Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi "Pasek Dukuh Bunga Asahduren": Mei 2012

Kamis, 31 Mei 2012

DEFINISI NGAYAH ADAT

APA difinisi ngayah itu? Seorang tokoh adat menyebutkan, ngayah adalah kerja bakti untuk berbagai keperluan, apakah urusan ritual keagamaan atau pun masalah sosial kemasyarakatan. Kalau sudah disebut sebagai ngayah maka siapa pun yang terlibat tidak mendapatkan upah. Ini kerja gratis.
Namun, tidak demikian untuk krama banjar adat. Menjadi krama banjar adat, kalau tidak ikut ngayah akan kena sanksi berupa denda. Besarnya denda tidak seragam di masing-masing banjar adat. Juga tergantung jenis ngayah itu, apakah memperbaiki lingkungan, bekerja menyiapkan sarana upacara, menjenguk

Makna dan Tata Cara Teknis Upacara Pabayuhan Sapuh Leger


 Umat hindu terutama di Bali sangat meyakini , bahwa orang yang lahir pada Wuku Wayang (lebih lebih pada Tumpek Wayang) merupakan hari kelahiran yang cemer, mala serta melik (kepingit). Dan kebanyakan orang tua yang mempunyai anak lahir pada wuku wayang merasakan ketakutan dan was was atas kelanjutan kehidupan anaknya. Kebanyakan yakin dengan adanya cerita Geguritan Suddamala yang menceritakan ; Dewa Siwa pura pura sakit keras , dan mengutus Dewi Uma mencari Lembu Putih dialam fana sebagai obat.  Dan sebelum susu didapat Dewi Uma tidak dipekenankan kembali ke Siwaloka,  Sang dewi sangat patuh melaksanakan perintahnya, singkat cerita Dewi Uma menemukan Lembu  Putih tersebut, ternyata untuk mendapatkan susu lembu dewi uma harus melakukan hal yang tidak terpuji yaitu harus mengorbankan

Unesco tetapkan “Subak” sebagai Warisan Dunia

Budaya Subak Bali akhirnya berhasil ditetapkan sebagai warisan dunia oleh Unesco. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengapresiasi ditetapkannya Subak Bali setelah setelah perjuangan selama 12 tahun. “Satu lagi kabar gembira bagi bangsa Indonesia, Bali Culture Landscape ( Budaya Subak Bali) sebagai cermin Tri Hita Karana baru saja disetujui untuk ditetapkan sebagai warisan dunia Unesco,” Wamenbud, Windu Nuryanti, Minggu (20/5/2012).

Wayang Sapuh Leger


Kata “Sapuh Leger” di Bali secara khusus dihubungkan dengan pertunjukkan wayang dalam kaitannya untuk pemurnian kepada anak/orang yang lahir tepat pada wuku wayang dalam siklus kalender tradisional Bali (Di Jawa juga ada bila kalender-nya lengkap). Secara ritual upacara pemurnian dinamakan lukat/nglukat, yaitu suatu aktivitas untuk membuat air suci (tirta) yang dilakukan baik oleh seorang pendeta (pedanda/pemangku) maupun seorang dalang (Mangku Dalang) dengan tujuan untuk membersihkan mala (kekotoran) rohani seseorang.

HARI RAYA SARASWATI

Saraswati adalah nama dewi, Sakti Dewa Brahma (dalam konteks ini, sakti berarti istri). Dewi Saraswati diyakini sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi-Nya sebagai dewi ilmu pengetahuan. Dalam berbagai lontar di Bali disebutkan “Hyang Hyangning Pangewruh.”
Di India umat Hindu mewujudkan Dewi Saraswati sebagai dewi yang amat cantik bertangan empat memegang: wina (alat musik), kropak (pustaka), ganitri (japa mala) dan bunga teratai. Dewi Saraswati dilukiskan berada di atas angsa dan di sebe-lahnya ada burung merak. Dewi Saraswati oleh umat di India dipuja dalam wujud Murti Puja. Umat Hindu di Indonesia memuja Dewi Saraswati dalam wujud hari raya atau rerahinan.

Sejarah Topeng Sidakarya


Brahmana Keling
Pada jaman dahulu di suatu daerah yang bernama Keling ada seorang pendeta yang sangat termashyur karena pandangannya tentang kebenaran yang utama yang mempunyai “Ilmu Kelepasan Jiwa”.  Ia disebut sebagai Brahmana Keling karena beliau berasal dari sebuah daerah yang bernama Keling di Jawa Timur. Beliau juga mendirikan pesraman atau pertapaan di lereng Gunung Bromo. Brahmana Keling adalah putra dari Danghyang Kayumanis, cucu dari Empu Candra, kumpi dari Mpu Bahula dan cicit dari Mpu Beradah. Tetapi sampai saat ini belum ada yang tahu nama Beliau yang sebenarnya, karena beliau berasal dari daerah Keling maka beliau dipanggil dengan sebutan Brahmana Keling.

BANTEN SARAT MAKNA SIMBOLIK


Banten Sarat Makna Simbolik (Tak hanya Hiasan Belaka)
SARANA upacara atau bebantenan di Bali, sesungguhnya tidak hanya hiasan belaka. Tetapi, di dalamnya sarat makna simbolis. Pada umumnya, sarana upakara tersebut sebagai media bagi umat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta.
Wakil Ketua Parisada Bali Drs. I Gusti Ngurah Sudiana menyambut baik keinginan umat untuk membuat museum banten. Tetapi, bentuk-bentuk bebantenan yang dipajang di museum itu mesti dilengkapi dengan penjelasan makna dan sekaligus bahan-bahannya. Dengan demikian, umat atau orang asing akan makin paham akan makna di balik bebantenan tersebut. Hal itu juga sekaligus menghilangkan istilah anak mula keto di kalangan umat.

BANTEN SEBAGAI PENGUAT KONSEP HIDUP


Banten Sebagai Penguatan Konsep Hidup
BANTEN merupakan visualisasi dari ajaran tattwa dan susila Hindu yang memiliki tujuan mengarahkan, menuntun manusia guna tumbuhnya sifat-sifat yang mulia dalam diri. Oleh sebab itu apa yang ada dibalik banten itu ternyata sangat kaya akan konsep hidup yang bersifat universal, yang
wajib diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: Banten Peras, Banten ini lambang perjuangan hidup dan doa untuk mencapai kesuksesan (Prasiddha) dalam kehidupan ini.
Sebagai manusia normal kesuksesan dalam hidup merupakan dalam meraih sukses tersebut. Dalam Banten Pras kesuksesan itu digambarkan dengan jelas sekali dinyatakan : ” Pras Ngaranika Prasiddha Tri Guna Sakti “, artinya Pras namanya adalah sukses (Prasiddha) dengan kuatnya Tri Guna. Tri Guna itu adalah Sattwam, Rajas dan Tamas. Apabila ketiga Guna ini berada pada struktur dan komposisi yang idial, maka ia akan menjadi kekuatan luar biasa untuk mengantarkan seseorang menuju pada kesuksesan hidup. Struktur dan komposisi idial yang dimaksud adalah apabila guna Sattwam menguasai guna Rajas dan guna Tamas. Dalam Banten Pras ketiga guna ini disimbulkan dengan benang, uang dan beras. Benang sebagai lambang Sattwam, Uang sebagai lambang Rajas, dan Beras sebagai lambang Tamas.

Banten Sebagai Simbol Berserah Diri



BERSERAH diri menurut konsep Hindu, bukan sebuah sikap apatis, melainkan sebuah sikap proaktif yang bersifat dinamis, untuk memperbaiki kehidupan ini dengan senantiasa menumbuh kembangkan rasa bhakti yang dilandasi oleh Jnana dan Karma. Banten menurut Yajna Prakrti merupakan salah satu bentuk penyerahan diri kepada hyang Widhi. Hal ini disebutkan sebagai berikut :
“Reringgitan tatuwasan pinaka kalanggengan kayunta mayajna. Sekare pinaka kaheningan kayunta mayajna. Plawa pinaka peh pakayunane suci, raka-raka pinaka Widyadara-Widyadari”.
Artinya: Reringgitan dan Tatuwasan lambang dari kesungguhan hati dalam beryajna.

BANTEN PEJATI


Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya.
Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten. Dalam “Lontar Yajña Prakrti” disebutkan:
sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana
artinya:
semua jenis banten (upakara) adalah lambang Bhuana Agung (alam semesta).
Banten Pejati Banten pejati adalah nama Banten atau (upakara), sesajen yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan prabhavaNya.

MAKNA CARU, SEGEHAN, TAWUR

Banten yang berfungsi sebagai badan adalah banten ayaban. Sedangkan bante yang berfungsi sebagai kaki atau suku adalah Banten yang berada dipanggungan yang letaknya dijaba. Adapun Banten Caru merupakan simbol dari perut. Kemudian berdasarkan lapisan yang menyusun tubuh manusia yakni: Badan Kasar atau Sthula Sarira yang terdiri dari Panca Maha Bhuta, Badan Astral atau Suksma Sarira yang terdiri dari Alam Pikiran (Citta, Budhi, Manah, Ahamkara, atau Sattwam Rajas Tamas) serta Sang Hyang Atman sebagai sumber kehidupan. Jika lapisan ini dikaitkan dengan keberadan bebanten, maka banten yang mewakili Panca Maha Butha ini adalah banten yang suguhan seperti: banten soda atau ajuman, rayunan perangkatan dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai penguatan yang dijabarkan dalam berbagai bentuk pengharapan dan cita-cita adalah banten sebagai Suksma Sarira seperti banten Peras, Penyeneng, Pengambyan, Dapetan, Sesayut dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai pengurip atau pemberi jiwa seperti Banten Daksina,

Sane Muput Karya : Jero Mangku Gede


Suasana sehabis sembahyang


Tugas Baga Parahyangan


Jumat, 04 Mei 2012

Bab 18 - Lolosnya Takshaka


Ketika Wyasa bersedia memenuhi permohonannya, Parikshit yang memperhatikan dengan seksama, menjawab dengan suara tersendak penuh emosi, “Maharesi, Nanda tidak tahu dengan jelas apa sebabnya kakek Nanda menghancurkan Hutan Khandawa dengan kobaran api. Ceritakan pada ananda bagaimana Sri Krishna menolongnya dalam hal itu. Buatlah ananda bahagia dengan menceritakan kejadian ini kepada nanda.” Parikshit bersujud di kaki Wyasa dan mohon agar
hal ini diceritakan kepadanya. Wyasa memujinya dan berkata, “Baiklah, Nanda mengajukan permohonan yang menambah reputasi Nanda. Akan saya kabulkan.”

Bab 17 - Mengenang Hari-hari Yang Telah Lampau


Maharaja Parikshit mengadakan kunjungan kenegaraan ke seluruh jasirah India, berusaha mempelajari keunggulan administratif dalam pemerintahan para kakeknya dan hubungan unik yang telah mereka jalin dengan Bhagawan Sri Krishna yang pada waktu itu turun ke dunia sebagai manusia. Maharaja mendengarkan pengalaman banyak orang suci serta cendikiawan yang hidup pada masa tenang dan bahagia itu, kemudian ia melanjutkan perjalanan sambil merenungkan kenangan menggembirakan tersebut. Sering ia dilanda penyesalan bila memikirkan bahwa ia tidak hidup pada masa itu, ketika para kakeknya menikmati kebahagiaan surgawi.

Bab 16 - Penghormatan Kepada Krishna


Bila Parikshit mengunjungi wilayah mana saja, para penguasa dan raja wilayah itu siap menyambutnya dengan penuh semangat, dengan penghormatan sipil dan militer yang sesuai. Mereka menyatakan selalu siap mengabdi dengan setia, apapun juga jenis pelayanan yang dikehendakinya dari mereka. Parikshit menjawab bahwa ia tidak memerlukan pelayanan mereka bahwa ia hanya ingin agar mereka mengembangkan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat yang dipercayakan kepada mereka. Ia menasehati mereka agar memberi perhatian khusus pada perlindungan bagi kaum brahmin serta wanita dan agar merka dilindungi dari marabahaya. Ia menghimbau agar mereka membantu mengembangkan ibadat kepada Tuhan di seluruh wilayah kekuasaan mereka. Hanya itulah permintaan yang diajukannya kepada para raja taklukannya.

Bab 15 - Masa Pemerintahan Maharaja Parikshit


Pandawa berjalan terus dengan pandangan lurus ke depan, menanti saat robohnya tubuh mereka karena kelelahan, dan kematian menyelesaikan karir mereka di dunia. Hati mereka penuh pada emosi yang berkisar pada Sri Krishna, permainan dan senda gurau Beliau; mereka tidak mempunyai pikiran atau perasaan yang lain.

Draupadi, permaisuri mereka, menyeret dirinya hingga agak jauh, tetapi ia menjadi terlalu lemah untuk melanjutkan perjalanan. Ketika ia berseru memanggil-manggil dan memohon, junjungannya tidak berpaling. Draupadi yang sangat cerdas dan berbakti segera sadar bahwa Pandawa bersaudara sedang melakukan nazar yang amat keras dan berat; ia mengerti bahwa ikatan yang
menghubungkan dirinya dengan mereka selama ini telah lepas dan ia harus menghadapi ajalnya. Draupadi jatuh pingsan; ia menghembuskan napas terakhir dengan pikiran terpusat pada Krishna.

Bab 14 - Kepergian Pandawa Bersaudara


Sungguh pemandangan yang menyedihkan. Parikshit, anak laki-laki yang mengenakan mahkota, mendekati kakeknya serta saudara-saudara kakeknya dengan mengiba-iba. Ia memegang erat-erat kaki mereka dan memohon agar agar diijinkan ikut pergi ke hutan menyertai mereka. Ia akan makan akar-akaran dan buah-buahan dengan senang hati, melakukan upacara suci, dan merasa bahagia. “Percayakanlah kemaharajaan ini kepada beberapa menteri yang baik dan ijinkan saya menyertai kakek supaya saya dapat melayani kakek dan membuat hidup saya berati “ demikian ia memohon. Orang-orang di sekitarnya dalam pendapa itu menitikan air mata, terharu melihat kesedihannya karena akan ditinggalkan. Batu-batu cadaspun pasti akan luluh dalam simpati seandainya mereka mendengar kesedihannya.

Bab 13 Parikshit Dinobatkan


Kunti Dewi mengikuti jalan yang ditempuh Shyamasundara (Sri Krishna). Yang tertinggal hanyalah tubuh tanpa nyawa. Arjuna menangis keras-keras, “Kakanda! Apa yang akan saya katakan? Kita telah kehilangan ibu kita.” Dharmaraja yang berdiri di sebelahnya terguncang hebat oleh kejutan itu; ia melangkah mendekati tubuh ibunya dan berdiri terpaku ketika melihat wajahnya yang memucat.

Para dayang di luar pintu mendengar perkataan Arjuna, mereka lalu mengintip ke dalam kamar. Tubuh Kunti Dewi terbaring di lantai. Arjuna meletakan kepala jenasah pada pangkuannya dan menatap wajah ibunya lekat-lekat dengan mata berkaca-kaca. Para dayang keraton saling menyampaikan berita ini; mereka masuk dan menyadari sang Ibu Suri telah meninggalkan mereka, tidak mungkin kembali lagi. Mereka menangis keras-keras ketika mengetahui malapetaka yang meremukan hati ini.

Bab 12 - Zaman Kali Dimulai

Bhima berkata, “ketika di istana Dhritarastra Krishna ditanya oleh Duryodhana, Dussasana, dan lain-lainnya, mengapa Beliau menjadi penengah dalam pertengkaran keluarga antara Kaurawa serta Pandawa dan lebih menyayangi pihak yang satu daripada pihak yang lain seakan-akan Pandawa merupakan kerabat yang lebih dekat dengan Beliau daripada Kaurawa, apakah jawaban Sri Krishna. Sekarang berusahalah mengingat jawaban itu. Bayangkanlah kejadian itu di hadapan Kakanda, Beliau berjalan hilir mudik seperti anak singa dan mengaum, “Apa yang Anda katakan? Apakah Kaurawa sama dekatnya kepada saya, seperti Pandawa? Tidak, mereka tidak akan pernah berada pada tingkat yang sama. Dengar akan saya beritahukan kepada kalian pertalian keluarga yang mengikat saya pada Pandawa; untuk badan saya ini, Dharmaraja dapat diibaratkan dengan kepala, Arjuna dapat iibaratkan dengan bahu dan kedua tangan; Bhima seperti tubuh; Nakula dan Sahadewa ibarat kedua kaki. Bagi badan yang tersusun seperti itu, Krishna adalah jantungnya. Anggota tubuh bergerak dengan kekuatan jantung; tanpa jantung mereka tidak bernyawa.”

Bab 11 - Kesedihan Pandawa

Mendengar perkataan Arjuna, Dharmaraja yang tenggelam dalam renungan dan sedang mengingat-ingat pertolongan, rahmat, kasih serta simpati yang telah mereka peroleh dari Sri Krishna, tiba-tiba menegakkan kepalanya dan bertanya, "Arjuna? Apa yang Adinda katakan! Malapetaka apa yang Dinda alami di jalan? Ceritakan selengkapnya kepada kami Adik terkasih!", dan
perlahan-lahan diangkatnya dagu Arjuna ketika menanyakan hal itu. Arjuna menatap wajah kakaknya sambil berkata, "Kakanda, segala keahlian dan
kemampuan saya telah meninggalkan saya bersama dengan Sri Krishna. Sekarang saya tidak memiliki kesaktian apa-apa, tidak mampu berprestasi lagi, lebih
lemah daripada yang paling lemah, sungguh, saya tidak memiliki daya hidup lagi."

Bab 10 - Misteri Krishna


Bhima berhasil mengumpulkan keberanian. Katanya, “Kakanda, berilah saya izin, maka saya akan segera pergi ke Dwaraka lalu kembali lagi dengan cepat. Saya akan membawa informasi selengkapnya tentang segala yang telah terjadi untuk melenyapkan rasa takut Kakanda.” Pada waktu Bhima berlutut memohon izin, matahari terbenam dan pelita mulai berkelip kelip di berbagai tempat memancarkan cahayanya yang temaram.

Sementara itu seorang pengawal di gerbang utama berlari masuk memberitahukan bahwa Arjuna telah datang dan sedang menuju tempat kediaman raja. Setiap orang bangkit seakan-akan hidup lagi secara mendadak; mereka bergegas menemui Arjuna ingin sekali mendengar kabar dari Dwaraka. Arjuna masuk, muram, amat sedih dan putus asa, sedikitpun tiada kegembiraan yang tersirat pada roman mukanya. Tanpa menatap wajah saudara-saudaranya, ia bersujud di kaki Dharmaraja.

Bab 09 - Kenaikan Sri Krishna


Dharmaraja yang amat sedih atas kepergian paman dan bibinya, Dhritarastra dan Gandhari, tertimpa penderitaan lain yang tidak tertahankan bagaikan jarum yang ditusukkan di dalam kuku. Kemanapun berpaling, ia mulai melihat berbagai pertanda buruk dalam kerajaannya. Ia melihat noda-noda kebohongan, kekejaman, dan ketidakadilan dalam perbuatan orang-orang di sekitarnya. Pertanda buruk menghadang setiap langkahnya dan mengacaukan pandangannya.

Akibatnya, ia dicekam kesedihan yang tidak dapat dijelaskan. Parasnya memucat dirongrong kekhawatiran. Ia selalu resah dan cemas. Adik-adiknya melihat hal ini dan karena mereka sendiri juga menjadi gelisah maka Bhima, Nakula dan Sahadewa menemui kakaknya yang tertua dan mengutarakan keinginan mereka untuk mengetahui penyebab kemurungannya yang aneh. Mereka berdiri di hadapannya dengan tangan tertangkup dan bertanya, “Raja dan junjungan! Dari hari ke hari kami lihat roman muka Kakanda makin suram; tampaknya Kakanda tenggelam dalam kesedihan yang tidak dapat diduga,

Bab 08 - Dhritarastra Berubah


Dhritarastra dan Gandhari tiba di hutang bersama dengan Widura. Widura mencari tempat yang sesuai untuk melakukan tirakat. Ia juga memberi mereka petunjuk tentang cara-cara terbaik untuk mencari kesadaran diri sejati. Mereka melewatkan hari demi hari dalam pergaulan serta pikiran yang suci.

Sementara itu di Hastinapura begitu matahari terbit, Dharmaraja bangun, menyelesaikan ritual pembersihan diri, lalu melakukan upacara pemujaan pada api keluarga. Ia memberikan sedekah harian kepada orang-orang miskin seperti biasanya. Setelah itu ia berjalan ke istana Dhritarastra, kakak ayahnya, seperti biasa, karena ia tidak pernah memulai tugas harian tanpa terlebih dahulu bersujud di kaki pamannya.

Bab 07 - Nasihat Widura


Widura melanjutkan peringatannya kepada Dhritarashtra, “kakanda telah mencapai usia selanjut ini, tetapi tetap saja kakanda menempuh hidup seperti anjing tanpa merasa malu atau ragu. Mungkin Kakanda tidak merasa malu mengenai hal itu, tetapi saya malu. Cih, tidak tahu malu! Cara kanda melewatkan hari-hari Kanda lebih jelek daripada burung gagak.”

Dhritarashtra tidak dapat menahannya lagi. Ia berseru, “Oh, cukup, cukup. Berhentilah. Adinda menyiksa saya sampai mati. Ini bukanlah kata-kata yang layak dikemukakan di antara saudara sendiri. Mendengar ucapan Adinda, saya merasa Adinda bukan Widura adik saya. Ia tidak akan menegur saya demikian kejam. Sekarang saya tinggal dengan Dharmaraja, apakah ia orang yang tidak dikenal? Apakah saya berlindung pada orang asing? Apa yang Adinda katakan ini? Mengapa begitu kasar? Dharmaraja merawat saya dengan kasih sayang dan perhatian besar, bagaimana Adinda dapat menyatakan saya menempuh hidup seperti seekor anjing atau gagak? Berdosalah bila Adinda memiliki gagasan semacam itu. Memang nasib saya begini, itu saja.” Dhritarashta menunduk dan mengeluh.

Bab 06 - Kunjungan Widura


Di dalam istana Widura menanyakan kesejahteraan setiap sanak saudaranya. Kemudian Kunti Dewi, ibu suri, masuk dan memandangnya dengan rasa sayang sambil berkata, “Akhirnya kami dapat melihat anda, oh Widura!” Ia tidak dapat berbicara lagi.

Setalah beberapa waktu dilanjutkannya “Bagaimana anda dapat tinggal demikian lama di tempat yang jauh, mengabaikan anak-aak yang telah anda asuh dengan penuh kasih dan saya sendiri serta orang-orang lain yang demikian menghormati anda? Karena doa restu andalah, maka anak-anak saya sekarang menjadi penguasa negeri ini. Dimana mereka akan berada kini seandainya dahulu anda tidak menyelamatkan mereka dalam berbagai keadaaan genting? Kami telah menjadi sasaran berbagai malapetaka, tetapi bencana yang terbesar adalah kepergian anda jauh dari kami. Itulah yang paling mempengaruhi kami. Bahkan kami sudah tidak mempunyai harapan untk bisa melihat anda lagi. Kini hati kami bersemi kembali. Harapan dan hasrat yang dicerai berikan oleh keputusasaan telah terhimpun kembali. Hari ini sempurnalah kegembiraan kami. Oh, alangkah membahagiakanya hari ini!” Kunti duduk sebentar menyeka air matanya.

Bab 05 - Yajna dan kedatangan Widura


Dharmaraja menerima nasihat Waasudeva (Sri Krishna) dan restu Wyasa. Diutusnya saudara- saudaranya beserta bala tentara untuk mengambil emas yang telah dibuang oleh para brahmin. Mereka berangkat setelah menyucikan diri dengan makan hidangan yang telah dipersembahkan kepada Tuhan. Mereka menemukan timbunan emas yang dahulu telah dihadiahkan oleh Maharaja Marut kepada para pendeta pada penutupan upacara pengurbanan. Emas itu telah dibuang oleh para pendeta di sepanjang sisi jalan yang mereka lalui ketika pulang. Bala tentara Pandawa mengumpulkan emas ini dan mengirimkannya dengan unta, gajah, kereta dan gerobak. Mereka memerlukan waktu beberapa hari untuk sampai ke Hastinapura dengan seluruh muatan itu. Mereka membongkar emas itu di tengah sambutan dan sorak-sorai rakyat.

Warga kerajaan mengagumi keberhasilan ekspedisi tersebut; mereka memuji-muji kemujuran Pandawa. Mereka menyambut para pangeran yang kembali ke kota membawa emas tersebut dengan berseru, “Jaya, jaya,” hingga suara mereka serak, sambil meloncat-loncat dan menari dengan sangat gembira. Mereka saling membicarakan kebesaran dan keindahan upacara pengurbanan yang akan diselenggarakan dengan emas tersebut.

Bab 04 - Yajna untuk menebus dosa

Judul Buku, Pancaran Bhagavata
Oleh, Bhagawan Sri Sathya Sai Baba
Upacara pemberian nama sang pangeran menimbulkan kegembiraan yang besar pada warga kerajaan, penghuni istana, dan anggota keluarga raja. Tetapi Yudhistira, sang sulung diantara Pandawa bersaudara, merasa bahwa ia harus melakukan sesuatu lebih dari itu; ia tidak merasa puas dengan sekadar pesta yang meriah. Sore itu juga ia memanggil para sesepuh, cendikiawan, pendeta, para raja bawahannya, dan tokoh-tokoh masyarakat agar datang menghadiri rapat; ia mohon agar Sri Krishna memimpin pertemuan itu dan menganugerahkan kegembiraan kepada semuanya. Maharesi Wyasa dan Resi Kripa juga hadir.
Yudhistira datang ke ruang sidang, berdiri diam beberapa saat di hadapan hadirin, kemudian bersujud di kaki Bhagawan Krishna dan Maharesi Wyasa. Setelah itu ia berpaling kepada para raja, cendikiawan, dan

Bab 03 - Bocah Parikshit dan ramalan tentang dirinya

Aduh! Apakah akhirnya ia harus mengalami nasib yang tragis ini? Apakah ini merupakan ganjaran bagi segala kebaikan yang kelak dilakukannya? Setelah menempuh hidup yang bajik selama bertahun-tahun, dapatkan akibatnya tiba-tiba berubah menjadi kematian yang malang ini? Ada dikatakan bahwa mereka yang mati tenggelam, mereka yang menemui ajal karena jatuh dari pohon, dan mereka yang meninggal karena digigit ular, tidak baik kehidupannya di akhirat kelak. Semua ini dianggap ebagai kematian yang sial, mereka yang menemui ajalnya seperti itu akan menjadi hantu dan akan menderita, demikian kata orang. Mengapa anak ini harus mengakhiri hidupnya seperti itu? Oh, alangkah mengerikan. Oh, alangkah tidak adilnya semua ini!” , ratap Yudhistira sambil menggigit bibirnya menahan sedih.

Bab 02 - Kelahiran seorang Bhagavata


BAB 2
KELAHIRAN SEORANG BHAGAVATA

judul buku ; Pancaran Bhagavata
oleh ; Bhagawan Sri Sathya Sai Baba


Maharaja Parikshit adalah putra Abimanyu yang telah mencapai surga para pahlawan. Ketika Parikshit masih berwujud janin yang tumbuh di rahim Uttara, ia melihat anak panah tajam yang dilepaskan oleh Aswathama meluncur ke arahnya. Senjata itu memancarkan percikan keganasan dan teror, siap membinasakannya, tetapi pada saat itu juga tampaklah tokoh yang cemerlang dan sangat mempesona bersenjatakan cakra yang dahsyat. Beliau menghancurkan panah maut itu menjadi seratus keping. Janin ninggrat itu diliputi kekaguman dan rasa terimakasih.

BAB I : Bhagavata


Sebutan Bhagavata dapat digunakan untuk setiap kisah pengalaman orang-orang yang telah menjalin hubungan dengan Tuhan dan dengan mereka yang saleh (Bhagawan dan bakta). Tuhan mengambil berbagai wujud dan memerankan berbagai kegiatan. Nama Bhagavata diberikan pada uraian pengalaman orang-orang yang telah menyadari Tuhan dalam aneka wujud tersebut dan juga pada kisah pengalaman mereka yang telah memperoleh karunia Beliau serta terpilih menjadi alat Beliau.

Karya agung yang terkenal ini (Bhagavata) dihormati oleh para ahli Weda. Kitab ini merupakan obat mujarab yang menyembuhkan berbagai penyakit fisik, mental, dan spiritual. Bhagavata sarat dengan kemanisan nektar dan bersinar dengan kecrmelangan serta keindahan Tuhan.

Makna Banten & Canang Sari di dalam persembahyangan umat Hindu di Bali

SARANA upacara atau bebantenan di Bali, sesungguhnya tidak hanya hiasan belaka. Tetapi, di dalamnya sarat makna simbolis. Pada umumnya, sarana upakara tersebut sebagai media bagi umat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta.

[Image: 148419207bbf8b16c06c03c64ac1c6773a5c9bbc.jpg]
Wakil Ketua Parisada Bali Drs. I Gusti Ngurah Sudiana menyambut baik keinginan umat untuk membuat museum banten. Tetapi, bentuk-bentuk bebantenan yang dipajang di museum itu mesti dilengkapi dengan penjelasan makna dan sekaligus bahan-bahannya. Dengan demikian, umat atau orang asing akan makin paham akan makna di balik bebantenan tersebut. Hal itu juga sekaligus menghilangkan istilah anak mula keto(memang seperti itu) di kalangan umat.

Kamis, 03 Mei 2012

Tanamkan Budaya Daerah pada Anak Sedini Mungkin


Di Pura Dadia Pasek Pegatepan


Pelinggih Meru Tumpang 2 dan 3

1. Meru tumpang 3, menurut Lontar Tutur Kuturan adalah bentuk meru yang pertama kali dikenalkan oleh Ida Bhatara Mpu Kuturan di Bali, sekitar abad ke-11.
Bangunan itu adalah simbol ‘Ongkara’ karena simbol Ongkara sebagai Sanghyang Widhi mempunyai kemahakuasaan:
  • Sebagai angka 3 (dalam aksara Bali), di mana 3 adalah: uttpti (kelahiran), stiti (kehidupan), dan pralina (kematian/ akhir)
  • Ditambahkan: ardha candra (simbol bulan = satyam), windhu (simbol matahari = rajas), dan nada (simbol bintang = tamas)
  • Digunakan untuk memuja Sanghyang Widhi.

KEWANGEN

KewangenKewangen adalah salah satu sarana persembahyang (upakara) umat Hindu yang umum digunakan terutama di Lombok dan Bali. Kata “kewangen” berasal dari kata “wangi” bahasa Kawi yang berarti harum. Jadi, makna utama kewangen adalah mengharumkan nama Tuhan melalui bhakti. Di dalam lontar Sri Jaya Kasumu disebutkan kewangen sebagai lambang “Omkara”. Di dalam lontar Brahahara Upanisad disebutkan kewangen sebagai lambang Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Salah satu bait dalam kakawin Om Sembah menyebutkan: “wahya dyatmika sembah ingulun ijong ta tan ana waneh” yang artinya adalah lahir batin sembah kami terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, tidak ada yang lain. Persembahan secara lahir batin ini disimbolkan dengan kewangen di mana kewangen terdiri dari komponen-komponen berikut:

Asta Kosala Kosali Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali



Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.

ENAM TOKOH SUCI DALAM PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI BALI

1. DANGHYANG MARKANDEYA
Pada abad ke-8 beliau mendapat pencerahan di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal lalang - Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (Banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali.



Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk

Selasa, 01 Mei 2012

PURA DESA


Pura ini disebut dengan nama Pura Desa karena pura ini lazim ditempatkan di pusat desa yaitu pada salah satu sudut dari catuspata (perempatan agung).
Catus merupakan perubahan ucapan dari kata catur artinya tempat. Perubahan wianjana r menjadi s memang sering terjadi seperti dursila menjadi dussila menjadi susila, nirkala menjadi niskala dan lain-lain. Pata merupakan perubahan ucapan dari kata pada yang berarti dunia/alam. Dengan demikian catus pata adalah daerah bertemunya pengaruh yang datang dari empat buah slam yang ada di sekitar dunia ini (Timur, Selatan Barat dan Utara). Wujud nyata sebuah catus pata adalah jalan simpang empat atau perempatan.
Masyarakat tradisional Bali selaku kelompok masyarakat budaya dalam mengatur desa selaku daerah pemukiman dengan kelengkapannya seperti: pura, bale banjar, pasar, rumah, jalan, diatur dalam satu tata ruang. Filosofis pengaturan tata ruang tadi berdasarkan konsep catus pata dan luan teben, misalnya: pasar, wantilan, Pura Desa, rumah pembesar desa ditempatkan pada sudut-sudut dari catus pata.

PURA DALEM

Kata Dalem secara harafiah berarti jauh atau sulit dicapai. Disebut demikian karena dalam kenyataannya Dewa Siwa adalah sulit dicapai oleh manusia karena beliau adalah niskala, wyapi-wyapaka.
Sakti dari Dewa Siwa adalah Dewi Durga, di mana kata Durga berarti jangan mendekat, sebagai wujud kroda dari Dewa Siwa yang berfungsi mempralina alam ciptaan Tuhan.
Dalam seni arca Siwa diwujudkan dalam berbagai-bagai bentuk sesuai dengan fungsi yang dijalankan. Siwa sebagai Mahadewa, Siwa sebagai Maha Guru Siwa sebagai Mahakala dan saktinya adalah Dewi Durga.
Siwa sebagai Mahadewa laksana atau cirinya adalah ardhacandrakapala yaitu lambang bulan sabit di bawah sebuah tengkorak yang disematkan pada mahkota, mata ketiga di dahi, upawita ular naga, tangannya empat masing-masing memegang cemara, aksamala, kamandalu dan trisula.

PURA PUSEH

Kata Puseh adalah berasal dari kata puser yang berarti pusat. Kata pusat di sini mengandung makna sebagai pusatnya kesejahteraan dunia yang mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi umat manusia, sehingga upacara-upacara yang berhubungan dengan kesuburan dunia dilaksanakan di Puseh.
Dewa Wisnu sebagai Dewa Pemelihara dari ciptaan Hyang Widi dalam seni arca digambarkan dengan laksana atau ciri bertangan empat yang masing-masing memegang, cakra, sangka dan buah atau kuncup teratai. Wahana adalah Garuda, sedangkan saktinya adalah Sri atau Laksmi (Dewi Kebahagiaan).
Mengenai denah dari Pura Puseh dapat dibagi atas dua bagian sebagaimana denah dari Pura Desa. Pembagian atas dua bagian tersebut adalah: halaman pertama atau disebut dengan jabaan dari pura dan halaman kedua disebut jeroan dari pura.