Pura ini disebut dengan
nama Pura Desa karena pura ini lazim ditempatkan
di pusat desa yaitu pada salah satu sudut dari
catuspata (perempatan agung).
Catus merupakan perubahan ucapan
dari kata catur artinya tempat. Perubahan wianjana
r menjadi s memang sering terjadi seperti dursila
menjadi dussila menjadi susila, nirkala menjadi
niskala dan lain-lain. Pata merupakan perubahan
ucapan dari kata pada yang berarti dunia/alam.
Dengan demikian catus pata adalah daerah bertemunya
pengaruh yang datang dari empat buah slam yang
ada di sekitar dunia ini (Timur, Selatan Barat
dan Utara). Wujud nyata sebuah catus pata adalah
jalan simpang empat atau perempatan.
Masyarakat tradisional Bali
selaku kelompok masyarakat budaya dalam mengatur
desa selaku daerah pemukiman dengan kelengkapannya
seperti: pura, bale banjar, pasar, rumah, jalan,
diatur dalam satu tata ruang. Filosofis pengaturan
tata ruang tadi berdasarkan konsep catus pata
dan luan teben, misalnya: pasar, wantilan, Pura
Desa, rumah pembesar desa ditempatkan pada sudut-sudut
dari catus pata.
Pura Desa menjadi tempat pusat
kegiatan pelaksanaan upacara untuk kepentingan
desa seperti upacara Ngusaba Desa, pasamuhan
batara setelah upacara melis yang dilaksanakan
sebelum upacara Panyepian. Pada beberapa daerah
di Bali, Pura Desa disebut pula dengan nama
Pura Bale Agung. Nama ini kemungkinan diambil
dari nama bangunan Bale Agung yang terdapat
pada bagian halaman pertama dari pura tersebut.
Pura Desa mempunyai denah
yang terbagi atas tiga bagian, tetapi lebih
umum denah pertama dan kedua digabung menjadi
satu, sehingga tampak mempunyai dua denah yaitu
: Jaba sisi (halaman pertama) dan jaba jeroan
(halaman kedua). Kedua halaman dikelilingi dengan
tembok dengan pintu masuk yang disebut candi
bentar dan kori agung. Masing-masing halaman
tersebut disertai dengan bangunan-bangunan dengan
fungsi yang berbeda-beda. Mengenai jumlah bangunan-bangunan
yang ada di halaman pertama dan kedua dari Pura
Desa adalah berbeda-beda, tetapi pada tulisan
ini dikemukakan bangunan-bangunan pokok yang
harus ada pada setiap pura Kahyangan Tiga. Sebagai
pedoman pendirian bangunan tersebut diambil
dari hasil seminar kesatuan tafsir aspek-aspek agama hindu yang pertama
yang diselenggarakan di Amlapura pada tahun
1974.
Bangunan-bangunan minimal
yang ada pada halaman pertama adalah sebagai
berikut:
Candi Bentar. |
Bentuknya belah
dua yang berfungsi untuk pintu masuk
ke halaman pertama dari pura. Untuk
memasuki halaman kedua (jeroan pura)
melalui candi kurung atau kori agung
dengan berbagai macam bentuk variasi
dan hiasannya.
|
Bale Kulkul. |
Letaknya di sudut
depan dari halaman pertama. Bentuk bangunannya
dibuat tinggi sebagai menara dengan
kulkul atau kentongan yang bergantung
di atasnya. Fungsi dari kentongan berkaitan
dengan pelaksanaan upacara seperti ketika
nedunang batara dan ketika
nyimpen. Fungsi yang lain adalah
sebagai tanda bahwa pertemuan antara
krama pura akan segera dimulai yang
membicarakan berbagai masalah tentang
pura seperti : persiapan piodalan, rencana
perbaikan pura dan lain-lainnya.
|
Bale Agung. |
Bangunan berbentuk
bale panjang dengan dasar bangunannya
yang agak tinggi dan atapnya disangga
beberapa buah tiang. Bangunan ini berfungsi
sebagai tempat pasamuhan (pertemuan)
para batara ketika berlangsung upacara
ngusaba dan setelah upacara mekiyis
(upacara penyucian pratima dari batara).
|
Bale Gong. |
Bangunan ini berfungsi
sebagai tempat gamelan, yang ditabuh
ketika upacara piodalan berlangsung
untuk menunjang jalannya upacara di
pura.
|
Sanggar Agung. |
Bangunan ini disebut
Pula dengan nama Sanggar Surya. Penempatannya
pada bagian arah hulu dari denah jeroan
pura. Bangunan ini pada bagian atas terbuka,
yang berfungsi sebagai stana Hyang Raditya/
Hyang Widi.
|
Gedong Agung. |
Bangunannya berbentuk
gegedongan yang dibagi atas tiga bagian
yaitu, dasar gedong, badan gedong dengan
tembok keliling pada keempat sisi, sehingga
pada badan gedong berbentuk sebuah ruangan.
Ruangan ini dapat dicapai melalui pintu
pada bagian sisi depan dari gedong. Bagian
atap dari gedong dibuat bersusun dengan
atap dari ijuk. Bangunan ini berfungsi
sebagai stana Dewa Brahma, dalam wujud
pratima dan tidak memakai laksana (ciri)
Dewa Brahma sebagai lazimnya dalam seni
arca.
Dalam seni arca Dewa Brahma biasanya digambarkan, berwajah empat yang menghadap ke semua arah mata angin, bertangan empat yang masing-masing memegang tasbih, cemara, kendi dan buah yang berbentuk bulat. Sakti dari Dewa Brahma bernama Dewi Saraswati dengan wahana angsa. |
Ratu Ketut Petung |
Bangunan berbentuk
gedong berfungsi sebagai tempat pepatih
atau pendamping dari Dewa yang berstana
di pura tersebut.
|
Ratu Ngerurah |
Bangunan dibuat berbentuk
tugu yang berfungsi sebagai penjaga dan
bertanggungjawab atas keamanan dari pura.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar