Hindu yang memiliki tujuan mengarahkan, menuntun manusia guna tumbuhnya sifat-sifat yang mulia dalam diri. Oleh sebab itu apa yang ada dibalik banten itu ternyata sangat kaya akan konsep hidup yang bersifat universal, yang
wajib diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: Banten Peras, Banten ini lambang perjuangan hidup dan doa untuk mencapai kesuksesan (Prasiddha) dalam kehidupan ini.
Sebagai manusia normal kesuksesan dalam hidup merupakan dalam meraih sukses tersebut. Dalam Banten Pras kesuksesan itu digambarkan dengan jelas sekali dinyatakan : ” Pras Ngaranika Prasiddha Tri Guna Sakti “, artinya Pras namanya adalah sukses (Prasiddha) dengan kuatnya Tri Guna. Tri Guna itu adalah Sattwam, Rajas dan Tamas. Apabila ketiga Guna ini berada pada struktur dan komposisi yang idial, maka ia akan menjadi kekuatan luar biasa untuk mengantarkan seseorang menuju pada kesuksesan hidup. Struktur dan komposisi idial yang dimaksud adalah apabila guna Sattwam menguasai guna Rajas dan guna Tamas. Dalam Banten Pras ketiga guna ini disimbulkan dengan benang, uang dan beras. Benang sebagai lambang Sattwam, Uang sebagai lambang Rajas, dan Beras sebagai lambang Tamas.

Banten Sebagai Simbol Berserah Diri



BERSERAH diri menurut konsep Hindu, bukan sebuah sikap apatis, melainkan sebuah sikap proaktif yang bersifat dinamis, untuk memperbaiki kehidupan ini dengan senantiasa menumbuh kembangkan rasa bhakti yang dilandasi oleh Jnana dan Karma. Banten menurut Yajna Prakrti merupakan salah satu bentuk penyerahan diri kepada hyang Widhi. Hal ini disebutkan sebagai berikut :
“Reringgitan tatuwasan pinaka kalanggengan kayunta mayajna. Sekare pinaka kaheningan kayunta mayajna. Plawa pinaka peh pakayunane suci, raka-raka pinaka Widyadara-Widyadari”.
Artinya: Reringgitan dan Tatuwasan lambang dari kesungguhan hati dalam beryajna.

BANTEN PEJATI


Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya.
Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten. Dalam “Lontar Yajña Prakrti” disebutkan:
sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana
artinya:
semua jenis banten (upakara) adalah lambang Bhuana Agung (alam semesta).
Banten Pejati Banten pejati adalah nama Banten atau (upakara), sesajen yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan prabhavaNya.

MAKNA CARU, SEGEHAN, TAWUR

Banten yang berfungsi sebagai badan adalah banten ayaban. Sedangkan bante yang berfungsi sebagai kaki atau suku adalah Banten yang berada dipanggungan yang letaknya dijaba. Adapun Banten Caru merupakan simbol dari perut. Kemudian berdasarkan lapisan yang menyusun tubuh manusia yakni: Badan Kasar atau Sthula Sarira yang terdiri dari Panca Maha Bhuta, Badan Astral atau Suksma Sarira yang terdiri dari Alam Pikiran (Citta, Budhi, Manah, Ahamkara, atau Sattwam Rajas Tamas) serta Sang Hyang Atman sebagai sumber kehidupan. Jika lapisan ini dikaitkan dengan keberadan bebanten, maka banten yang mewakili Panca Maha Butha ini adalah banten yang suguhan seperti: banten soda atau ajuman, rayunan perangkatan dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai penguatan yang dijabarkan dalam berbagai bentuk pengharapan dan cita-cita adalah banten sebagai Suksma Sarira seperti banten Peras, Penyeneng, Pengambyan, Dapetan, Sesayut dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai pengurip atau pemberi jiwa seperti Banten Daksina,

Sane Muput Karya : Jero Mangku Gede


Suasana sehabis sembahyang


Tugas Baga Parahyangan


Jumat, 04 Mei 2012

Bab 18 - Lolosnya Takshaka


Ketika Wyasa bersedia memenuhi permohonannya, Parikshit yang memperhatikan dengan seksama, menjawab dengan suara tersendak penuh emosi, “Maharesi, Nanda tidak tahu dengan jelas apa sebabnya kakek Nanda menghancurkan Hutan Khandawa dengan kobaran api. Ceritakan pada ananda bagaimana Sri Krishna menolongnya dalam hal itu. Buatlah ananda bahagia dengan menceritakan kejadian ini kepada nanda.” Parikshit bersujud di kaki Wyasa dan mohon agar
hal ini diceritakan kepadanya. Wyasa memujinya dan berkata, “Baiklah, Nanda mengajukan permohonan yang menambah reputasi Nanda. Akan saya kabulkan.”

Bab 17 - Mengenang Hari-hari Yang Telah Lampau


Maharaja Parikshit mengadakan kunjungan kenegaraan ke seluruh jasirah India, berusaha mempelajari keunggulan administratif dalam pemerintahan para kakeknya dan hubungan unik yang telah mereka jalin dengan Bhagawan Sri Krishna yang pada waktu itu turun ke dunia sebagai manusia. Maharaja mendengarkan pengalaman banyak orang suci serta cendikiawan yang hidup pada masa tenang dan bahagia itu, kemudian ia melanjutkan perjalanan sambil merenungkan kenangan menggembirakan tersebut. Sering ia dilanda penyesalan bila memikirkan bahwa ia tidak hidup pada masa itu, ketika para kakeknya menikmati kebahagiaan surgawi.

Bab 16 - Penghormatan Kepada Krishna


Bila Parikshit mengunjungi wilayah mana saja, para penguasa dan raja wilayah itu siap menyambutnya dengan penuh semangat, dengan penghormatan sipil dan militer yang sesuai. Mereka menyatakan selalu siap mengabdi dengan setia, apapun juga jenis pelayanan yang dikehendakinya dari mereka. Parikshit menjawab bahwa ia tidak memerlukan pelayanan mereka bahwa ia hanya ingin agar mereka mengembangkan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat yang dipercayakan kepada mereka. Ia menasehati mereka agar memberi perhatian khusus pada perlindungan bagi kaum brahmin serta wanita dan agar merka dilindungi dari marabahaya. Ia menghimbau agar mereka membantu mengembangkan ibadat kepada Tuhan di seluruh wilayah kekuasaan mereka. Hanya itulah permintaan yang diajukannya kepada para raja taklukannya.

Bab 15 - Masa Pemerintahan Maharaja Parikshit


Pandawa berjalan terus dengan pandangan lurus ke depan, menanti saat robohnya tubuh mereka karena kelelahan, dan kematian menyelesaikan karir mereka di dunia. Hati mereka penuh pada emosi yang berkisar pada Sri Krishna, permainan dan senda gurau Beliau; mereka tidak mempunyai pikiran atau perasaan yang lain.

Draupadi, permaisuri mereka, menyeret dirinya hingga agak jauh, tetapi ia menjadi terlalu lemah untuk melanjutkan perjalanan. Ketika ia berseru memanggil-manggil dan memohon, junjungannya tidak berpaling. Draupadi yang sangat cerdas dan berbakti segera sadar bahwa Pandawa bersaudara sedang melakukan nazar yang amat keras dan berat; ia mengerti bahwa ikatan yang
menghubungkan dirinya dengan mereka selama ini telah lepas dan ia harus menghadapi ajalnya. Draupadi jatuh pingsan; ia menghembuskan napas terakhir dengan pikiran terpusat pada Krishna.

Bab 14 - Kepergian Pandawa Bersaudara


Sungguh pemandangan yang menyedihkan. Parikshit, anak laki-laki yang mengenakan mahkota, mendekati kakeknya serta saudara-saudara kakeknya dengan mengiba-iba. Ia memegang erat-erat kaki mereka dan memohon agar agar diijinkan ikut pergi ke hutan menyertai mereka. Ia akan makan akar-akaran dan buah-buahan dengan senang hati, melakukan upacara suci, dan merasa bahagia. “Percayakanlah kemaharajaan ini kepada beberapa menteri yang baik dan ijinkan saya menyertai kakek supaya saya dapat melayani kakek dan membuat hidup saya berati “ demikian ia memohon. Orang-orang di sekitarnya dalam pendapa itu menitikan air mata, terharu melihat kesedihannya karena akan ditinggalkan. Batu-batu cadaspun pasti akan luluh dalam simpati seandainya mereka mendengar kesedihannya.

Bab 13 Parikshit Dinobatkan


Kunti Dewi mengikuti jalan yang ditempuh Shyamasundara (Sri Krishna). Yang tertinggal hanyalah tubuh tanpa nyawa. Arjuna menangis keras-keras, “Kakanda! Apa yang akan saya katakan? Kita telah kehilangan ibu kita.” Dharmaraja yang berdiri di sebelahnya terguncang hebat oleh kejutan itu; ia melangkah mendekati tubuh ibunya dan berdiri terpaku ketika melihat wajahnya yang memucat.

Para dayang di luar pintu mendengar perkataan Arjuna, mereka lalu mengintip ke dalam kamar. Tubuh Kunti Dewi terbaring di lantai. Arjuna meletakan kepala jenasah pada pangkuannya dan menatap wajah ibunya lekat-lekat dengan mata berkaca-kaca. Para dayang keraton saling menyampaikan berita ini; mereka masuk dan menyadari sang Ibu Suri telah meninggalkan mereka, tidak mungkin kembali lagi. Mereka menangis keras-keras ketika mengetahui malapetaka yang meremukan hati ini.

Bab 12 - Zaman Kali Dimulai

Bhima berkata, “ketika di istana Dhritarastra Krishna ditanya oleh Duryodhana, Dussasana, dan lain-lainnya, mengapa Beliau menjadi penengah dalam pertengkaran keluarga antara Kaurawa serta Pandawa dan lebih menyayangi pihak yang satu daripada pihak yang lain seakan-akan Pandawa merupakan kerabat yang lebih dekat dengan Beliau daripada Kaurawa, apakah jawaban Sri Krishna. Sekarang berusahalah mengingat jawaban itu. Bayangkanlah kejadian itu di hadapan Kakanda, Beliau berjalan hilir mudik seperti anak singa dan mengaum, “Apa yang Anda katakan? Apakah Kaurawa sama dekatnya kepada saya, seperti Pandawa? Tidak, mereka tidak akan pernah berada pada tingkat yang sama. Dengar akan saya beritahukan kepada kalian pertalian keluarga yang mengikat saya pada Pandawa; untuk badan saya ini, Dharmaraja dapat diibaratkan dengan kepala, Arjuna dapat iibaratkan dengan bahu dan kedua tangan; Bhima seperti tubuh; Nakula dan Sahadewa ibarat kedua kaki. Bagi badan yang tersusun seperti itu, Krishna adalah jantungnya. Anggota tubuh bergerak dengan kekuatan jantung; tanpa jantung mereka tidak bernyawa.”

Bab 11 - Kesedihan Pandawa

Mendengar perkataan Arjuna, Dharmaraja yang tenggelam dalam renungan dan sedang mengingat-ingat pertolongan, rahmat, kasih serta simpati yang telah mereka peroleh dari Sri Krishna, tiba-tiba menegakkan kepalanya dan bertanya, "Arjuna? Apa yang Adinda katakan! Malapetaka apa yang Dinda alami di jalan? Ceritakan selengkapnya kepada kami Adik terkasih!", dan
perlahan-lahan diangkatnya dagu Arjuna ketika menanyakan hal itu. Arjuna menatap wajah kakaknya sambil berkata, "Kakanda, segala keahlian dan
kemampuan saya telah meninggalkan saya bersama dengan Sri Krishna. Sekarang saya tidak memiliki kesaktian apa-apa, tidak mampu berprestasi lagi, lebih
lemah daripada yang paling lemah, sungguh, saya tidak memiliki daya hidup lagi."

Bab 10 - Misteri Krishna


Bhima berhasil mengumpulkan keberanian. Katanya, “Kakanda, berilah saya izin, maka saya akan segera pergi ke Dwaraka lalu kembali lagi dengan cepat. Saya akan membawa informasi selengkapnya tentang segala yang telah terjadi untuk melenyapkan rasa takut Kakanda.” Pada waktu Bhima berlutut memohon izin, matahari terbenam dan pelita mulai berkelip kelip di berbagai tempat memancarkan cahayanya yang temaram.

Sementara itu seorang pengawal di gerbang utama berlari masuk memberitahukan bahwa Arjuna telah datang dan sedang menuju tempat kediaman raja. Setiap orang bangkit seakan-akan hidup lagi secara mendadak; mereka bergegas menemui Arjuna ingin sekali mendengar kabar dari Dwaraka. Arjuna masuk, muram, amat sedih dan putus asa, sedikitpun tiada kegembiraan yang tersirat pada roman mukanya. Tanpa menatap wajah saudara-saudaranya, ia bersujud di kaki Dharmaraja.

Bab 09 - Kenaikan Sri Krishna


Dharmaraja yang amat sedih atas kepergian paman dan bibinya, Dhritarastra dan Gandhari, tertimpa penderitaan lain yang tidak tertahankan bagaikan jarum yang ditusukkan di dalam kuku. Kemanapun berpaling, ia mulai melihat berbagai pertanda buruk dalam kerajaannya. Ia melihat noda-noda kebohongan, kekejaman, dan ketidakadilan dalam perbuatan orang-orang di sekitarnya. Pertanda buruk menghadang setiap langkahnya dan mengacaukan pandangannya.

Akibatnya, ia dicekam kesedihan yang tidak dapat dijelaskan. Parasnya memucat dirongrong kekhawatiran. Ia selalu resah dan cemas. Adik-adiknya melihat hal ini dan karena mereka sendiri juga menjadi gelisah maka Bhima, Nakula dan Sahadewa menemui kakaknya yang tertua dan mengutarakan keinginan mereka untuk mengetahui penyebab kemurungannya yang aneh. Mereka berdiri di hadapannya dengan tangan tertangkup dan bertanya, “Raja dan junjungan! Dari hari ke hari kami lihat roman muka Kakanda makin suram; tampaknya Kakanda tenggelam dalam kesedihan yang tidak dapat diduga,

Bab 08 - Dhritarastra Berubah


Dhritarastra dan Gandhari tiba di hutang bersama dengan Widura. Widura mencari tempat yang sesuai untuk melakukan tirakat. Ia juga memberi mereka petunjuk tentang cara-cara terbaik untuk mencari kesadaran diri sejati. Mereka melewatkan hari demi hari dalam pergaulan serta pikiran yang suci.

Sementara itu di Hastinapura begitu matahari terbit, Dharmaraja bangun, menyelesaikan ritual pembersihan diri, lalu melakukan upacara pemujaan pada api keluarga. Ia memberikan sedekah harian kepada orang-orang miskin seperti biasanya. Setelah itu ia berjalan ke istana Dhritarastra, kakak ayahnya, seperti biasa, karena ia tidak pernah memulai tugas harian tanpa terlebih dahulu bersujud di kaki pamannya.

Bab 07 - Nasihat Widura


Widura melanjutkan peringatannya kepada Dhritarashtra, “kakanda telah mencapai usia selanjut ini, tetapi tetap saja kakanda menempuh hidup seperti anjing tanpa merasa malu atau ragu. Mungkin Kakanda tidak merasa malu mengenai hal itu, tetapi saya malu. Cih, tidak tahu malu! Cara kanda melewatkan hari-hari Kanda lebih jelek daripada burung gagak.”

Dhritarashtra tidak dapat menahannya lagi. Ia berseru, “Oh, cukup, cukup. Berhentilah. Adinda menyiksa saya sampai mati. Ini bukanlah kata-kata yang layak dikemukakan di antara saudara sendiri. Mendengar ucapan Adinda, saya merasa Adinda bukan Widura adik saya. Ia tidak akan menegur saya demikian kejam. Sekarang saya tinggal dengan Dharmaraja, apakah ia orang yang tidak dikenal? Apakah saya berlindung pada orang asing? Apa yang Adinda katakan ini? Mengapa begitu kasar? Dharmaraja merawat saya dengan kasih sayang dan perhatian besar, bagaimana Adinda dapat menyatakan saya menempuh hidup seperti seekor anjing atau gagak? Berdosalah bila Adinda memiliki gagasan semacam itu. Memang nasib saya begini, itu saja.” Dhritarashta menunduk dan mengeluh.

Bab 06 - Kunjungan Widura


Di dalam istana Widura menanyakan kesejahteraan setiap sanak saudaranya. Kemudian Kunti Dewi, ibu suri, masuk dan memandangnya dengan rasa sayang sambil berkata, “Akhirnya kami dapat melihat anda, oh Widura!” Ia tidak dapat berbicara lagi.

Setalah beberapa waktu dilanjutkannya “Bagaimana anda dapat tinggal demikian lama di tempat yang jauh, mengabaikan anak-aak yang telah anda asuh dengan penuh kasih dan saya sendiri serta orang-orang lain yang demikian menghormati anda? Karena doa restu andalah, maka anak-anak saya sekarang menjadi penguasa negeri ini. Dimana mereka akan berada kini seandainya dahulu anda tidak menyelamatkan mereka dalam berbagai keadaaan genting? Kami telah menjadi sasaran berbagai malapetaka, tetapi bencana yang terbesar adalah kepergian anda jauh dari kami. Itulah yang paling mempengaruhi kami. Bahkan kami sudah tidak mempunyai harapan untk bisa melihat anda lagi. Kini hati kami bersemi kembali. Harapan dan hasrat yang dicerai berikan oleh keputusasaan telah terhimpun kembali. Hari ini sempurnalah kegembiraan kami. Oh, alangkah membahagiakanya hari ini!” Kunti duduk sebentar menyeka air matanya.

Bab 05 - Yajna dan kedatangan Widura


Dharmaraja menerima nasihat Waasudeva (Sri Krishna) dan restu Wyasa. Diutusnya saudara- saudaranya beserta bala tentara untuk mengambil emas yang telah dibuang oleh para brahmin. Mereka berangkat setelah menyucikan diri dengan makan hidangan yang telah dipersembahkan kepada Tuhan. Mereka menemukan timbunan emas yang dahulu telah dihadiahkan oleh Maharaja Marut kepada para pendeta pada penutupan upacara pengurbanan. Emas itu telah dibuang oleh para pendeta di sepanjang sisi jalan yang mereka lalui ketika pulang. Bala tentara Pandawa mengumpulkan emas ini dan mengirimkannya dengan unta, gajah, kereta dan gerobak. Mereka memerlukan waktu beberapa hari untuk sampai ke Hastinapura dengan seluruh muatan itu. Mereka membongkar emas itu di tengah sambutan dan sorak-sorai rakyat.

Warga kerajaan mengagumi keberhasilan ekspedisi tersebut; mereka memuji-muji kemujuran Pandawa. Mereka menyambut para pangeran yang kembali ke kota membawa emas tersebut dengan berseru, “Jaya, jaya,” hingga suara mereka serak, sambil meloncat-loncat dan menari dengan sangat gembira. Mereka saling membicarakan kebesaran dan keindahan upacara pengurbanan yang akan diselenggarakan dengan emas tersebut.

Bab 04 - Yajna untuk menebus dosa

Judul Buku, Pancaran Bhagavata
Oleh, Bhagawan Sri Sathya Sai Baba
Upacara pemberian nama sang pangeran menimbulkan kegembiraan yang besar pada warga kerajaan, penghuni istana, dan anggota keluarga raja. Tetapi Yudhistira, sang sulung diantara Pandawa bersaudara, merasa bahwa ia harus melakukan sesuatu lebih dari itu; ia tidak merasa puas dengan sekadar pesta yang meriah. Sore itu juga ia memanggil para sesepuh, cendikiawan, pendeta, para raja bawahannya, dan tokoh-tokoh masyarakat agar datang menghadiri rapat; ia mohon agar Sri Krishna memimpin pertemuan itu dan menganugerahkan kegembiraan kepada semuanya. Maharesi Wyasa dan Resi Kripa juga hadir.
Yudhistira datang ke ruang sidang, berdiri diam beberapa saat di hadapan hadirin, kemudian bersujud di kaki Bhagawan Krishna dan Maharesi Wyasa. Setelah itu ia berpaling kepada para raja, cendikiawan, dan

Bab 03 - Bocah Parikshit dan ramalan tentang dirinya

Aduh! Apakah akhirnya ia harus mengalami nasib yang tragis ini? Apakah ini merupakan ganjaran bagi segala kebaikan yang kelak dilakukannya? Setelah menempuh hidup yang bajik selama bertahun-tahun, dapatkan akibatnya tiba-tiba berubah menjadi kematian yang malang ini? Ada dikatakan bahwa mereka yang mati tenggelam, mereka yang menemui ajal karena jatuh dari pohon, dan mereka yang meninggal karena digigit ular, tidak baik kehidupannya di akhirat kelak. Semua ini dianggap ebagai kematian yang sial, mereka yang menemui ajalnya seperti itu akan menjadi hantu dan akan menderita, demikian kata orang. Mengapa anak ini harus mengakhiri hidupnya seperti itu? Oh, alangkah mengerikan. Oh, alangkah tidak adilnya semua ini!” , ratap Yudhistira sambil menggigit bibirnya menahan sedih.

Bab 02 - Kelahiran seorang Bhagavata


BAB 2
KELAHIRAN SEORANG BHAGAVATA

judul buku ; Pancaran Bhagavata
oleh ; Bhagawan Sri Sathya Sai Baba


Maharaja Parikshit adalah putra Abimanyu yang telah mencapai surga para pahlawan. Ketika Parikshit masih berwujud janin yang tumbuh di rahim Uttara, ia melihat anak panah tajam yang dilepaskan oleh Aswathama meluncur ke arahnya. Senjata itu memancarkan percikan keganasan dan teror, siap membinasakannya, tetapi pada saat itu juga tampaklah tokoh yang cemerlang dan sangat mempesona bersenjatakan cakra yang dahsyat. Beliau menghancurkan panah maut itu menjadi seratus keping. Janin ninggrat itu diliputi kekaguman dan rasa terimakasih.

BAB I : Bhagavata


Sebutan Bhagavata dapat digunakan untuk setiap kisah pengalaman orang-orang yang telah menjalin hubungan dengan Tuhan dan dengan mereka yang saleh (Bhagawan dan bakta). Tuhan mengambil berbagai wujud dan memerankan berbagai kegiatan. Nama Bhagavata diberikan pada uraian pengalaman orang-orang yang telah menyadari Tuhan dalam aneka wujud tersebut dan juga pada kisah pengalaman mereka yang telah memperoleh karunia Beliau serta terpilih menjadi alat Beliau.

Karya agung yang terkenal ini (Bhagavata) dihormati oleh para ahli Weda. Kitab ini merupakan obat mujarab yang menyembuhkan berbagai penyakit fisik, mental, dan spiritual. Bhagavata sarat dengan kemanisan nektar dan bersinar dengan kecrmelangan serta keindahan Tuhan.

Makna Banten & Canang Sari di dalam persembahyangan umat Hindu di Bali

SARANA upacara atau bebantenan di Bali, sesungguhnya tidak hanya hiasan belaka. Tetapi, di dalamnya sarat makna simbolis. Pada umumnya, sarana upakara tersebut sebagai media bagi umat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta.

[Image: 148419207bbf8b16c06c03c64ac1c6773a5c9bbc.jpg]
Wakil Ketua Parisada Bali Drs. I Gusti Ngurah Sudiana menyambut baik keinginan umat untuk membuat museum banten. Tetapi, bentuk-bentuk bebantenan yang dipajang di museum itu mesti dilengkapi dengan penjelasan makna dan sekaligus bahan-bahannya. Dengan demikian, umat atau orang asing akan makin paham akan makna di balik bebantenan tersebut. Hal itu juga sekaligus menghilangkan istilah anak mula keto(memang seperti itu) di kalangan umat.

Kamis, 03 Mei 2012

Tanamkan Budaya Daerah pada Anak Sedini Mungkin


Di Pura Dadia Pasek Pegatepan


Pelinggih Meru Tumpang 2 dan 3

1. Meru tumpang 3, menurut Lontar Tutur Kuturan adalah bentuk meru yang pertama kali dikenalkan oleh Ida Bhatara Mpu Kuturan di Bali, sekitar abad ke-11.
Bangunan itu adalah simbol ‘Ongkara’ karena simbol Ongkara sebagai Sanghyang Widhi mempunyai kemahakuasaan:
  • Sebagai angka 3 (dalam aksara Bali), di mana 3 adalah: uttpti (kelahiran), stiti (kehidupan), dan pralina (kematian/ akhir)
  • Ditambahkan: ardha candra (simbol bulan = satyam), windhu (simbol matahari = rajas), dan nada (simbol bintang = tamas)
  • Digunakan untuk memuja Sanghyang Widhi.

KEWANGEN

KewangenKewangen adalah salah satu sarana persembahyang (upakara) umat Hindu yang umum digunakan terutama di Lombok dan Bali. Kata “kewangen” berasal dari kata “wangi” bahasa Kawi yang berarti harum. Jadi, makna utama kewangen adalah mengharumkan nama Tuhan melalui bhakti. Di dalam lontar Sri Jaya Kasumu disebutkan kewangen sebagai lambang “Omkara”. Di dalam lontar Brahahara Upanisad disebutkan kewangen sebagai lambang Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Salah satu bait dalam kakawin Om Sembah menyebutkan: “wahya dyatmika sembah ingulun ijong ta tan ana waneh” yang artinya adalah lahir batin sembah kami terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, tidak ada yang lain. Persembahan secara lahir batin ini disimbolkan dengan kewangen di mana kewangen terdiri dari komponen-komponen berikut:

Asta Kosala Kosali Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali



Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.

ENAM TOKOH SUCI DALAM PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI BALI

1. DANGHYANG MARKANDEYA
Pada abad ke-8 beliau mendapat pencerahan di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal lalang - Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (Banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali.



Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk

Selasa, 01 Mei 2012

PURA DESA


Pura ini disebut dengan nama Pura Desa karena pura ini lazim ditempatkan di pusat desa yaitu pada salah satu sudut dari catuspata (perempatan agung).
Catus merupakan perubahan ucapan dari kata catur artinya tempat. Perubahan wianjana r menjadi s memang sering terjadi seperti dursila menjadi dussila menjadi susila, nirkala menjadi niskala dan lain-lain. Pata merupakan perubahan ucapan dari kata pada yang berarti dunia/alam. Dengan demikian catus pata adalah daerah bertemunya pengaruh yang datang dari empat buah slam yang ada di sekitar dunia ini (Timur, Selatan Barat dan Utara). Wujud nyata sebuah catus pata adalah jalan simpang empat atau perempatan.
Masyarakat tradisional Bali selaku kelompok masyarakat budaya dalam mengatur desa selaku daerah pemukiman dengan kelengkapannya seperti: pura, bale banjar, pasar, rumah, jalan, diatur dalam satu tata ruang. Filosofis pengaturan tata ruang tadi berdasarkan konsep catus pata dan luan teben, misalnya: pasar, wantilan, Pura Desa, rumah pembesar desa ditempatkan pada sudut-sudut dari catus pata.

PURA DALEM

Kata Dalem secara harafiah berarti jauh atau sulit dicapai. Disebut demikian karena dalam kenyataannya Dewa Siwa adalah sulit dicapai oleh manusia karena beliau adalah niskala, wyapi-wyapaka.
Sakti dari Dewa Siwa adalah Dewi Durga, di mana kata Durga berarti jangan mendekat, sebagai wujud kroda dari Dewa Siwa yang berfungsi mempralina alam ciptaan Tuhan.
Dalam seni arca Siwa diwujudkan dalam berbagai-bagai bentuk sesuai dengan fungsi yang dijalankan. Siwa sebagai Mahadewa, Siwa sebagai Maha Guru Siwa sebagai Mahakala dan saktinya adalah Dewi Durga.
Siwa sebagai Mahadewa laksana atau cirinya adalah ardhacandrakapala yaitu lambang bulan sabit di bawah sebuah tengkorak yang disematkan pada mahkota, mata ketiga di dahi, upawita ular naga, tangannya empat masing-masing memegang cemara, aksamala, kamandalu dan trisula.

PURA PUSEH

Kata Puseh adalah berasal dari kata puser yang berarti pusat. Kata pusat di sini mengandung makna sebagai pusatnya kesejahteraan dunia yang mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi umat manusia, sehingga upacara-upacara yang berhubungan dengan kesuburan dunia dilaksanakan di Puseh.
Dewa Wisnu sebagai Dewa Pemelihara dari ciptaan Hyang Widi dalam seni arca digambarkan dengan laksana atau ciri bertangan empat yang masing-masing memegang, cakra, sangka dan buah atau kuncup teratai. Wahana adalah Garuda, sedangkan saktinya adalah Sri atau Laksmi (Dewi Kebahagiaan).
Mengenai denah dari Pura Puseh dapat dibagi atas dua bagian sebagaimana denah dari Pura Desa. Pembagian atas dua bagian tersebut adalah: halaman pertama atau disebut dengan jabaan dari pura dan halaman kedua disebut jeroan dari pura.

Senin, 30 April 2012

UPACARA : Pura kayangan Tiga

Pura yang termasuk kelompok Kahyangan Tiga, masing-masing mempunyai hari piodalan (hari ulang tahun) tersendiri. Hari ulang tahun dari suatu pura ditentukan melalui hari diresmikan pura tersebut. Hari peresmian biasanya dipilih hari yang baik sesuai dengan petunjuk dari pendeta dan selanjutnya ditetapkan sebagai hari piodalan. Kata piodalan adalah berasal dari kata wedal yang artinya lahir mendapat awalan pa dan akhiran an yang berarti tempat lahir atau kelahiran.
Waktu pelaksanaan hari piodalan pada tiap-tiap pura berbeda-beda, ada setiap enam bulan atau 210 hari, tetapi ada pula yang dilaksanakan setiap tahun. Upacara piodalan dari pura digolongkan pada upacara dewa yajnya yang merupakan salah satu dari lima jenis upacara atau Panca Yajnya. Yajnya berasal dari kata jaj yang artinya sembahyang. Dari akar kata ini lalu menjadi kata yadnya yang berarti persembahan kepada Hyang Widi dan manifestasinya.

PUNGSI : Pura Kayangan Tiga

Untuk lebih memantapkan dan memasyarakatkan konsepsi Tri Murti yang telah disepakati sebagai dasar keagamaan di Bali, maka pada setiap desa adat didirikan Kahyangan tiga. Ketiga Kahyangan tersebut adalah:

a. Pura Desa tempat pemujaan Dewa Brahma dalam fungsinya sebagai pencipta alam semesta.
b. Pura Puseh tempat pemujaan Dewa Wisnu dalam fungsinya sebagai pemelihara.
c. Pura Dalem tempat memuja Dewa Siwa dalam wujud Dewi Durga dengan fungsi sebagai pemralina alam semesta.

Di samping Pura Kahyangan Tiga yang dimiliki oleh tiap-tiap desa, maka setiap pekarangan rumah orang Bali yang beragama Hindu didirikan tempat beribadat yang disebut "Sanggah" atau "Pamerajan". Perkataan

SEJARAH : Pura Kayangan Tiga

Membicarakan masalah sejarah pendirian Kahyangan Tiga pada setiap desa adat di Bali, belum diketahui dengan pasti, karena sumber tertulis yang menyebutkan secara jelas belum ditemukan. Tetapi besar kemungkinan pada jaman Bali Kuna ketiga pura tersebut telah ada di tengah-tengah masyarakat Bali karena dipakai kata Kahyangan untuk menyebut pura tersebut. Di dalam prasasti-prasasti Bali Kuna belum ditemukan kata Pura untuk menyebut tempat suci tetapi yang dipakai adalah kata hyang atau kahyangan.
Sebelum masa pemerintahan raja suami-istri Udayana dan Gunapriya Darmapatni tahun 989 -1011M di Bali berkembang banyak aliran-aliran keagamaan seperti: Pasupata, Bairawa, Wesnawa, Boda, Brahmana, Resi, Sora, Ganapatya dan Siwa Sidanta. Di antara penasehat pemerintahan Udayana, tersebut nama Senapati Kuturan di samping sebagai ketua Majelis Pusat Pemerintahan yang disebut "Pakiran-kiran i jro makabehan".

PENGERTIAN : Pura Kayangan Tiga

Secara etimologi kata Kahyangan Tiga terdiri dari dua kata yaitu kahyangan dan tiga. Kahyangan berasal dari kata hyang yang berarti suci mendapat awalan ka dan akhiran an, an menunjukkan tempat dan tiga artinya tiga. Arti selengkapnya adalah tiga buah tempat suci, yaitu Pura Desa atau disebut pula Pura Bale Agung, Pura Puseh dan yang ketiga adalah Pura Dalem.
Kahyangan Tiga terdapat pada setiap desa Adat di Bali. Apabila jumlah desa Adat di Bali 1456 buah, maka jumlah Pura Kahyangan Tiga akan menjadi tiga kali jumlah desa Adat sehingga menjadi 4368 buah pura. Pada beberapa desa adat di Bali kadang kala penempatan Pura Puseh digabungkan dengan Pura Desa sehingga tampaknya seperti hanya satu pura tetapi sebetulnya adalah tetap dua buah pura.

Sabtu, 28 April 2012

Padmasana, "Stana" Hyang Widhi

Print E-mail
Padmasana, "Stana" Hyang Widhi
Padmasana merupakan bangunan suci untuk men-stana-kan Ida Sanghyang Widhi sebagai simbolis dan gambaran dari makrokosmos atau alam semesta (buana agung). Bangunan suci ini dapat dijumpai hampir di seluruh bangunan suci Hindu di Bali maupun di luar Bali -- dari Pura Kawitan, Kahyangan Desa, Swagina, sampai Kahyangan Jagat. Bahkan, bangunan suci ini ditempatkan sebagai pelinggih utama. Namun, bangunan suci ini masih banyak menyimpan misteri simblolis dan filosofis yang perlu dikupas lebih dalam. Lantas, apa sebenarnya perbedaan padmasana, padma kurung, padmasari atau padma campah? 
 
DI Lontar "Dwijendra Tattwa" disebut, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra, atau (nama lainnya) Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh. Dia datang ke Bali pada tahun 1489 M pada periode pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460-1550 M) dengan tujuan untuk menyempurnakan kehidupan agama di Bali.

STRUKTUR ORGANISASI

SUSUNAN PENGURUS PURA PANTI

PASEK DUKUH BUNGA ASAHDUREN BEDUURAN

PERIODE 2011-2015
__________________________________________________________________________________

            Ketua                        : I Komang Puspa
            Sekretaris                 : I komang Dirta
            Bendahara                : I Wayan Sukatama
            Bago Perahayangan : 

LAHIRNYA PANCA TIRTHA

Mari kita kembali kepada hal-hal yang terjadi di Puncak Tohlangkir. Pada tahun Çaka 27 (th 105 M) Gunung Agung meletus lagi dengan sangat hebatnya, entah hal-hal apa yang terjadi pada waktu itu. Beberapa tahun kemudian, tahun Çaka 31 (th 109 M), Betara Tiga beryoga di Puncak Tohlangkir (Gunung Agung), untuk membersihkan Nusa Bali tepatnya pada hari Anggara (Selasa) Kliwon, wara Kulantir, dikala bulan Purnama raya, Sasih Kelima, atas kekuatan yoga Betara Tiga, Gunung Agungpun meletus lagi dengan sangat hebatnya.
Memang Dewata telah mengatur sedemikian rupa, setiap upacara besar keagamaan di Baliyang besifat umum, Gunung Agung tetap meletus atau paling tidak akan terjadi gempa bumi. Setelah upacara pembersihan Nusa Bali, pada tahun Çaka 31 itu juga Gunung Agung masih meletus, pada hari yang sangat baik, Betara Tiga di Puncak Tohlangkir, sama bertujuan agar mempunyai putra, maka Betara Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya beryoga dengan sangat hebatnya, menghadapi api pedipaan, betapa alunan suaranya bunyi genta, hujan kembang dari angkasa.

Jumat, 27 April 2012

Apakah Caru, Segehan, dan Tawur ?

Mecaru (upacara Byakala) adalah bagian dari upacara Bhuta Yadnya (mungkin dapat disebut sebagai danhyangan dalam bhs jawa) sebagai salah satu bentuk usaha untuk menetralisir kekuatan alam semesta / Panca Maha Bhuta.

Mecaru, dilihat dari tingkat kebutuhannya terbagi dalam:
  • Nista ~ untuk keperluan kecil, dalam lingkup keluarga tanpa ada peristiwa yang sifatnya khusus (kematian dalam keluarga, melanggar adat dll)
  • Madya ~ selain dilakukan dalam lingkungan kekerabatan/banjar (biasanya dalam wujud tawur kesanga, juga wajib dilakukan dalam keluarga dalam kondisi khusus, pembangunan merajan juga memerlukan caru jenis madya
  • Utama ~ dilakukan secara menyeluruh oleh segenap umat Hindu (bangsa) Indonesia

Segehan, persembahan penuh makna filosofis

Kata segehan, berasal kata "Sega" berarti nasi (bahasa Jawa: sego). Oleh sebab itu, banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan. Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang atau janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem.

Upacara Yadnya - dalam kehidupan masyarakata Bali Hindu

Sejarah menyatakan, bahwa pada jaman dahulu kala di wilayah Nusantara Indonesia telah berdiri Kerajaan-Kerajaan Besar seperti salah satu di antaranya adalah Kerajaan Majapahit yaitu sebuah Kerajaan penganut Agama Hindu yang merupakan Kerajaan terbesar yang bisa menyatukan seluruh wilayahnya sampai ke Madagaskar.

Pada jaman itu sudah ada hubungan dagang dengan negara Luar Negeri terutama dengan Negeri Campa, yang saat ini Negara Cina.

Kerajaan ini bertempat di Jawa Timur, yang pada jaman keemasannya dipimpin oleh seorang Raja yang bernama Hayam Wuruk dengan Patihnya bernama Gajah Mada.

Wariga dan Dewasa, merupakan Ilmu astronomi ala Bali

Wariga dan dewasa adalah dua istilah yang paling umum diperhatikan oleh umat hindu khususnya di bali bila ingin mencapai kesempurnaan dan keberhasilan. Kedua ilmu itu merupakan salah satu cabang ilmu agama yang dihubungkan dengan ilmu astronomi atau “Jyotisa Sastra” sebagai salah satu wedangga. Walaupun kedua ilmu tersebut sebagai salah satu cabang ilmu weda, namun pendalamannya tidak banyak diketahui kecuali untuk tujuan praktis pegangan oleh para pendeta dalam memberikan petunjuk baik buruknya hari dalam hubungannya untuk melakukan usaha agar supaya berhasil dengan mengingat hari atau waktu dalam sistim sradha hindu yang dipengaruhi oleh unsur kekuatan tertentu dan planet-planet itu.