Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi "Pasek Dukuh Bunga Asahduren": April 2012

Senin, 30 April 2012

UPACARA : Pura kayangan Tiga

Pura yang termasuk kelompok Kahyangan Tiga, masing-masing mempunyai hari piodalan (hari ulang tahun) tersendiri. Hari ulang tahun dari suatu pura ditentukan melalui hari diresmikan pura tersebut. Hari peresmian biasanya dipilih hari yang baik sesuai dengan petunjuk dari pendeta dan selanjutnya ditetapkan sebagai hari piodalan. Kata piodalan adalah berasal dari kata wedal yang artinya lahir mendapat awalan pa dan akhiran an yang berarti tempat lahir atau kelahiran.
Waktu pelaksanaan hari piodalan pada tiap-tiap pura berbeda-beda, ada setiap enam bulan atau 210 hari, tetapi ada pula yang dilaksanakan setiap tahun. Upacara piodalan dari pura digolongkan pada upacara dewa yajnya yang merupakan salah satu dari lima jenis upacara atau Panca Yajnya. Yajnya berasal dari kata jaj yang artinya sembahyang. Dari akar kata ini lalu menjadi kata yadnya yang berarti persembahan kepada Hyang Widi dan manifestasinya.

PUNGSI : Pura Kayangan Tiga

Untuk lebih memantapkan dan memasyarakatkan konsepsi Tri Murti yang telah disepakati sebagai dasar keagamaan di Bali, maka pada setiap desa adat didirikan Kahyangan tiga. Ketiga Kahyangan tersebut adalah:

a. Pura Desa tempat pemujaan Dewa Brahma dalam fungsinya sebagai pencipta alam semesta.
b. Pura Puseh tempat pemujaan Dewa Wisnu dalam fungsinya sebagai pemelihara.
c. Pura Dalem tempat memuja Dewa Siwa dalam wujud Dewi Durga dengan fungsi sebagai pemralina alam semesta.

Di samping Pura Kahyangan Tiga yang dimiliki oleh tiap-tiap desa, maka setiap pekarangan rumah orang Bali yang beragama Hindu didirikan tempat beribadat yang disebut "Sanggah" atau "Pamerajan". Perkataan

SEJARAH : Pura Kayangan Tiga

Membicarakan masalah sejarah pendirian Kahyangan Tiga pada setiap desa adat di Bali, belum diketahui dengan pasti, karena sumber tertulis yang menyebutkan secara jelas belum ditemukan. Tetapi besar kemungkinan pada jaman Bali Kuna ketiga pura tersebut telah ada di tengah-tengah masyarakat Bali karena dipakai kata Kahyangan untuk menyebut pura tersebut. Di dalam prasasti-prasasti Bali Kuna belum ditemukan kata Pura untuk menyebut tempat suci tetapi yang dipakai adalah kata hyang atau kahyangan.
Sebelum masa pemerintahan raja suami-istri Udayana dan Gunapriya Darmapatni tahun 989 -1011M di Bali berkembang banyak aliran-aliran keagamaan seperti: Pasupata, Bairawa, Wesnawa, Boda, Brahmana, Resi, Sora, Ganapatya dan Siwa Sidanta. Di antara penasehat pemerintahan Udayana, tersebut nama Senapati Kuturan di samping sebagai ketua Majelis Pusat Pemerintahan yang disebut "Pakiran-kiran i jro makabehan".

PENGERTIAN : Pura Kayangan Tiga

Secara etimologi kata Kahyangan Tiga terdiri dari dua kata yaitu kahyangan dan tiga. Kahyangan berasal dari kata hyang yang berarti suci mendapat awalan ka dan akhiran an, an menunjukkan tempat dan tiga artinya tiga. Arti selengkapnya adalah tiga buah tempat suci, yaitu Pura Desa atau disebut pula Pura Bale Agung, Pura Puseh dan yang ketiga adalah Pura Dalem.
Kahyangan Tiga terdapat pada setiap desa Adat di Bali. Apabila jumlah desa Adat di Bali 1456 buah, maka jumlah Pura Kahyangan Tiga akan menjadi tiga kali jumlah desa Adat sehingga menjadi 4368 buah pura. Pada beberapa desa adat di Bali kadang kala penempatan Pura Puseh digabungkan dengan Pura Desa sehingga tampaknya seperti hanya satu pura tetapi sebetulnya adalah tetap dua buah pura.

Sabtu, 28 April 2012

Padmasana, "Stana" Hyang Widhi

Print E-mail
Padmasana, "Stana" Hyang Widhi
Padmasana merupakan bangunan suci untuk men-stana-kan Ida Sanghyang Widhi sebagai simbolis dan gambaran dari makrokosmos atau alam semesta (buana agung). Bangunan suci ini dapat dijumpai hampir di seluruh bangunan suci Hindu di Bali maupun di luar Bali -- dari Pura Kawitan, Kahyangan Desa, Swagina, sampai Kahyangan Jagat. Bahkan, bangunan suci ini ditempatkan sebagai pelinggih utama. Namun, bangunan suci ini masih banyak menyimpan misteri simblolis dan filosofis yang perlu dikupas lebih dalam. Lantas, apa sebenarnya perbedaan padmasana, padma kurung, padmasari atau padma campah? 
 
DI Lontar "Dwijendra Tattwa" disebut, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra, atau (nama lainnya) Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh. Dia datang ke Bali pada tahun 1489 M pada periode pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460-1550 M) dengan tujuan untuk menyempurnakan kehidupan agama di Bali.

STRUKTUR ORGANISASI

SUSUNAN PENGURUS PURA PANTI

PASEK DUKUH BUNGA ASAHDUREN BEDUURAN

PERIODE 2011-2015
__________________________________________________________________________________

            Ketua                        : I Komang Puspa
            Sekretaris                 : I komang Dirta
            Bendahara                : I Wayan Sukatama
            Bago Perahayangan : 

LAHIRNYA PANCA TIRTHA

Mari kita kembali kepada hal-hal yang terjadi di Puncak Tohlangkir. Pada tahun Çaka 27 (th 105 M) Gunung Agung meletus lagi dengan sangat hebatnya, entah hal-hal apa yang terjadi pada waktu itu. Beberapa tahun kemudian, tahun Çaka 31 (th 109 M), Betara Tiga beryoga di Puncak Tohlangkir (Gunung Agung), untuk membersihkan Nusa Bali tepatnya pada hari Anggara (Selasa) Kliwon, wara Kulantir, dikala bulan Purnama raya, Sasih Kelima, atas kekuatan yoga Betara Tiga, Gunung Agungpun meletus lagi dengan sangat hebatnya.
Memang Dewata telah mengatur sedemikian rupa, setiap upacara besar keagamaan di Baliyang besifat umum, Gunung Agung tetap meletus atau paling tidak akan terjadi gempa bumi. Setelah upacara pembersihan Nusa Bali, pada tahun Çaka 31 itu juga Gunung Agung masih meletus, pada hari yang sangat baik, Betara Tiga di Puncak Tohlangkir, sama bertujuan agar mempunyai putra, maka Betara Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya beryoga dengan sangat hebatnya, menghadapi api pedipaan, betapa alunan suaranya bunyi genta, hujan kembang dari angkasa.

Jumat, 27 April 2012

Apakah Caru, Segehan, dan Tawur ?

Mecaru (upacara Byakala) adalah bagian dari upacara Bhuta Yadnya (mungkin dapat disebut sebagai danhyangan dalam bhs jawa) sebagai salah satu bentuk usaha untuk menetralisir kekuatan alam semesta / Panca Maha Bhuta.

Mecaru, dilihat dari tingkat kebutuhannya terbagi dalam:
  • Nista ~ untuk keperluan kecil, dalam lingkup keluarga tanpa ada peristiwa yang sifatnya khusus (kematian dalam keluarga, melanggar adat dll)
  • Madya ~ selain dilakukan dalam lingkungan kekerabatan/banjar (biasanya dalam wujud tawur kesanga, juga wajib dilakukan dalam keluarga dalam kondisi khusus, pembangunan merajan juga memerlukan caru jenis madya
  • Utama ~ dilakukan secara menyeluruh oleh segenap umat Hindu (bangsa) Indonesia

Segehan, persembahan penuh makna filosofis

Kata segehan, berasal kata "Sega" berarti nasi (bahasa Jawa: sego). Oleh sebab itu, banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan. Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang atau janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem.

Upacara Yadnya - dalam kehidupan masyarakata Bali Hindu

Sejarah menyatakan, bahwa pada jaman dahulu kala di wilayah Nusantara Indonesia telah berdiri Kerajaan-Kerajaan Besar seperti salah satu di antaranya adalah Kerajaan Majapahit yaitu sebuah Kerajaan penganut Agama Hindu yang merupakan Kerajaan terbesar yang bisa menyatukan seluruh wilayahnya sampai ke Madagaskar.

Pada jaman itu sudah ada hubungan dagang dengan negara Luar Negeri terutama dengan Negeri Campa, yang saat ini Negara Cina.

Kerajaan ini bertempat di Jawa Timur, yang pada jaman keemasannya dipimpin oleh seorang Raja yang bernama Hayam Wuruk dengan Patihnya bernama Gajah Mada.

Wariga dan Dewasa, merupakan Ilmu astronomi ala Bali

Wariga dan dewasa adalah dua istilah yang paling umum diperhatikan oleh umat hindu khususnya di bali bila ingin mencapai kesempurnaan dan keberhasilan. Kedua ilmu itu merupakan salah satu cabang ilmu agama yang dihubungkan dengan ilmu astronomi atau “Jyotisa Sastra” sebagai salah satu wedangga. Walaupun kedua ilmu tersebut sebagai salah satu cabang ilmu weda, namun pendalamannya tidak banyak diketahui kecuali untuk tujuan praktis pegangan oleh para pendeta dalam memberikan petunjuk baik buruknya hari dalam hubungannya untuk melakukan usaha agar supaya berhasil dengan mengingat hari atau waktu dalam sistim sradha hindu yang dipengaruhi oleh unsur kekuatan tertentu dan planet-planet itu.

Tempat Suci di dalam Pekarangan Rumah

Tempat Suci didalam Pekarangan Rumah sangatlah penting dalam kaitannya dengan hubungan umat dengan Tuhan. Sering juga umat menanyakan bangunan/pelinggih apa saja yang mesti dibuat dalam pekarangan rumah tersebut. Menurut beberapa sumber, bangunan/palinggih yang harus ada didalam pekarangan rumah adalah sanggah dan tugu Pangijeng/penunggun karang. Berikut penjelasannya;

Sanggah/Merajan

MANTRA PERSEMBAHYANGAN HINDU


1.  MANTRA MEMBERSIHKAN/MENYUCIKAN DIRI
         a.    Mantra membersihkan/mencuci muka :
       "Om cam camani ya namah swaha"
        "Om waktra parisudha ya mam swaha"
         b.    Mantra berkumur :
        "Om Ang waktra parisudha ya namah swaha"
         c.    Mantra membersihkan kaki :
        "Om Am khan kasodhaya Iswara ya namah swaha"
         d.    Mantra membersihkan tangan kanan :
        "Om karo sodhaya mam swaha"
         e.    Mantra membersihkan tangan kiri :
       "Om karo atisodhaya mam swaha"
        f.    Mantra duduk :
       "Om Padmasana ya namah swaha"
      "Om prasadha stithi sarira siwa suci nimala ya namah swaha"

Palinggih Hyang Kompiang, Kawitan, Paibon, Padarmaan

Tattwa, Kedudukan, dan Perbedaannya

Pulau Bali pernah mengalami musibah besar di mana rakyatnya melarat karena bencana alam yang sambung menyambung, tanaman pangan selalu rusak karena diserang hama, dan wabah penyakit menjalar cepat mematikan manusia dan binatang peliharaan.
Menurut Rontal Purana Pasar Agung hal ini disebabkan karena penduduk Pulau Bali tidak “ngaturang aci” dan bersembahyang ke Pura Besakih. Ketika pemerintahan Raja Mayadanawa selama 15 tahun, yaitu sejak tahun 959 Masehi sampai dengan tahun 974 Masehi, rakyat Bali memang benar dilarang ngaturang aci dan bersembahyang ke Besakih.
Para tentara kerajaan membangun pos penjagaan pertama di pinggir sungai Balingkang (letaknya di timur pasar Menanga sedikit lewat jembatan sekarang dikenal dengan pelinggih Yeh Ketipat) dan kedua, di Pura Manikmas sekarang, untuk menjaga agar tidak ada penduduk yang datang ke Besakih.

Senin, 23 April 2012

Memuja Leluhur Bukanlah Spiritual Tingkat Rendah


Print E-mail
Oleh : I Wayan Dateng


andham tamah pravisanti
ye vidyãm upãsate
tato bhüya iva te tamo
ya u vidyãyãm ratãh.
(Sloka 9. Isa Upanisad)
artinya: Ia yang memujanya karena avidya masuk ke dalam kegelapan dan kebodohan,
demikian pula selanjutnya yang karena
vidyanya akan lebih masuk ke dalam kegelapan.
Mengenai konsep pemujaan bagi umat Hindu menjadi sangat penting untuk dipahami dan diketahui agar nantinya tidak ada kesalahan dalam hal melakukan pemujaan. Dalam pemahaman Hindu yang layak mendapat pemujaan adalah para leluhur, Bhatara, Dewa, Dewata, dan Brahman (Ida Sang Hyang Widhi,). Ini bukan berarti umat Hindu tidak memuja para bhuta kala, melainkan cara yang disampaikan bukanlah dengan memuja, melainkan dengan cara menghormati para bhuta kala sebagai cetusan rasa kasih sayang. Karena Hindu dalam konsep panca yadnya harus menghormati kelima aspek dalam kehidupan, yakni memuja dan menghormati para Dewa, (Dewa yadnya). Memuja Roh suci leluhur (Pitra yadnya) menghormati guru-guru suci (Rsi yadnya) menghormati antarsesama manusia (manusia yadnya) dan menghormati para bhuta kala (Bhuta yadnya). Kelima aspek kehidupan ini telah ada dan dijalankan sejak masa silam hingga kini oleh masyarakat Bali.

Geguritan Dewa Yadnya

1. Awal Persembahyangan

Kawitan Warga Sari
  • Purwakaning angripta rumning wana ukir. ahadang labuh. Kartika penedenging sari. Angayon tangguli ketur. Angringring jangga mure.
  • Sukania harja winangun winarne sari. Rumrumning puspa priyaka, ingoling tangi. Sampun ing riris sumar. Umungguing srengganing rejenga

DOA SEHARI-HARI

Doa sehari-hari diucapkan atau disampaikan kehadapan Hyang Widhi yang pelaksanaannya dilakukan diluar acara sembahyang Trisandya dan persembahyangan lainnya yang dipimpin oleh pendeta. Doa ini untuk memulai kegiatan yaitu: bangun pagi, mandi pagi, sebelum dan sesudah makan, bepergian atau meninggalkan rumah, melihat atau mendengarkan orang sakit atau pula dalam keadaan sakit, mulai belajar, memulai pekerjaan, dan lain sebagainya.

Apa perbedaan Berdoa dan Sembahyang?

TRI KAYA PARISUDA


Tri Kaya Parisuda artinya tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu berpikir yang bersih dan suci (Manacika), berkata yang benar (Wacika) dan berbuat yang jujur (Kayika). Dari tiap arti kata di dalamnya, Tri berarti tiga; Kaya bararti Karya atau perbuatan atau kerja atau prilaku; sedangkan Parisudha berarti "upaya penyucian".Jadi "Trikaya-Parisudha berarti "upaya pembersihan/penyucian atas tiga perbuatan atau prilaku kita".

PENYUCIAN PIKIRAN (MANACIKA)

Inilah tindakan yang harus diprioritaskan, karena pada dasarnya semua hal bermula disini. Ia menjadi dasar dari prilaku kita yang lainnya (perkataan dan perbuatan); dari pikiran yang murni akan terpantul serta terpancarkan sinar yang menyejukan orang-orang disekitar kita, sebaliknya pikiran keruh akan meruwetkan segala urusan kita, walaupun sebenarnya tak perlu seruwet itu. Tentu ruwet tidaknya suatu permasalahan, amat tergantung padacara kita memandang serta cara kita menyikapinya.

Bila pandangan kita sempit dan gelap, semuanya akan menjadi sumpek dan pengap. Sebaliknya bila pandangan kita terang, segala hal akan tampak jelas sejelas-jelasnya. Ibarat mengenakan kacamata, penampakan yang diterima oleh mata amat tergantung pada kebersihan, warna bahan lensanya, serta kecangihan dari bahan lensanya. Jadi, apapun adanya suatu keberadaan, memberikan pancaran objektif bagi kita, namun kita umumnya tidak dapat menangkapnya dengan objektif.

BANTEN

Beberapa Jenis Persembahan:

Canang Genten

Sebagai alas dapat digunakan taledan, ceper ataupun daun pisang yang berbentuk segi empat. Diatasnya berturut-turut disusun perlengkapan yang lain seperti: bunga dan daun-daunan, porosan yang terdiri dari satu/dua potong sirih diisi sedikit kapur dan pinang, lalu dijepit dengan sepotong janur, sedangkan bunganya dialasi dengan janur yang berbentuk tangkih atau kojong. Kojong dengan bentuk bundar disebut "uras-sari".

Bila keadaan memungkinkan dapat pula ditambahkan dengan pandan-arum, wangi-wangian dan sesari (uang). Waulupun perlengkapan banten ini sangat sederhana, tetapi hampir semuanya mempunyai arti simbolis antara lain: jejaitan/tetuwasan reringgitan, melambangkan kesungguhan hati, daun-daunan melambangkan ketenangan hati. Sirih, melambangkan dewa wisnu, kapur melambangkan dewa siva, pinang melambangkan dewa brahma, suci bersih, dan wangi-wangian sebagai alat untuk menenangkan pikiran kearah kesegaran dan kesucian.

PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA


I Wayan Sudarma (Shri Danu D. P)
Om Swastyastu

1. Pengertian Pura
Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu tua.Pada mulanya istilah Pura yang berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi.Sebelum dipergunakannya kata Pura untuk manamai tempat suci / tempat pemujaan dipergunakanlah kata Kahyangan atau Hyang. Pada jaman Bali Kuna dan merupakan data tertua kita temui di Bali, ada disebutkan di dalam prasasti Sukawana A I tahun 882M. Kata Hyang yang berarti tempat suci atau tempat yang berbubungan dengan Ketuhanan.

Bhisama Ida Bhatara Kawitan Mpu Gnijaya oleh Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (Warga Pasek, Bandesa, Dukuh)

oleh HINDU BALI pada 31 Januari 2010 pukul 20:49 ·


“Kamung Pasek mwang Bandesa, aywa lipia ring Kahyangan, makadi ring Lempuyang, ring Besakih, ring Çilayukti mwang ring Gelgel Dasar Bhuwana. Yan kita lupa ring Kahyanganta, wastu kita tan anut ring apasanakan, tan wus amangguh rundah, tan mari acengelin ring apasanakan, sugih gawe kurang pangan, mangkana piteketku ri prati santana, kapratisteng prasasti, sinuhun de kita pra sama, kita tan wenang piwal ring piteketku, ila-ila dahat, aywa lupa, aywa lali.

MAKNA PECANANGAN

Print
Oleh : Miswanto, Denpasar

Biasanya kita sering melihat para sulinggih, pemangku, ataupun orang-orang tua di Bali mempunyai kebiasaan “nginang” atau dalam bahasa halusnya disebut “mecanangan” (biasanya untuk kalangan sulinggih), suatu kegiatan makan sirih/base yang sudah dicampur dengan buah pinang/buah, kapur dan gambir. Pecanangan (bahan-bahan untuk mecanangan) itu biasanya menjadi “rayunan” untuk seorang sulinggih. Bahkan ada yang mengatakan bahwa itu adalah kebutuhan utama.
Kebiasaan tersebut (baca nginang, yang juga merupakan Bahasa Jawa dan mempunyai arti yang sama) juga sering dilakukan oleh para orang tua di Jawa pada jaman dahulu.

Legenda Ciung Wanara

Legenda Ciung WanaraKisah tentang   memang menarik untuk ditelusuri, karena selain menyangkut cerita tentang , juga dibumbui dengan hal luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara.
Kisah Ciung Wanara merupakan cerita tentang kerajaan Galuh ( sebelum berdirinya Kerajaan dan ). Tersebutlah raja Galuh saat itu Adimulya Sanghyang Cipta Permana Di Kusumah dengan dua permaisuri, yaitu Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Mendekati ajal tiba Sang mengasingkan diri dan kekuasaan diserahkan kepada patih Bondan Sarati karena Sang belum

Sejarah Bendera Merah Putih

Bendera Merah Putih tih dimulai pada Kerajaan Singosari, yang waktu itu pada tahun 1292 oleh tentara Jayakatwang ketika berperang melawan kekuasaan Kertanegara dari Singosari (1222-1292). Sejarah Bendera Merah Putih itu disebut dalam tulisan bahwa Jawa kuno yang memakai tahun 1216 Caka (1254 Masehi), menceritakan tentang perang antara Jayakatwang melawan R. Wijaya.

ISI SINGKAT BABAD PASEK


Mulai dari jaman Bahari di mana di Bali masih keadaan guncang maka Bhatara Pasupati memerintahkan putranya 3 orang untuk mengukuhkan Bali. Ketiga putra ini yang nantinya menurunkan para Brahmana dan para Mpu di Jawa dan Bali.
Diceriterakan di Majapahit diperintah oleh Sri Aji Majalangu dengan Maha patih Yang terkenal Kryan Gajah Mada. Pada suatu ketika Sang Prabu Majapahit didatangi oleh para Mpu untuk memohon Raja di Bali. Hal ini diterima dan dipikirkan agar kelak Bali menjadi kerajaan yang kuat dan berwibawa. Setelah itu Kryan Gajah Mada mengusulkan kepada Sri Aji Majalangu untuk diangkatnya putra-putra dari Mpu Kepakisan karena dipandang cocok dan penuh bijaksana. Hal ini diterima, lalu diangkatnya yang tertua di Blangbangan, yang kedua di Pasuruhan dan yang

OTONAN "Peringatan Hari Kelahiran Umat Hindu Bali"


Print E-mail
Oleh : I Wayan Ritiaksa, M.Ag, Denpasar.

Bali memang unik dan menarik bagi semua orang, tidak hanya Bangsa sendiri tetapi juga Bangsa-bangsa di seluruh dunia membicarakan tentang "Bali". Salah satu keunikan yang sudah menjadi tradisi umat Hindu Bali dimanapun berada tidak pernah melupakan prihal; Otonan atau Ngotonin, yang merupakan peringatan hari kelahiran berdasarkan satu tahun wuku, yakni; 6 (enam) bulan kali 35 hari = 210 hari. Jatuhnya Otonan akan bertepatan sama persis dengan; Sapta Wara, Panca Wara, dan Wuku yang sama. Misalnya orang yang lahir pada hari Rabu, Keliwon Sinta, selalu otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis seperti itu yang datangnya setiap enam bulan sekali (210 hari).

BALI DAN BANTEN : Mendalami Ajaran Yoga Dalam Upakara





BALI DAN BANTEN:
Mendalami Ajaran Yoga Dalam Upakara
Sarana upacara adalah upakara. Di Bali upakara dipopulerkan dengan istilah banten, sedangkan di India, upakara disebut wedya. Istilah wedya sebenarnya juga terdapat di dalam pustaka agama Hindu di Bali yang juga berarti banten. Upakara atau banten merupakan perwujudan dan ajaran bhakti marga dan karma marga.
Kata upakara terdiri atas dua kata yaitu upa yang berarti sekeliling atau sesuatu yang berhubungan dengan, dan kara artinya tangan. Jadi upakara berarti segala sesuatu yang dibuat oleh tangan, dengan lain perkataan suatu sarana persembahan yang berasal dan jerih payah bekerja.

Weda Sumber Ajaran Agama Hindu


Print E-mail
Pengertian Weda
Sumber ajaran agama Hindu adalah Kitab Suci Weda, yaitu kitab yang berisikan ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi. Weda merupakan jiwa yang meresapi seluruh ajaran Hindu, laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai-sungai yang amat panjang dalam sepanjang abad. Weda adalah sabda suci atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa.

Pengertian dan tujuan Agama Hindu


Print E-mail
ImageTujuan agama Hindu yang dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan adalah "Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma", yang artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin. Tujuan ini secara rinci disebutkan di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dam Moksa.

Sejarah Agama Hindu


Print E-mail
ImageAgama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.

Kekuatan Kitab Suci


Setiap suku kata dalam ayat-ayat Qur’an jika dibaca adalah kekuatan yang mampu menghancurkan segala dosa-dosa yang telah dilakukan. Itu kata teman se-ruangan saya yang juga seorang haji dalam sebuah diskusi ringan belum lama ini. Lalu saya berpikir pantas mereka kalau sejak dini sudah mengenalkan kitab suci kepada anak-cucunya bahkan dari usia taman kanak-kanak, juga saya lihat tetangga kiri-kanan dikomplek perumahan mereka mendatangkan guru-guru ngaji untuk putra-putrinya, demikian juga masjid-masjid selalu disibukan oleh aktifitas anak-anak membaca qur’an dengan bimbingan para guru.