Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi "Pasek Dukuh Bunga Asahduren": Makna Banten & Canang Sari di dalam persembahyangan umat Hindu di Bali

Jumat, 04 Mei 2012

Makna Banten & Canang Sari di dalam persembahyangan umat Hindu di Bali

SARANA upacara atau bebantenan di Bali, sesungguhnya tidak hanya hiasan belaka. Tetapi, di dalamnya sarat makna simbolis. Pada umumnya, sarana upakara tersebut sebagai media bagi umat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta.

[Image: 148419207bbf8b16c06c03c64ac1c6773a5c9bbc.jpg]
Wakil Ketua Parisada Bali Drs. I Gusti Ngurah Sudiana menyambut baik keinginan umat untuk membuat museum banten. Tetapi, bentuk-bentuk bebantenan yang dipajang di museum itu mesti dilengkapi dengan penjelasan makna dan sekaligus bahan-bahannya. Dengan demikian, umat atau orang asing akan makin paham akan makna di balik bebantenan tersebut. Hal itu juga sekaligus menghilangkan istilah anak mula keto(memang seperti itu) di kalangan umat.


[Image: 14841916bd106f794434c2480c61ccea2aa18a3f.jpg]
Misalnya canang, kata Ngurah Sudiana, sudah umum dipakai sebagai sarana persembahyangan, tetapi masih ada umat yang belum memahami maknanya. Canang, katanya, berasal dari bahasa Jawa Kuno. Awalnya berarti sirih, sehingga di Bali ada istilah pecanangan yang isinya sirih, gambir, pamor, tembakau, dan buah pinang.

Di Bali canang disusun menjadi sebuah sarana persembahyangan yang bahan intinya yakni peporosan. Peporosan dibuat dari daun sirih, kapur, gambir dan buah pinang. ''Sirih pada zaman dulu diberikan sebagai penghormatan terhadap para tamu. Bahkan, sampai sekarang sirih memiliki arti penting dalam sebuah upacara di Bali dan juga masih disuguhkan kepada tamu,'' ujarnya.
[Image: 14841918ec0da2ae03bb9924d6ebbd9d1037d05a.jpg]
Bahan peporosan itu juga mengandung makna. Pamor atau kapur melambangkan Dewa Siwa, sirih melambangkan Dewa Wisnu, dan gambir melambangkan Dewa Brahma.

Tidak itu saja, bahan lainnya seperti ceper yang berbentuk segi empat melambangkan catur purusa artha dan taledan atau tapak dara melambangkan keharmonisan serta uras sari lambang keheningan pikiran atau keteguhan pikiran. ''Jadi canang itu adalah wujud persembahan kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Tri Murti. Umat memohon anugerah kepada Beliau agar mampu mencapai tujuan hidup yakni catur purusa artha dengan selamat,'' katanya. Sementara bunga lambang kesucian hati dan lambang kasih sayang. ''Bahkan, canang itu inti pokok semua banten yang lain,'' kata Sudiana.

Demikian juga kuangen, katanya, sesungguhnya sebagai perlambang. Dalam Lontar Siwagama, kuangen disebut sebagai lambang Omkara (aksara suci Tuhan).

[Image: 14841919a098fe45fbcc8a661518ec50d58c0099.jpg]

Dikatakan, perlengkapan kuangen terdiri atas kojong dari daun pisang, plawa dan hiasan (pepayasan) bunga dan peporosan yang bernama silih asih. Peporosan silih asih itu terbuat dari dua lembar daun sirih berisi kapur (pamor). Di samping itu kuangen dilengkapi uang kepeng.

Kojong(krucut) itu disimbolkan angka tiga, potongan kojong di atas merupakan simbol ardha candra, uang kepeng sebagai simbol windu, bunga dan daun plawa sebagai lambang nada. ''Dalam Lontar Sri Jaya Kusunu, kuangen disebut sebagai lambang Omkara (aksara suci Tuhan). Sementara dalam Brihad Arinyaka Upanisad, kuangen lambang Ida Sang Hyang Widhi Wasa,'' ujarnya sembari menyebut cara penggunaan kuangen yang benar adalah muka kuangen berhadap-hadapan dengan muka umat.

Dikatakan, daksina juga mengandung makna. Daksina berasal dari kata Sansekerta. Daksina bisa berarti upah, daksina juga bisa bermakna selatan dan nama sebuah banten. Perlengkapan daksina yakni kelapa, telur bebek, biji-bijian. Dalam Lontar Siwagama, buah kelapa sebagai simbol ananda --alam semesta ciptaan Tuhan.

Telur yang digunakan sebagai pelengkap daksina adalah telur itik, karena itik mempunyai sifat-sifat satwan. Berbeda dengan daksina caru yang dipersembahkan kepada para buthakala, yang digunakan bisa telur ayam. Sementara kelapa yang dipakai mesti dikupas dan dihaluskan. Selain kelapa, juga ada beras dan biji-bijian sebagai lambang kesuburan. Di situ juga ada hasil laut yang juga perlambang kesuburan.

Daksina juga banyak macamnya. Di antaranya daksina alit bila jumlahnya masing-masing satu biji. Daksina pakakalan, isinya dua kali daksina alit. Daksina krepa, apabila isinya tiga kali lipat dari daksina alit. Daksina gede, apabila isinya empat kali lipat dari daksina alit. Daksina pemogpog atau galahan, apabila isinya lima kali lipat dari daksina alit. Sementara banten lainnya seperti peras, kata Sudiana, lambang Hyang Tri Guna Sakti, seperti yang termuat dalam Lontar Yadnya Prakerti. Dalam pemakaian sehari-hari peras dipergunakan pula sebagai lambang keberhasilan.

Peras terbuat dari taledan, di atasnya diisi kulit peras dari janur atau daun kelapa yang sudah tua. Kemudian diisi dengan sedikit beras, base tampel, benang putih. Dalam upacara tertentu juga diisi uang kepeng dua buah. Selanjutnya di atasnya diisi dua buah tumpeng, lauk pauk, jajan, buah-buahan. Peras dilengkapi sampian peras dan canang genten. Pengambeyan, terdiri atas sebuah taledan sebagai alasnya, diisi dua buah tumpeng, tulung pengambeyan, tipat pengambeyan dan perlengkapan lainnya seperti lauk-pauk, jajan, buah-buahan, dan tebu. Banten pengambeyan menggunakan sampian tangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar