Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi "Pasek Dukuh Bunga Asahduren": 05/31/12

Kamis, 31 Mei 2012

DEFINISI NGAYAH ADAT

APA difinisi ngayah itu? Seorang tokoh adat menyebutkan, ngayah adalah kerja bakti untuk berbagai keperluan, apakah urusan ritual keagamaan atau pun masalah sosial kemasyarakatan. Kalau sudah disebut sebagai ngayah maka siapa pun yang terlibat tidak mendapatkan upah. Ini kerja gratis.
Namun, tidak demikian untuk krama banjar adat. Menjadi krama banjar adat, kalau tidak ikut ngayah akan kena sanksi berupa denda. Besarnya denda tidak seragam di masing-masing banjar adat. Juga tergantung jenis ngayah itu, apakah memperbaiki lingkungan, bekerja menyiapkan sarana upacara, menjenguk

Makna dan Tata Cara Teknis Upacara Pabayuhan Sapuh Leger


 Umat hindu terutama di Bali sangat meyakini , bahwa orang yang lahir pada Wuku Wayang (lebih lebih pada Tumpek Wayang) merupakan hari kelahiran yang cemer, mala serta melik (kepingit). Dan kebanyakan orang tua yang mempunyai anak lahir pada wuku wayang merasakan ketakutan dan was was atas kelanjutan kehidupan anaknya. Kebanyakan yakin dengan adanya cerita Geguritan Suddamala yang menceritakan ; Dewa Siwa pura pura sakit keras , dan mengutus Dewi Uma mencari Lembu Putih dialam fana sebagai obat.  Dan sebelum susu didapat Dewi Uma tidak dipekenankan kembali ke Siwaloka,  Sang dewi sangat patuh melaksanakan perintahnya, singkat cerita Dewi Uma menemukan Lembu  Putih tersebut, ternyata untuk mendapatkan susu lembu dewi uma harus melakukan hal yang tidak terpuji yaitu harus mengorbankan

Unesco tetapkan “Subak” sebagai Warisan Dunia

Budaya Subak Bali akhirnya berhasil ditetapkan sebagai warisan dunia oleh Unesco. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengapresiasi ditetapkannya Subak Bali setelah setelah perjuangan selama 12 tahun. “Satu lagi kabar gembira bagi bangsa Indonesia, Bali Culture Landscape ( Budaya Subak Bali) sebagai cermin Tri Hita Karana baru saja disetujui untuk ditetapkan sebagai warisan dunia Unesco,” Wamenbud, Windu Nuryanti, Minggu (20/5/2012).

Wayang Sapuh Leger


Kata “Sapuh Leger” di Bali secara khusus dihubungkan dengan pertunjukkan wayang dalam kaitannya untuk pemurnian kepada anak/orang yang lahir tepat pada wuku wayang dalam siklus kalender tradisional Bali (Di Jawa juga ada bila kalender-nya lengkap). Secara ritual upacara pemurnian dinamakan lukat/nglukat, yaitu suatu aktivitas untuk membuat air suci (tirta) yang dilakukan baik oleh seorang pendeta (pedanda/pemangku) maupun seorang dalang (Mangku Dalang) dengan tujuan untuk membersihkan mala (kekotoran) rohani seseorang.

HARI RAYA SARASWATI

Saraswati adalah nama dewi, Sakti Dewa Brahma (dalam konteks ini, sakti berarti istri). Dewi Saraswati diyakini sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi-Nya sebagai dewi ilmu pengetahuan. Dalam berbagai lontar di Bali disebutkan “Hyang Hyangning Pangewruh.”
Di India umat Hindu mewujudkan Dewi Saraswati sebagai dewi yang amat cantik bertangan empat memegang: wina (alat musik), kropak (pustaka), ganitri (japa mala) dan bunga teratai. Dewi Saraswati dilukiskan berada di atas angsa dan di sebe-lahnya ada burung merak. Dewi Saraswati oleh umat di India dipuja dalam wujud Murti Puja. Umat Hindu di Indonesia memuja Dewi Saraswati dalam wujud hari raya atau rerahinan.

Sejarah Topeng Sidakarya


Brahmana Keling
Pada jaman dahulu di suatu daerah yang bernama Keling ada seorang pendeta yang sangat termashyur karena pandangannya tentang kebenaran yang utama yang mempunyai “Ilmu Kelepasan Jiwa”.  Ia disebut sebagai Brahmana Keling karena beliau berasal dari sebuah daerah yang bernama Keling di Jawa Timur. Beliau juga mendirikan pesraman atau pertapaan di lereng Gunung Bromo. Brahmana Keling adalah putra dari Danghyang Kayumanis, cucu dari Empu Candra, kumpi dari Mpu Bahula dan cicit dari Mpu Beradah. Tetapi sampai saat ini belum ada yang tahu nama Beliau yang sebenarnya, karena beliau berasal dari daerah Keling maka beliau dipanggil dengan sebutan Brahmana Keling.

BANTEN SARAT MAKNA SIMBOLIK


Banten Sarat Makna Simbolik (Tak hanya Hiasan Belaka)
SARANA upacara atau bebantenan di Bali, sesungguhnya tidak hanya hiasan belaka. Tetapi, di dalamnya sarat makna simbolis. Pada umumnya, sarana upakara tersebut sebagai media bagi umat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta.
Wakil Ketua Parisada Bali Drs. I Gusti Ngurah Sudiana menyambut baik keinginan umat untuk membuat museum banten. Tetapi, bentuk-bentuk bebantenan yang dipajang di museum itu mesti dilengkapi dengan penjelasan makna dan sekaligus bahan-bahannya. Dengan demikian, umat atau orang asing akan makin paham akan makna di balik bebantenan tersebut. Hal itu juga sekaligus menghilangkan istilah anak mula keto di kalangan umat.

BANTEN SEBAGAI PENGUAT KONSEP HIDUP


Banten Sebagai Penguatan Konsep Hidup
BANTEN merupakan visualisasi dari ajaran tattwa dan susila Hindu yang memiliki tujuan mengarahkan, menuntun manusia guna tumbuhnya sifat-sifat yang mulia dalam diri. Oleh sebab itu apa yang ada dibalik banten itu ternyata sangat kaya akan konsep hidup yang bersifat universal, yang
wajib diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: Banten Peras, Banten ini lambang perjuangan hidup dan doa untuk mencapai kesuksesan (Prasiddha) dalam kehidupan ini.
Sebagai manusia normal kesuksesan dalam hidup merupakan dalam meraih sukses tersebut. Dalam Banten Pras kesuksesan itu digambarkan dengan jelas sekali dinyatakan : ” Pras Ngaranika Prasiddha Tri Guna Sakti “, artinya Pras namanya adalah sukses (Prasiddha) dengan kuatnya Tri Guna. Tri Guna itu adalah Sattwam, Rajas dan Tamas. Apabila ketiga Guna ini berada pada struktur dan komposisi yang idial, maka ia akan menjadi kekuatan luar biasa untuk mengantarkan seseorang menuju pada kesuksesan hidup. Struktur dan komposisi idial yang dimaksud adalah apabila guna Sattwam menguasai guna Rajas dan guna Tamas. Dalam Banten Pras ketiga guna ini disimbulkan dengan benang, uang dan beras. Benang sebagai lambang Sattwam, Uang sebagai lambang Rajas, dan Beras sebagai lambang Tamas.

Banten Sebagai Simbol Berserah Diri



BERSERAH diri menurut konsep Hindu, bukan sebuah sikap apatis, melainkan sebuah sikap proaktif yang bersifat dinamis, untuk memperbaiki kehidupan ini dengan senantiasa menumbuh kembangkan rasa bhakti yang dilandasi oleh Jnana dan Karma. Banten menurut Yajna Prakrti merupakan salah satu bentuk penyerahan diri kepada hyang Widhi. Hal ini disebutkan sebagai berikut :
“Reringgitan tatuwasan pinaka kalanggengan kayunta mayajna. Sekare pinaka kaheningan kayunta mayajna. Plawa pinaka peh pakayunane suci, raka-raka pinaka Widyadara-Widyadari”.
Artinya: Reringgitan dan Tatuwasan lambang dari kesungguhan hati dalam beryajna.

BANTEN PEJATI


Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya.
Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten. Dalam “Lontar Yajña Prakrti” disebutkan:
sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana
artinya:
semua jenis banten (upakara) adalah lambang Bhuana Agung (alam semesta).
Banten Pejati Banten pejati adalah nama Banten atau (upakara), sesajen yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan prabhavaNya.

MAKNA CARU, SEGEHAN, TAWUR

Banten yang berfungsi sebagai badan adalah banten ayaban. Sedangkan bante yang berfungsi sebagai kaki atau suku adalah Banten yang berada dipanggungan yang letaknya dijaba. Adapun Banten Caru merupakan simbol dari perut. Kemudian berdasarkan lapisan yang menyusun tubuh manusia yakni: Badan Kasar atau Sthula Sarira yang terdiri dari Panca Maha Bhuta, Badan Astral atau Suksma Sarira yang terdiri dari Alam Pikiran (Citta, Budhi, Manah, Ahamkara, atau Sattwam Rajas Tamas) serta Sang Hyang Atman sebagai sumber kehidupan. Jika lapisan ini dikaitkan dengan keberadan bebanten, maka banten yang mewakili Panca Maha Butha ini adalah banten yang suguhan seperti: banten soda atau ajuman, rayunan perangkatan dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai penguatan yang dijabarkan dalam berbagai bentuk pengharapan dan cita-cita adalah banten sebagai Suksma Sarira seperti banten Peras, Penyeneng, Pengambyan, Dapetan, Sesayut dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai pengurip atau pemberi jiwa seperti Banten Daksina,

Sane Muput Karya : Jero Mangku Gede


Suasana sehabis sembahyang


Tugas Baga Parahyangan