Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi "Pasek Dukuh Bunga Asahduren": Bab 17 - Mengenang Hari-hari Yang Telah Lampau

Jumat, 04 Mei 2012

Bab 17 - Mengenang Hari-hari Yang Telah Lampau


Maharaja Parikshit mengadakan kunjungan kenegaraan ke seluruh jasirah India, berusaha mempelajari keunggulan administratif dalam pemerintahan para kakeknya dan hubungan unik yang telah mereka jalin dengan Bhagawan Sri Krishna yang pada waktu itu turun ke dunia sebagai manusia. Maharaja mendengarkan pengalaman banyak orang suci serta cendikiawan yang hidup pada masa tenang dan bahagia itu, kemudian ia melanjutkan perjalanan sambil merenungkan kenangan menggembirakan tersebut. Sering ia dilanda penyesalan bila memikirkan bahwa ia tidak hidup pada masa itu, ketika para kakeknya menikmati kebahagiaan surgawi.


Ketika Parikshit sedang tenggelam dalam kegembiraan mengenang sejarah para kakeknya dan kemuliaan masa yang silam bersama Krishna, tiba-tiba secara tidak terduga munculah Resi Agung Weda Wyasa di hadapannya. Ia menyambut beliau dengan sangat takzim dan mempersilahkan Beliau duduk di kursi kehormatan. Maharesi memuji pemerintahan Parikshit dan berkata bahwa ia teringat pada masa pemerintahan Pandawa. Maharaja yang masih muda itu mendengarkan pembicaraan Beliau dengan penuh hormat. Setelah beberapa waktu Wyasa berkata, “Nak, sekarang saya harus pergi.” Parikshit berkata, “Ini seperti meletakkan sepiring hidangan lezat di hadapan orang yang kelaparan dan tepat pada waktu ia mengulurkan tangannya, makanan itu ditarik serta dijauhkan dari jangkauannya. Kisah Maharesi mengenai kepahlawanan para kakek ananda dan tentang kemuliaan Sri Krishna ibarat permata berharga yang ditebarkan di hadapan ananda, tetapi Maharesi menyebabkan ananda sangat kecewa karena tidak memberi ananda kesempatan untuk memilikinya. Kepergian Maharesi meninggalkan ananda sekarang ini membuat ananda sangat sedih.”

Ia memohon dengan sangat agar Maharesi Wyasa sudi tinggal sedikit lebih lama lagi. “Katakan pada nanda, apakah tujuan kedatangan Maharesi. Duduklah bersama ananda beberapa waktu lagi dan redakanlah rasa lapar yang menggerogoti hati ananda. Nanda kehilangan kemujuran besar yang dimiliki para kakek nanda, yaitu hidup bersama dengan Bhagawan sendiri. Ananda ingin menyelamatkan diri dari kemunduran rohani setidak-tidaknya dengan mendengarkan kisah kepahlawanan mereka dan bakti mereka yang membuat Sri Krishna melimpahkan berkat Beliau.” Melihat raja memohon dengan amat bersungguh-sungguh dan penuh kerendahan hati, Wyasa berkata, “Nak, jangan merasa bahwa Nanda lebih rendah atau kurang mujur. Saya nyatakan bahwa tidak ada seorangpun yang semujur Ananda karena pada saat lahir Nanda sudah menarik rahmat Tuhan pada diri Nanda. Bhagawan Waasudewa telah memberi Ananda nafas kehidupan. Beliau mengangkat, menggendong dan bermain dengan Ananda pada waktu Nanda masih bayi. Nandapun selalu mengikuti Beliau demikian dekat sehingga Nanda jarang ditinggalkan. Kakek Ananda yang termuda, Sahadewa, harus menarik Nanda secara paksa dari Sri Krishna dan menyerahkan Nanda pada para wanita di keputren. Nanda diberi nama oleh Waasudewa (Sri Krishna) sendiri dengan upacara. Alangkah mengesankan
peristiwa itu! Ananda memperlihatkan kepada kami bahwa Ananda adalah anak yang menakjubkan; pandangan Ananda terus mengikuti Bhagawan kemanapun Beliau bergerak, ke arah manapun Beliau berpaling. Nanda hanya berminat untuk pariksha ‘mencari’ dimana Beliau berada, seolah-olah hari itu tidak ada orang lain yang berada di balairung. Dengan amat cerdik Krishna menyembunyikan diri di balik pilar dan mencoba berbagai cara untuk mengalihkan perhatian Ananda dari Beliau, tetapi terbukti Nanda terlalu cerdik walaupun untuk Beliau! Pandangan Ananda hanya mencari Beliau, hanya melihat Beliau dalam wujud Beliau yang indah. Kami semua yang saat itu hadir, tercengang melihat bakti dan konsentrasi Ananda. Tampaknya Ananda seakan-akan memeriksa setiap wajah, berusaha untuk mengetahui apakah itu paras Sri Krishna; Ananda tampak kecewa jika ternyata bukan, dan berseri seri jika memandang dan menatap Beliau. Para cendikiawan, rakyat jelata, petani dan penguasa menyadari bahwa Ananda adalah anak yang luar biasa. Itulah sebabnya ketika kakek Nanda, Dharmaraja, mohon agar Beliau memberi Ananda nama yang tepat, Beliau menamai Ananda sesuai dengan perilaku Nanda yang aneh yaitu Parikshit, ia yang memeriksa, ia yang berusaha mencari.”

“Ketika Bhagawan mengumumkan nama ini kepada Dharmaraja, dalam kehadiran banyak pejabat istana, cendikiawan, dan kaum bijak, mereka semua menyambutnya dengan sorak sorai sambil berseru, ‘tepat sekali, baik sekali, bagus.’ Setelah mendapat demikian banyak kemujuran, tidak patutlah Ananda menyesali diri sebagai orang yang tidak beruntung. Ananda disayangi oleh Bhagawan, Beliau bermain dengan Nanda dan memperhatikan Nanda meloncat-loncat; Beliau menamai Ananda. Sedikit sekali orang yang memperoleh nasib baik ini! Jangan Nanda anggap hal ini sebagai pemberian anugerah yang biasa-biasa saja.”

Air mata kegembiran merebak ketika Parikshit mendengar hal ini. Ada pertanyaan yang akan diucapkannya, tetapi Wyasa melihat ia menelan kembali pertanyaan itu, maka ditepuknya bahu raja muda itu dan dibesarkannya hatinya agar bertanya,”Nak, tampaknya ada sesuatu yang ingin Nanda tanyakan padaku. Tanyakan tanpa ragu, jangan takut.” Parikshit mendapat keberanian dari dorongan ini lalu berkata, “Maharesi, Guru Agung, manusia tidak dapat mengetahui nilai kegembiraan atau kesedihan jika ia tidak menyadarinya. Pertemuan yang membahagiakan dengan Sri Krishna yang tadi Maharesi ceritakan, telah dianugerahkan kepada nanda ketika nanda belum mampu menyadari kebahagiaan yang terkandung di dalamnya. Kebahagiaan sejati hanya mampu dirasakan bila manusia menyadari nilainya. Bila seorang anak kecil diberi berlian seharga satu miliar rupiah, ia hanya akan memperlakukannya sebagai beling. Kebahagiaan karena bertemu Bhagawan yang menurut Maharesi telah nanda alami pada masa kanak-kanak, tidak mengesankan bagi ananda ibarat kebahagiaan yang dialami pada kehidupan-kehidupan yang lampau. Pada waktu itu nanda tidak tahu betapa berharganya saat-saat tersebut. Jika nanda mengerti, seandainya nanda mampu memahaminya, pastilah kebahagiaan itu nanda kenang untuk selamanya. Sekarang semuanya hanya dugaan dan kesimpulan. Ananda tidak mempunyai bukti yang dapat dilihat tentang rahmat Tuhan yang waktu itu nanda terima, maka sekarang nanda hanya berpegang pada bukti-bukti yang dapat didengar. Karena itu, mohon ceritakan kepada ananda tentang kebesaran dan kemuliaan Sri Krishna; biarlah telinga nanda mereguk madu kisah itu.”

Wyasa terharu mendengar permohonan Parikshit; beliau setuju. “Nak, apakah Nanda kira liila ‘permainan’ Sri Krishna hanya satu atau dua ? Bagaimana saya dapat menceritakan liila Beliau yang tidak terhitung jumlahnya kepada Nanda? Karena itu, tanyakan apa yang Beliau lakukan dalam kaitannya dengan seseorang atau dalam peristiwa atau situasi tertentu, dengan senang hati akan saya ceritakan semua detailnya kepada Nanda.” Mendengar ini, Parikshit sangat gembira, dengan kedua tangan tertangkup ia memohon, “Maharesi,
ceritakanlah kepada nanda bagaimana timbulnya persahabatan yang erat antara para kakek ananda dengan Sri Krishna.”

Wyasa meledak tawanya. “Nak, kesungguhan hati Nanda benar-benar membuat saya heran. Hanya orang yang sungguh tulus seperti itu akan dapat meraih jnana. Saya senang Nanda memiliki kerinduan yang mendalam ini, karena itu akan saya ceritakan apa yang Ananda tanyakan. Dengarlah.” Sambil mengatakan hal ini Wyasa memantapkan duduknya dengan nyaman di kursi, Parikshit pun siap mendengarkan dengan hati yang gembira dan telinga yang dipasang lebar-lebar penuh hasrat untuk mendengarkan.

“Nak, Raja Drupada ingin menikahkan puteri tunggalnya dengan pria yang sesuai, tetapi tidak berhasil menemukan yang cocok walau sudah berusaha keras mencarinya. Karena itu, ia mengumumkan diadakannya swayamwara ‘perayaan untuk memilih mempelai pria’. Para raja yang amat perkasa dan mulia berkumpul di ibu kota kerajaannya, demikian juga para cendikiawan yang berkepribadian menarik, semua ingin mempersunting sang puteri yang kecantikannya tiada bandingnya di ketiga dunia. Mereka semua merasa bangga akan kekayaan serta keperkasaannya dan mengira bahwa mereka akan dapat memperoleh sang puteri dengan prestasi tersebut.”

“Di balairung tempat pertandingan itu Raja Drupada telah memasang suatu alat pada sebuah tiang. Alat itu berbentuk roda yang berputar cepat dan tercermin pada bejana berisi air yang terletak di bawah tiang. Pada roda itu dikaitkan sebuah ikan-ikanan. Peserta Swayamwara diminta agar maju satu demi satu untuk memanah ikan di atas pilar hanya dengan memandang bayangannya di air. Drupada mengumumkan niatnya untuk menikahkan puterinya dengan siapa saja yang mampu memanah sasaran yang telah disiapkan itu. Ibu kota kerajaannya penuh dengan para pangeran dan raja yang berdatangan untuk mencoba kemahirannya dalam pertandingan memanah yang unik ini.”

“Kabar tentang perayaan ini terdengar oleh para kakek Ananda yang pada waktu itu menyamar sebagai brahmin untuk mengelabui Kaurawa yang licik. Mula-mula mereka merasa bahwa tidak seharusnya mereka keluar untuk memperlihatkan diri diantara orang banyak pada kesempatan itu, tetapi Arjuna, kakek Nanda, berhasil membujuk Saudara-saudaranya agar ikut pesta kewiraan itu karena seperti dikatakannya, tidak boleh ada satria yang tinggal diam bila para pemanah bertanding untuk memenangkan hadiah yang berarti.”

“Demikianlah kelima bersaudara itu duduk diantara hadirin dengan menyamar sebagai brahmin. Mereka tampak bagaikan kawanan singa, memancarkan suasana kepahlawanan ke sekelilingnya. Pandangan semua orang tertarik ke tempat duduk mereka. Kehadiran mereka memancing tanggapan orang banyak, tidak sedikit yang kagum, beberapa menertawakan dengan cemooh, beberapa memuji mereka sebagai juara, ada lagi yang menertawakan mereka sebagai pencari hadiah atau satpam. Bisik-bisik yang ditimbulkan oleh kehadiran mereka menyebar ke seluruh tempat itu.”

“Sri Krishna datang menhadiri perayaan itu. Sepanjang waktu pandangan Beliau terpusat pada Arjuna; hal ini diketahui oleh kakak Beliau, Balarama, yang menyatakan sesuatu kepada Beliau. Akhirnya kontes swayamwara dimulai; para peserta maju satu demi satu menuju bayangan yang tampak di air dan mengarahkan panahnya pada ikan-ikanan yang berputar di atas. Mereka gagal dan kembali dengan wajah pucat menanggung aib. Mereka berjalan kembali ke tempat duduknya dengan langkah-langkah yang berat karena kecewa dan malu, lalu duduk dengan sedih.”

“Krishna tidak berniat bangkit untuk mencoba memanah sasaran karena Beliau duduk tenang-tenang saja. Bila Beliau berminat pastilah Beliau dapat memanah ikan-ikanan itu dengan mudah dan memenangkan swayamwara. Siapa yang dapat menyelami pikiran Beliau?”

“Pada waktu itu Arjuna bangkit dan maju ke tempat memanah. Aura kepahlawanan gilang gemilang yang memancar dari kepribadiannya menebarkan kecemerlangannya di antara hadirin. Draupadi, sang puteri, mengangkat kepalanya dan mengamatinya dengan kagum. Hatinya bagaikan luluh dalam kecemerlangan itu. Dalam sekejap panah Arjuna membelah kepala ikan-ikanan itu; ia menang. Sorak sorai hadirin membahana. Sang puteri maju dan menerimanya sebagai mempelai pria; ia mengalungkan karangan bunga di leher Arjuna dan memegang tangannya.”

“Ketika Arjuna keluar meninggalkan balairung sambil menggandeng mempelai wanita, semua raja dan pengeran yang kalah berteriak-teriak bahwa aturan pertandingan telah dilanggar karena seorang brahmin yang tidak berhak bertanding dalam panahan ternyata boleh ikut serta dan dinyatakan sebagai pemenang. Mereka menyerang kakek Ananda dengan sangat marah, tetapi Bhima mencabut sebatang pohon besar hingga ke akar-akarnya dan memutar-mutarnya dengan cepat ke arah raja yang kalah itu.”

“Pada waktu melihat perkelahian antara kelompok peminang yang kecewa dengan Pandawa bersaudara, Krishna dan Balarama tersenyum, dalam hati mereka memuji prestasi serta keberhasilan Arjuna. Para kakek Ananda tidak tahu siapa mereka sebenarnya karena sebelumnya tidak pernah bertemu.”

“Pandawa bersaudara tiba di tempat tinggal mereka – pondok sederhana milik pembuat belanga tanah liat –bersama dengan mempelai yang baru dimenangkan yaitu puteri Raja Drupada. Dharmaraja, yang tertua diantara mereka, menceritakan kejadian hari itu dengan amat gembira. Pada waktu itulah Balarama dan Krishna dengan mengenakan pakaian sutera kuning yang sangat indah dipandang, memasuki pondok sederhana tersebut. Mereka bersujud di kaki Kunti yang sudah lanjut usia, ibu para kakek Nanda. ‘Bibi, kami kemenakan Bibi’, kata mereka. ‘Kami anak-anak Nanda dan Yasoda,’ demikian mereka memperkenalkan diri. Kemudian mereka menyentuh kaki Dharmaraja dan bersujud di depannya. Krishna mendekati Arjuna dan mengajaknya ke samping dengan sikap yang mengungkapkan rasa sayang. ‘Saya tahu Anda, tetapi Anda tidak mengetahui saya. Sekarang saya menemui anda untuk yang pertama kalinya. Saya putera Wasudewa, nama saya Sri Krishna. Saya lebih tua dari Anda. Ketika anda menang dalam pertandingan panahan di keraton, saya tahu bahwa anda adalah Pandawa bersaudara, karena itu saya mengerti bahwa Anda telah lolos dari istana lak yang dibakar ketika anda sedang tinggal di dalamnya. Sejak saya melihat anda diantara para peminang di istana, entah bagaimana saya merasa bahwa Andalah Arjuna; hal itu juga saya katakan pada kakak saya. Ini kakak saya, Balarama. Saya senang sekali karena mengenali anda dan kakak sayapun ikut gembira. Akhirnya saya dapat berjumpa dengan Anda. Pengantin wanita ini sarat dengan sifat-sifat baik dan kecerdasan.”

“Sambil berkata demikian Krishna mengajak Arjuna pergi menjauh lalu berbisik di telinganya, ‘Saudara sepupuku, tidak baik bila anda begitu cepat menampakan diri di luar. Tetaplah menyamar untuk sementara, tinggalah di satu atau lain tempat untuk beberapa waktu lagi. Setelah itu Beliau mohon diri pada bibi Beliau serta lain-lainnya, lalu pergi bersama kakak Beliau, Balarama.”

“Sejak hari itu persahabatan antara Krishna dan Arjuna tumbuh makin lama makin erat. Kasih sayang itu tumbuh menjadi pohon yang besar dan menghasilkan buah-buahan manis yang mereka nikmati bersama; dalam kemanisan itu hati mereka luluh menyatu. Perhatikan! Kakek Ananda berjumpa dengan Bhagawan Sri Krishna untuk pertama kalinya ketika Beliau sedang berada di kalyana mantapa ‘balai pertemuan untuk pernikahan’ Draupadi. Makna hal ini terletak pada fakta bahwa selama bertahun-tahun merekapun terikat dalam jalinan kasih sayang sebagai sahabat karib. Untuk menyempurnakan persahabatan itu Krishna mengajarkan kebijaksanaan yang tertinggi kepada Arjuna. Apakah Nanda perhatikan betapa karibnya si cerdik yang banyak akal itu dengan kakek Nanda?” Dengan pertanyaan itu Wyasa bangkit lalu mengenasi barang-barangnya siap berangkat.

Melihat ini Parikshit mohon dengan mengiba-iba sambil menghapus air mata bahagia yang mengenangi matanya, “Maharesi, cerita Maharesi yang melukiskan permainan mukjizat serta rahmat Sri Krishna membuat ananda dapat membayangkan Beliau dengan jelas. Mohon ceritakan lebih banyak lagi tentang berbagai peristiwa ketika Bhagawan melimpahkan belas kasih Beliau kepada para kakek nanda, bagaimana Beliau bergaul akrab dengan mereka dan menyelamatkan mereka dari bencana. Rasa kantuk lenyap meninggalkan mata ananda dan membuat nanda ingin mendengarkan cerita-cerita tentang Tuhan. Buatlah malam ini suci dengan menceritakan kemuliaan Tuhan kepada ananda. Hanya itulah yang dapat memuaskan hati ananda. Biarlah ananda melewatkan malam ini dengan memikirkan dan merenungkan Beliau… sikap diam Maharesi membuat ananda amat sedih.”

Wyasa melihat bakti dan kesungguhan parikshit lalu mengubah keputusannya. Katanya, “Nak, kalau mukjizat Krishna yang hebat-hebat itu hanya satu atau dua, pastilah telah saya ceritakan kepada Ananda. Jika seseorang memiliki sejuta lidah dan waktu yang abadi, kisah kemuliaan Beliau tidak akan pernah habis. Semua dewa bersujud di hadapan Beliau dengan tangan tertangkup. Kadang-kadang Beliau mengangkat abdi Beliau setinggi langit, tetapi segera beliau menarik mereka ke bawah serendah-rendahnya. Beliau menganggap dunia ini sebagai pentas wayang. Beliau selalu tersenyum berseri-seri. Beliau tidak mengenal kecemasan, kekecewaan, atau kesedihan. Kadang-kadang Beliau bertingkah laku seperti orang biasa, kadang-kadang seperti anak yang belum tahu apa-apa, pada kesempatan lain seperti kerabat dekat, sebagai sahabat
karib, atau sebagai penguasa yang berwibawa. Kadang-kadang Beliau bertingkah laku sebagai bocah angon yang jenaka. Beliau memiliki kemampuan dan kecerdikan untuk memainkan segala peran dengan perbedaan yang unik. Beliau menyayangi kakek Ananda, Arjuna, secara khusus. Beliau sering mengajak serta Arjuna dalam kesempatan atau tempat apa saja. Bahkan Arjuna bebas keluar masuk di bagian dalam tempat tinggal Sri Krishna. Bhagawan sering bermain-main dengan kakek Ananda di Sungai Yamuna, menyelam di suatu tempat dan muncul lagi di tempat yang jauh untuk membuat Arjuna heran, Beliau mengajaknya melakukan hal yang sama jika dapat, bertanding denganya dalam berbagai permainan yang tidak dapat dilukiskan dan disebutkan. Secara tiba-tiba Beliau akan mengajak Arjuna pergi ke suatu tempat yang sunyi dan disitu Beliau membicarakan beberapa misteri dengannya. Sering Arjuna meninggalkan pembaringan Beliau yang dialasi kain sutera halus lalu tidur dengan kepala di pangkuan Arjuna.”

“Kakek Ananda pun membalas kasih sayang Beliau dengan sepenuh hati. Walau kadang-kadang mereka kedapatan marah satu sama lain, berbicara seakan-akan berang, mereka berbaikan lagi dengan cepatnya dan segera melanjutkan pembicaraan dengan sikap bersahabat. Anakku terkasih, dapat dikatakan mereka adalah Nara dan Narayana, ibarat tubuh dan napas; tiada Arjuna tanpa Krishna dan tiada Krishna tanpa Arjuna. Tidak ada rahasia yang tidak diberitahukan oleh kakek Ananda kepada Krishna atau tidak diberitahukan oleh Krishna kepada kakek Ananda. Bagian mana dalam hubungan persahabatan mereka yang kini harus saya ceritakan kepada Ananda? Tanyakan pada saya mana yang ingin Ananda ketahui, akan saya ceritakan kepada Ananda dengan segala senang hati.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar