Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi "Pasek Dukuh Bunga Asahduren": 05/03/12

Kamis, 03 Mei 2012

Tanamkan Budaya Daerah pada Anak Sedini Mungkin


Di Pura Dadia Pasek Pegatepan


Pelinggih Meru Tumpang 2 dan 3

1. Meru tumpang 3, menurut Lontar Tutur Kuturan adalah bentuk meru yang pertama kali dikenalkan oleh Ida Bhatara Mpu Kuturan di Bali, sekitar abad ke-11.
Bangunan itu adalah simbol ‘Ongkara’ karena simbol Ongkara sebagai Sanghyang Widhi mempunyai kemahakuasaan:
  • Sebagai angka 3 (dalam aksara Bali), di mana 3 adalah: uttpti (kelahiran), stiti (kehidupan), dan pralina (kematian/ akhir)
  • Ditambahkan: ardha candra (simbol bulan = satyam), windhu (simbol matahari = rajas), dan nada (simbol bintang = tamas)
  • Digunakan untuk memuja Sanghyang Widhi.

KEWANGEN

KewangenKewangen adalah salah satu sarana persembahyang (upakara) umat Hindu yang umum digunakan terutama di Lombok dan Bali. Kata “kewangen” berasal dari kata “wangi” bahasa Kawi yang berarti harum. Jadi, makna utama kewangen adalah mengharumkan nama Tuhan melalui bhakti. Di dalam lontar Sri Jaya Kasumu disebutkan kewangen sebagai lambang “Omkara”. Di dalam lontar Brahahara Upanisad disebutkan kewangen sebagai lambang Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Salah satu bait dalam kakawin Om Sembah menyebutkan: “wahya dyatmika sembah ingulun ijong ta tan ana waneh” yang artinya adalah lahir batin sembah kami terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, tidak ada yang lain. Persembahan secara lahir batin ini disimbolkan dengan kewangen di mana kewangen terdiri dari komponen-komponen berikut:

Asta Kosala Kosali Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali



Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.

ENAM TOKOH SUCI DALAM PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI BALI

1. DANGHYANG MARKANDEYA
Pada abad ke-8 beliau mendapat pencerahan di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal lalang - Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (Banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali.



Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk