Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi "Pasek Dukuh Bunga Asahduren": Memuja Leluhur Bukanlah Spiritual Tingkat Rendah

Senin, 23 April 2012

Memuja Leluhur Bukanlah Spiritual Tingkat Rendah


Print E-mail
Oleh : I Wayan Dateng


andham tamah pravisanti
ye vidyãm upãsate
tato bhüya iva te tamo
ya u vidyãyãm ratãh.
(Sloka 9. Isa Upanisad)
artinya: Ia yang memujanya karena avidya masuk ke dalam kegelapan dan kebodohan,
demikian pula selanjutnya yang karena
vidyanya akan lebih masuk ke dalam kegelapan.
Mengenai konsep pemujaan bagi umat Hindu menjadi sangat penting untuk dipahami dan diketahui agar nantinya tidak ada kesalahan dalam hal melakukan pemujaan. Dalam pemahaman Hindu yang layak mendapat pemujaan adalah para leluhur, Bhatara, Dewa, Dewata, dan Brahman (Ida Sang Hyang Widhi,). Ini bukan berarti umat Hindu tidak memuja para bhuta kala, melainkan cara yang disampaikan bukanlah dengan memuja, melainkan dengan cara menghormati para bhuta kala sebagai cetusan rasa kasih sayang. Karena Hindu dalam konsep panca yadnya harus menghormati kelima aspek dalam kehidupan, yakni memuja dan menghormati para Dewa, (Dewa yadnya). Memuja Roh suci leluhur (Pitra yadnya) menghormati guru-guru suci (Rsi yadnya) menghormati antarsesama manusia (manusia yadnya) dan menghormati para bhuta kala (Bhuta yadnya). Kelima aspek kehidupan ini telah ada dan dijalankan sejak masa silam hingga kini oleh masyarakat Bali.


Keberadaan yadnya di Bali menjadi semakin eksis dengan adanya pemahaman dengan konsep-konsep tattwa dan filsafat yang terkandung di dalamnya. Dengan melaksanakan panca yadnya sebagai pemujaan, ini berarti umat Hindu di Bali telah melakukan penghormatan kepada “sarva bhuta” atau “sarva prani” yang sebagai mana Vedanta mengatakan “Sarva Bhuta Namaskaram Kesavam Pratigarjathi” yakni menghormati semua makhluk ciptaan sama dengan menghormati Tuhan dan para dewa itu sendiri. Sehingga konsep yadnya yang ada dan dilaksanakan oleh masyarakat di Bali sudah sangat tepat. Para tetua dan Leluhur kita di Bali seperti halnya Mpu Kuturan, Dang Hyang Nirarta, dan yang lainnya telah methikirkan dengan matang mengenai apa yang seharusnya dan dapat dilakukan oleh masyarakat Bali dengan rentang waktu yang cukup lama, temyata konsep yadnya sebagai suatu pemujaan merupakan jawabannya. Ecan konsep ini pun menjadi pesan-pesan utama dan abadi oleh setiap guru-guru suci masa kini.

Bhagawan Satya Narayana juga menekankan pada pelaksanaan yadnya dan menjadikan yadnya sebagai suatu pemujaan dan meditasi. Karena pada yadnya terdapat keempat jalan dalam pencapaian dan penyatuan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi (Brahman). Apakah itu bhakti, karma, jnana, dan juga yoga merupakan yadnya yang menjadi persembahan. Kata yadnya berarti rela berkorban atas dasar pertimbangan yang suci. Ini berarti di dalamnya ada lingkaran karma, karma menjadi persembahan jika hanya unsur bhakti yang terkandung di dalamnya. Bhakti akan menjadi pencerahan jika adanya pemahaman dan pengetahuan tentang yadnya itu (jnana) dan dengan pengetahuan akan mampu menyadari keberadaan yang abadi untuk mampu mencapai tataran raja yoga, yakni penyatuan kehathpan yang Tunggal atau kembali kepada konsep Vedanta yakin “aham Brahman Asmi” (Aku adalah Brahman) dan “Brahman atman aikyam” (Brahman dan atman adalah satu kesatuan). Pemahaman ini hanya mampu dan dapat dicapai oleh orang yang telah menguasai Yoga dalam kehidupannya.

Keberagamaan bagi masyarakat Bali sebagian besar menampakkan konsep bhakti dan karma ini berarti melaui duajalan utama ini, nantinya akan mampu menembus ranah pemahaman dan konsep atau jnana dan juga nantinya mencapai yoga atau penyatuan atman dan paramatman. Sehingga konsep pemujaan yang terjadi pada masyarakat Bali kebanyakan dimulai dengan pemujaan kepada roh suci leluhur karena pemahaman yang ada adalah bahwa leluhurlah yang akan mengantarkan pemujaan kita kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Jika orang Bali memuja dengan benar dan penuh keyakinan para leluhurnya, maka pemujaan dan persembahan suci yang dihaturkannya pun akan diantarkan menuju pemujaan kehadapan Sang Hyang Widhi.

Namun dalam peradaban Veda sebagaimana yang terjadi di negeri Bhrata warsa (India) yang dipuja terlebih dahulu adalah Dewa Agni sebagai pemimpin segala yadnya (Yadnya Purohito), dipercaya dewa Agni-lah yang akan mengantarkan segalapemujaan dan persembahan kehadapan para Dewa dan Tuhan itu sendiri. Bahkan dalam Vedaveda sekalipun diawali dengan pemujaan kehadapan Dewa Agni. Ini bukan berarti umat Hindu di Bali tidak memuja Dewa Agni, melainkan tetap melakukan pemujaan kehadapan Dewa Agni bahkan ke dalam tataran yang lebih tinggi dan sattwika. Hal ini terjadi sebagaimana para leluhur kita mewariskan adanya homa yadnya dengan pelaksanaan Agni hotra. Di sinilah segala puja dan puji masyarakat Bali dipersembahkan kehadapan Dewa Agni.

Pemujaan kehadapan leluhur merupakan yadnya yang utama dikarenakan leluhur di Bali oleh masyarakat Bali kebanyakan menyamakan persepsi tentang leluhur sebagai dewa, Bhetara lingsir, kawitan (asal muasal) dan lain sebagainya ini tidak salah karena semuanya dilandaskan pada kesucian pikiran yakni adanya yadnya dan bhakti kehadapan-Nya.
(Penulis: I Wayan Dateng, Indra Udayana Institute of Vedanta). RADITYA 143 • Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar