Pura
ini berdiri di wilayah pertemuan antara pantai dan perbukitan dengan
sebuah goa yang dihuni beribu-ribu kelelawar. Lontar Padma Bhuwana
menyebutkan Pura Goa Lawah merupakan salah satu kahyangan jagat/sad
kahyangan sebagai sthana Dewa Maheswara dan Sanghyang Basukih, dengan
fungsi sebagai pusat nyegara-gunung. Bagaimana sejarah pura yang
menempati posisi di bagian tenggara itu?
Pura Goa Lawah merupakan suatu kawasan yang suci dan indah. Di situ ada perpaduan antara laut dan gunung (lingga yoni). Seperti namanya, di pura ini terdapat goa yang dihuni ribuan kelelawar. Gemuruh riuh suara kelelawar tiada henti, pagi, siang, apalagi malam. Sekejab puluhan, ratusan bahkan ribuan ekor terbang. Sebentar lagi datang, bergantungan, bergelayutan, beresak-desakkan di dinding-dinding karang goa. Terdengar begitu riuh bagaikan nyanyian alam yang abadi sepanjang mas. Belum lagi munculnya ular duwe, lelawah (kelelawar) putih, kuning dan brumbun, menambah suasana makin mistik di Pura yang berada di Desa Pesinggahan, Dawan, Klungkung itu.
Sementara
di mulut goa terdapat beberapa palinggih sthana para Dewa. Di
pelatarannya, juga berdiri kokoh beberapa meru dan sthana lainnya.
Lokasinya
sekitar 20 kilometer di sebelah timur kota Semarapura, Klungkung atau
kurang lebih 59 kilometer dari kota Denpasar. Hari piodalan/pujawali di
pura ini dilaksanakan setiap enam bulan sekali (210 hari) yakni pada
Anggara Kasih Medangsia. Upacara biasanya nyejer selama 3 hari dengan
penanggung jawab, pengempon pura yakni Krama Desa Pakraman Pesinggahan.
Di
samping itu, di pura ini juga dilaksanakan aci penyabran yang dilakukan
secara rutin pada hari-hari suci seperti Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon,
Pagerwesi, Saraswati, Siwaratri dan lainnya. Begitu juga dengan umat
Hindu dari seluruh pelosok Bali, setiap harinya ada saja yang menggelar
upacara meajar-ajar nyegara-gunung.
Siapa
yang membangun Pura Goa Lawah dan kapan dibangun? Sulit mengungkap dan
membuka secara gamblang misteri itu. Di samping karena usia bangunan
pemujaan tersebut sudah tua, juga suit ditemukan narasumber yang
benar-benar mengetahui seluk beluk keberadaannya.
Memang,
ada beberapa lontar yang selintas menulis keberadaan Pura Goa Lawah.
Tetapi informasinya hanya selintas, kurang gamblang. Namun, jika dirunut
dari kata goa lawah, secara harfiah sedikit tidaknya dapat dijelaskan
bahwa goa berarti goa (lobang) dan lawah berarti kelelawar. Jadi goa
lawah bisa diartikan goa kelelawar. Dalam beberapa lontar, sekilas ada
yang menyimpulkan secara garis besarnya bahwa sejumlah pura besar yang
berstatus Kahyangan Jagat dan Sad Kahyangan di Bali dibangun oleh
pendeta terkenal, Mpu Kuturan
Hal
itu terbukti dengan disebutnya Pura Goa Lawah dalam lontar Mpu Kuturan,
sebagaimana dihimpun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Klungkung, bahwa Mpu Kuturan datang ke Bali abad X yakni saat
pemerintahan dipimpin Anak Bungsu adik Raja Airlangga. Airlangga sendiri
memerintah di Jawa Timur (1019-1042). Ketika tiba, Mpu Kuturan menemui
banyak sekte di Bali. Melihat kenyataan itu, Mpu Kuturan kemudian
mengembangkan konsep Tri Murti dengan tujuan mempersatukan semua sekte
tersebut.
Kedatangan
Mpu Kuturan membawa perubahan yang sangat besar di wilayah ini,
terutama mengajarkan masyarakat Bali tentang cara membuat pemujaan
terhadap Hyang Widhi yang dikenal dengan sebutan kahyangan atau
parahyangan. Mpu Kuturan pula yang mengajarkan pembuatan Kahyangan Tiga
di setiap desa pakraman di Bali serta mengukuhkan keberadaan Kahyangan
Jagat yang salah satunya adalah Goa Lawah. Sebagaimana tertulis dalam
lontar Usana Dewa, Mpu Kuturan juga tercatat sebagai perancang bangunan
pelinggih di sejumlah pura seperti gedong dan meru serta arsitektur
Bali. Begitu juga dengan berbagai jenis upacara-upacara dan pedagingan
pelinggih. Hal itu termuat dalam lontar Dewa Tatwa. Mpu Kuturan telah
membuat landasan prikehidupan yang sangat diwarisi sampai saat ini dalam
bentuk Desa Pakraman.
Disamping
nama Mpu Kuturan patut juga dicatat perjalanan Danghyang Dwijendra atau
Danghyang Nirartha yang dikenal juga dengan gelar Pedanda Sakti Wawu
Rawuh. Maha Pandita ini berada di Bali saat Bali dipimpin Raja Dalem
Waturenggong (1460-1550 Masehi), seorang raja yang sangat jaya pada
masanya dan membawa kejayaan Nusa Bali. Danghyang Nirartha merupakan
seorang pendeta yang melakukan tirthayatra ke seluruh pelosok Pulau
Bali, termasuk juga ke pulau Lombok dan Sumbawa.
Kaitannya
dengan Pura Goa Lawah. Lontar Dwijendra Tatwa menyebutkan perjalanan
Danghyang Nirartha diawali dari Gelgel menuju Kusamba. Tetapi, di
Kusamba Danghyang Nirartha tidak berhenti. Perjalanannya berlanjut
hingga ke Goa Lawah. Saat itulah, Danghyang Nirartha bisa melihat gunung
yang indah. Perjalanannya terhenti, Sang pendeta masuk ke tengah goa,
melihat-lihat kelelawar yang jumlahnya ribuan. Di puncak gunung goa itu
bunga-bunga bersinar, jatuh berserakan tertiup angin semilir, bagaikan
ikut menambah keindahan perasaan sang pendeta yang baru tiba. Dari sana
beliau memandang Pulau Nusa yang terlihat indah. Lalu membangun
padmasana yang notebene tempat bersthana para dewa.
Pura
Goa Lawah awalnya dipelihara dan dijaga Gusti Batan Waringin atas
petunjuk Ida Panataran yang notebene putra dari Ida Tulus Dewa yang
menjadi pemangku di Pura Besakih. Informasi itu menunjukkan bahwa Goa
Lawah memiliki hubungan benang merah dengan Pura Besakih. Pura Goa Lawah
merupakan jalam keluar Ida Bhatara Hyang Basukih dari Gunung Agung
tepatnya di Goa Raja, terutama ketika berkehendak masucian di pantai.
Dalam
babad Siddhimantra Tatwa disebutkan ada kisah pertemuan antara
Sanghyang Basukih di kawasan Besakih dengan Danghyang Siddhimantra,
salah seorang keturunan Mpu Bharadah. Sanghyang Bsukih yang merupakan
nagaraja, memiliki peraduan di sebuah goa yang berada di bawah Pura Goa
Raja Besakih yang konon tembus ke Goa Lawah. Dalam hubungan ini acapkali
terlihat secara samar sosok seekor naga ke luar dari Pura Goa Lawah,
menyeberang jalan lalu menuju pantai. Orang percaya itulah Sanghyang
Basukih yang berdiam di goa sedang menyucikan diri, mandi ke laut.
Goa
dari Pura Goa Lawah ini, menurut krama Pesinggahan tembus di tiga
tempat masing-masing di Gunung Agung (Goa Raja Besakih), Talibeng dan
Tangkid Bangbang. Ketika Gunung Agung meletus tahun 1963, ada asap
mengepul keluar dari muara goa lawah. Ini suatu bukti Goa Raja Besakih
tembus Goa Lawah.
Jika
menengok ke belakang yakni pada zaman Megalitikum, di mana pada zaman
itu selain menghormati kekuatan gunung sebagai kekuatan alam yang telah
menyatu dengan arwah nenek moyang yang mempunyai kekuatan gaib, juga
menghormati kekuatan laut di samping kekuatan-kekuatan alam lainnya,
seperti batu besar, goa, campuhan, kelebutan dan lainnya. Dalam
kehidupan masyarakat Bali yang kental dengan pengaruh dan sentuhan agama
Hindu, pemujaan terhadap kekuatan segara gunung memang merupakan dresta
tua. Tetapi sampai saat ini masih bertahan dan terus berlanjut. Karena
pada intinya, pemujaan terhadap Dewa Gunung atau Dewa Laut, sesungguhnya
telah mencakup pemujaan kepada kekuatan alam yang notabene penghormatan
yang amat lengkap. Atas dasar itulah, Pura yang awalnya sangat
sederhana itu, kini lebih dikenal sebagai kekuatan alam yang bersatu
dengan kekuatan magis arwah nenek moyang. Laut yang berada di depan
pura, sekarang telah menyatu dengan segala kekuatan yang dihormati dan
dipuja masyarakat guna mendapat ketentraman dan kesejahteraan hidup.
Dari
kilasan di atas, jelas bahwa Pura Goa Lawah memiliki sejarah yang cukup
panjang. Berawal dari pemujaan alam goa kelelawar, gunung dan laut di
zaman Megalitikum, lalu dikembangkan/ditata dan kemudian dibangun
pelinggih-pelinggih sthana para Dewa dan Bhatara oleh Mpu Kuturan abad
X, kemudian disempurnakan lagi dengan membangun Padmasana oleh Danghyang
Dwijendra pada abad XIV-XV. Lengkaplah keberadaan Pura Goa Lawah,
seperti yang kita lihat dan warisi sekarang.
Namun
yang perlu dicatat, Nyegara-Gunung yang digelar di Pura Goa Lawah,
mengandung makna terima kasih ke hadapan Hyang Widhi dalam manifestasi
Girinatha (Pelindung Gunung) dan Baruna sebagai penguasa laut, atas
anugerahnya berupa amerta baik kepada sang Dewa Pitara-jiwa leluhur yang
telah suci maupun kepada Sang Yajamana, Sang Tapini dan Sang Adrue
Karya. Atas dasar konsep inilah Umat Hindu memuliakan gunung dan laut
sebagai sumber penghidupan. Memuliakan gunung dan laut bukan berarti
umat Hindu menyembah gunung dan laut, tetapi yang dipuja adalah Hyang
Widhi dalam fungsinya sebagai pelindung gunung dan penguasa laut.
Membaca Pertanda Alam
Keberadaan
ribuan kelelawar berwarna hitam yang menghuni goa di Pura Goa Lawah,
itu biasa. Namun, munculnya ular duwe di sela-sela bebatuan dan
kelelawar berwarna putih, kuning dan brumbun, tampaknya memendam ribuan
misteri yang sulit diungkapkan dengan akal sehat. Munculnya kelelawar,
khususnya yang berwarna putih dan ular duwe, biasanya membawa wangsit
(pesan) bahwa akan terjadi sesuatu yang menimpa alam, khususnya Bali.
Kemunculannya
merupakan pertanda akan adanya bencana atau kejadian-kejadian, seperti
tanah longsor, gempa bumi, pembunuhan, gunung meletus, tsunami, bom dan
lain-lain.
Hal
itu sudah dibuktikan sejak jaman dahulu. Sebagaimana dituturkan Jero
Mangku Tirtawan, pemangku pura setempat. Dikatakannya, beberapa tahun
lalu, begitu kelelawar putih muncul, berbagai kejadian terjadi, seperti
pembunuhan di Klungkung, Karangasem, bunuh diri di berbagai daerah.
Termasuk bom Bali, 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005 lalu. Bahkan
bencana tsunami yang melanda Aceh, itu sudah diduga-duga karena
munculnya kelelawar putih putih.
Sebelumnya,
ular duwe yang muncul sekilas di celah bebatuan, ditemukan mati tanpa
sebab. Percaya atau tidak, pasca matinya ular duwe tersebut, kemakmuran
dan kesuburan alam juga makin terkikis. Dalam konsep Hindu, ular (naga)
merupakan dasar bumi yang melilit kura-kura Benawang Nala sebagai sumber
panas bumi. Dengan matinya ular tersebut secara mendadak tanpa sebab
sebagai nyasa sumber kesuburan alam telah habis.
Beberapa
bulannya lagi,masyarakat kembali dikejutkan dengan matinya ular duwe
untuk kedua kalinya. Sebelum ular duwe tersebut mati, ia sempat berjalan
ke sana kemari dari pagi sampai siang. Tepat siang hari ular itu
mati. Jero Mangku Tirtawan saat itu mengaku was-was.Karena dia
memprediksi bakal terjadi pergantian kepemimpinan secara mendadak.
Tetapi kejadiannya malah lain. Saat itu terjadi pembunuhan di salah satu
di Denpasar.
Sebelum
dipralina ular duwe tersebut ditaruh di depan bale pesamuan sambil
memohon petunjuk sulinggih untuk melaksanakan upacara pemralina ke
segara. Ketika menjelang sore, persiapan upakara pemrelina sudah selesai
ada seorang pemedek yang menghalangi pelaksanaan upacara dimaksud sebab
menurutnya ular duwe tersebut akan mengeluarkan senjata.Ucapan orang
tersebut tampak ada benarnya. Pada pukul 23.00 Wita dari badan ular duwe
tersebut keluar pamor (kapur). Pamor itu berubah menjadi benda senjata
yang berbentuk dupa mecanggah. Ketika akan siap-siap ngayut, ular duwe
tersebut, muncul sinar biru mengelilingi Bale Pengaruman Utama Mandala
Pura Goa Lawah, seiring hilangnya sinar,hujan lebat mengguyur pelataran
pura, lalu dilanjutkan dengan nganyut ular duwe ke segara. Pada malam
tersebut pemedek beserta Sulinggih menghaturkan guru piduka (permohonan
maaf) dan pejati di tempat memrelina ulat tersebut. Tiba-tiba muncul
sinar putih lalu sinar tersebut diam di depan sulinggih kemudian dibawa
ke pura. Setelah di pura sinar tersebut berubah menjadi senjata
berbentuk pasepan.
Memuja Dewa Laut
Menurut
sejumlah sumber, Pura Goa Lawah merupakan pura untuk memuja Tuhan
sebagai Dewa Laut. Pura Goa Lawah di Desa Pesinggahan Kecamatan Dawan,
Klungkung inilah sebagai pusat Pura Segara di Bali untuk memuja Tuhan
sebagai Dewa Laut. Dalam Lontar Prekempa Gunung Agung diceritakan Dewa
Siwa mengutus Sang Hyang Tri Murti untuk menyelamatkan bumi. Dewa Brahma
turun menjelma menjadi Naga Ananta Bhoga. Dewa Wisnu menjelma sebagai
Naga Basuki. Dewa Iswara menjadi Naga Taksaka. Naga Basuki penjelmaan
Dewa Wisnu itu kepalanya ke laut menggerakkan samudera agar menguap
menjadi mendung. Ekornya menjadi gunung dan sisik ekornya menjadi
pohon-pohonan yang lebat di hutan. Kepala Naga Basuki itulah yang
disimbolkan dengan Pura Goa Lawah dan ekornya menjulang tinggi sebagai
Gunung Agung. Pusat ekornya itu di Pura Goa Raja, salah satu pura di
kompleks Pura Besakih. Karena itu pada zaman dahulu goa di Pura Goa Raja
itu konon tembus sampai ke Pura Goa Lawah. Karena ada gempa tahun1917,
goa itu menjadi tertutup.
Keberadaan
Pura Goa Lawah ini dinyatakan dalam beberapa lontar seperti Lontar
Usana Bali dan juga Lontar Babad Pasek. Dalam Lontar tersebut dinyatakan
Pura Goa Lawah itu dibangun atas inisiatif Mpu Kuturan pada abad ke XI
Masehi dan kembali dipugar untuk diperluas pada abad ke XV Masehi. Dalam
Lontar Usana Bali dinyatakan bahwa Mpu Kuturan memiliki karya yang
bernama Babading Dharma Wawu Anyeneng yang isinya menyatakan tentang
pembangunan beberapa pura di Bali termasuk Pura Goa Lawah dan juga
memuat tahun saka 929 atau tahun 107 Masehi. Umat Hindu di Bali umumnya
melakukan Upacara Nyegara Gunung sebagai penutup upacara Atma Wedana
atau disebut juga Nyekah, Memukur atau Maligia.
Upacara
ini berfungsi sebagai permakluman secara ritual-sakral bahwa
atmankeluarga yang diupacara itu telah mencapai Dewa Pitara. Upacara
Nyegara Gunung itu umumnya dlakukan di Pura Goa Lawah dan Pura Besakih
salah satunya ke Pura Goa Raja.
Pura
Besakih di lereng Gunung Agung dan Pura Goa Lawah di tepi laut adalah
simbol lingga yoni dalam wujud alam. Lingga yoni ini adalah sebagai
simbol untuk memuja Tuhan yang salah satu kemahakuasaannya mempertemukan
unsur purusa dengan pradana. Bertemunya purusa sebagai unsur spirit
dengan pradana sebagai unsur materi menyebabkan terjadinya penciptaan.
Demikianlah Gunung Agung sebagai simbol purusa dan Goa Lawah sebagai
simbol pradana. Hal itu untuk melukiskan proses alam di mana air laut
menguap menjadi mendung dan mendung menjadi hujan. Hujan ditampung oleh
gunung dengan hutannya yang lebat. Itulah proses alam yang dilukiskan
oleh dua alam itu. Proses alam itu terjadi atas hukum Tuhan. Karena
itulah di tepi laut di Desa Pesinggahan didirikan Pura Goa Lawah dan di
Gunung Agung didirikan Pura Besakih dengan 18 kompleksnya yang utama. Di
Pura itulah Tuhan dipuja guna memohon agar proses alam tersebut tetap
dapat berjalan sebagaimana mestinya. Karena dengan berjalannya proses
itu alam ini tetap akan subur memberi kehidupan pada umat manusia
Di
jeroan Pura, tepatnya di mulut goa terdapat pelinggih Sanggar Agung
sebagai pemujaan Sang Hyang Tunggal. Ada Meru Tumpang Tiga sebagai
pesimpangan Bhatara Andakasa. Ada Gedong Limasari sebagai pelinggih Dewi
Sri dan Gedong Limascatu sebagai Pelinggih Bhatara Wisnu. Dua pelinggih
inilah sebagai pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Basuki dan Bhatara
Tengahing Segara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar