Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi "Pasek Dukuh Bunga Asahduren": Pura Goa Lawah

Rabu, 03 Oktober 2012

Pura Goa Lawah


Pura ini berdiri di wilayah pertemuan antara pantai dan perbukitan dengan sebuah goa yang dihuni beribu-ribu kelelawar. Lontar Padma Bhuwana menyebutkan Pura Goa Lawah merupakan salah satu kahyangan jagat/sad kahyangan sebagai sthana Dewa Maheswara dan Sanghyang Basukih, dengan fungsi sebagai pusat nyegara-gunung. Bagaimana sejarah pura yang menempati posisi di bagian tenggara itu?


Pura Goa Lawah merupakan suatu kawasan yang suci dan indah. Di situ ada perpaduan antara laut dan gunung (lingga yoni). Seperti namanya, di pura ini terdapat goa yang dihuni ribuan kelelawar. Gemuruh riuh suara kelelawar tiada henti, pagi, siang, apalagi malam. Sekejab puluhan, ratusan bahkan ribuan ekor terbang. Sebentar lagi datang, bergantungan, bergelayutan, beresak-desakkan di dinding-dinding karang goa. Terdengar begitu riuh bagaikan nyanyian alam yang abadi sepanjang mas. Belum lagi munculnya ular duwe, lelawah (kelelawar) putih, kuning dan brumbun, menambah suasana makin mistik di Pura yang berada di Desa Pesinggahan, Dawan, Klungkung itu.

Sementara di mulut goa terdapat beberapa palinggih sthana para Dewa. Di pelatarannya, juga berdiri kokoh beberapa meru dan sthana lainnya.
Lokasinya sekitar 20 kilometer di sebelah timur kota Semarapura, Klungkung atau kurang lebih 59 kilometer dari kota Denpasar. Hari piodalan/pujawali di pura ini dilaksanakan setiap enam bulan sekali (210 hari) yakni pada Anggara Kasih Medangsia. Upacara biasanya nyejer selama 3 hari dengan penanggung jawab, pengempon pura yakni Krama Desa Pakraman Pesinggahan.

Di samping itu, di pura ini juga dilaksanakan aci penyabran yang dilakukan secara rutin pada hari-hari suci seperti Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, Pagerwesi, Saraswati, Siwaratri dan lainnya. Begitu juga dengan umat Hindu dari seluruh pelosok Bali, setiap harinya ada saja yang menggelar upacara meajar-ajar nyegara-gunung.

Siapa yang membangun Pura Goa Lawah dan kapan dibangun? Sulit mengungkap dan membuka secara gamblang misteri itu. Di samping karena usia bangunan pemujaan tersebut sudah tua, juga suit ditemukan narasumber yang benar-benar mengetahui seluk beluk keberadaannya.

Memang, ada beberapa lontar yang selintas menulis keberadaan Pura Goa Lawah. Tetapi informasinya hanya selintas, kurang gamblang. Namun, jika dirunut dari kata goa lawah, secara harfiah sedikit tidaknya dapat dijelaskan bahwa goa berarti goa (lobang) dan lawah berarti kelelawar. Jadi goa lawah bisa diartikan goa kelelawar. Dalam beberapa lontar, sekilas ada yang menyimpulkan secara garis besarnya bahwa sejumlah pura besar yang berstatus Kahyangan Jagat dan Sad Kahyangan di Bali dibangun oleh pendeta terkenal, Mpu Kuturan

Hal itu terbukti dengan disebutnya Pura Goa Lawah dalam lontar Mpu Kuturan, sebagaimana dihimpun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Klungkung, bahwa Mpu Kuturan datang ke Bali abad X yakni saat pemerintahan dipimpin Anak Bungsu adik Raja Airlangga. Airlangga sendiri memerintah di Jawa Timur (1019-1042). Ketika tiba, Mpu Kuturan menemui banyak sekte di Bali. Melihat kenyataan itu, Mpu Kuturan kemudian mengembangkan konsep Tri Murti dengan tujuan mempersatukan semua sekte tersebut.

Kedatangan Mpu Kuturan membawa perubahan yang sangat besar di wilayah ini, terutama mengajarkan masyarakat Bali tentang cara membuat pemujaan terhadap Hyang Widhi yang dikenal dengan sebutan kahyangan atau parahyangan. Mpu Kuturan pula yang mengajarkan pembuatan Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali serta mengukuhkan keberadaan Kahyangan Jagat yang salah satunya adalah Goa Lawah. Sebagaimana tertulis dalam lontar Usana Dewa, Mpu Kuturan juga tercatat sebagai perancang bangunan pelinggih di sejumlah pura seperti gedong dan meru serta arsitektur Bali. Begitu juga dengan berbagai jenis upacara-upacara dan pedagingan pelinggih. Hal itu termuat dalam lontar Dewa Tatwa. Mpu Kuturan telah membuat landasan prikehidupan yang sangat diwarisi sampai saat ini dalam bentuk Desa Pakraman.

Disamping nama Mpu Kuturan patut juga dicatat perjalanan Danghyang Dwijendra atau Danghyang Nirartha yang dikenal juga dengan gelar Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Maha Pandita ini berada di Bali saat Bali dipimpin Raja Dalem Waturenggong (1460-1550 Masehi), seorang raja yang sangat jaya pada masanya dan membawa kejayaan Nusa Bali. Danghyang Nirartha merupakan seorang pendeta yang melakukan tirthayatra ke seluruh pelosok Pulau Bali, termasuk juga ke pulau Lombok dan Sumbawa.

Kaitannya dengan Pura Goa Lawah. Lontar Dwijendra Tatwa menyebutkan perjalanan Danghyang Nirartha diawali dari Gelgel menuju Kusamba. Tetapi, di Kusamba Danghyang Nirartha tidak berhenti. Perjalanannya berlanjut hingga ke Goa Lawah. Saat itulah, Danghyang Nirartha bisa melihat gunung yang indah. Perjalanannya terhenti, Sang pendeta masuk ke tengah goa, melihat-lihat kelelawar yang jumlahnya ribuan. Di puncak gunung goa itu bunga-bunga bersinar, jatuh berserakan tertiup angin semilir, bagaikan ikut menambah keindahan perasaan sang pendeta yang baru tiba. Dari sana beliau memandang Pulau Nusa yang terlihat indah. Lalu membangun padmasana yang notebene tempat bersthana para dewa.

Pura Goa Lawah awalnya dipelihara dan dijaga Gusti Batan Waringin atas petunjuk Ida Panataran yang notebene putra dari Ida Tulus Dewa yang menjadi pemangku di Pura Besakih. Informasi itu menunjukkan bahwa Goa Lawah memiliki hubungan benang merah dengan Pura Besakih. Pura Goa Lawah merupakan jalam keluar Ida Bhatara Hyang Basukih dari Gunung Agung tepatnya di Goa Raja, terutama ketika berkehendak masucian di pantai.

Dalam babad Siddhimantra Tatwa disebutkan ada kisah pertemuan antara Sanghyang Basukih di kawasan Besakih dengan Danghyang Siddhimantra, salah seorang keturunan Mpu Bharadah. Sanghyang Bsukih yang merupakan nagaraja, memiliki peraduan di sebuah goa yang berada di bawah Pura Goa Raja Besakih yang konon tembus ke Goa Lawah. Dalam hubungan ini acapkali terlihat secara samar sosok seekor naga ke luar dari Pura Goa Lawah, menyeberang jalan lalu menuju pantai. Orang percaya itulah Sanghyang Basukih yang berdiam di goa sedang menyucikan diri, mandi ke laut.

Goa dari Pura Goa Lawah ini, menurut krama Pesinggahan tembus di tiga tempat masing-masing di Gunung Agung (Goa Raja Besakih), Talibeng dan Tangkid Bangbang. Ketika Gunung Agung meletus tahun 1963, ada asap mengepul keluar dari muara goa lawah. Ini suatu bukti Goa Raja Besakih tembus Goa Lawah.

Jika menengok ke belakang yakni pada zaman Megalitikum, di mana pada zaman itu selain menghormati kekuatan gunung sebagai kekuatan alam yang telah menyatu dengan arwah nenek moyang yang mempunyai kekuatan gaib, juga menghormati kekuatan laut di samping kekuatan-kekuatan alam lainnya, seperti batu besar, goa, campuhan, kelebutan dan lainnya. Dalam kehidupan masyarakat Bali yang kental dengan pengaruh dan sentuhan agama Hindu, pemujaan terhadap kekuatan segara gunung memang merupakan dresta tua. Tetapi sampai saat ini masih bertahan dan terus berlanjut. Karena pada intinya, pemujaan terhadap Dewa Gunung atau Dewa Laut, sesungguhnya telah mencakup pemujaan kepada kekuatan alam yang notabene penghormatan yang amat lengkap. Atas dasar itulah, Pura yang awalnya sangat sederhana itu, kini lebih dikenal sebagai kekuatan alam yang bersatu dengan kekuatan magis arwah nenek moyang. Laut yang berada di depan pura, sekarang telah menyatu dengan segala kekuatan yang dihormati dan dipuja masyarakat guna mendapat ketentraman dan kesejahteraan hidup.

Dari kilasan di atas, jelas bahwa Pura Goa Lawah memiliki sejarah yang cukup panjang. Berawal dari pemujaan alam goa kelelawar, gunung dan laut di zaman Megalitikum, lalu dikembangkan/ditata dan kemudian dibangun pelinggih-pelinggih sthana para Dewa dan Bhatara oleh Mpu Kuturan abad X, kemudian disempurnakan lagi dengan membangun Padmasana oleh Danghyang Dwijendra pada abad XIV-XV. Lengkaplah keberadaan Pura Goa Lawah, seperti yang kita lihat dan warisi sekarang.

Namun yang perlu dicatat, Nyegara-Gunung yang digelar di Pura Goa Lawah, mengandung makna terima kasih ke hadapan Hyang Widhi dalam manifestasi Girinatha (Pelindung Gunung) dan Baruna sebagai penguasa laut, atas anugerahnya berupa amerta baik kepada sang Dewa Pitara-jiwa leluhur yang telah suci maupun kepada Sang Yajamana, Sang Tapini dan Sang Adrue Karya. Atas dasar konsep inilah Umat Hindu memuliakan gunung dan laut sebagai sumber penghidupan. Memuliakan gunung dan laut bukan berarti umat Hindu menyembah gunung dan laut, tetapi yang dipuja adalah Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pelindung gunung dan penguasa laut.
Membaca Pertanda Alam

Keberadaan ribuan kelelawar berwarna hitam yang menghuni goa di Pura Goa Lawah, itu biasa. Namun, munculnya ular duwe di sela-sela bebatuan dan kelelawar berwarna putih, kuning dan brumbun, tampaknya memendam ribuan misteri yang sulit diungkapkan dengan akal sehat. Munculnya kelelawar, khususnya yang berwarna putih dan ular duwe, biasanya membawa wangsit (pesan) bahwa akan terjadi sesuatu yang menimpa alam, khususnya Bali.
Kemunculannya merupakan pertanda akan adanya bencana atau kejadian-kejadian, seperti tanah longsor, gempa bumi, pembunuhan, gunung meletus, tsunami, bom dan lain-lain.

Hal itu sudah dibuktikan sejak jaman dahulu. Sebagaimana dituturkan Jero Mangku Tirtawan, pemangku pura setempat. Dikatakannya, beberapa tahun lalu, begitu kelelawar putih muncul, berbagai kejadian terjadi, seperti pembunuhan di Klungkung, Karangasem, bunuh diri di berbagai daerah. Termasuk bom Bali, 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005 lalu. Bahkan bencana tsunami yang melanda Aceh, itu sudah diduga-duga karena munculnya kelelawar putih putih.

Sebelumnya, ular duwe yang muncul sekilas di celah bebatuan, ditemukan mati tanpa sebab. Percaya atau tidak, pasca matinya ular duwe tersebut, kemakmuran dan kesuburan alam juga makin terkikis. Dalam konsep Hindu, ular (naga) merupakan dasar bumi yang melilit kura-kura Benawang Nala sebagai sumber panas bumi. Dengan matinya ular tersebut secara mendadak tanpa sebab sebagai nyasa sumber kesuburan alam telah habis.

Beberapa bulannya lagi,masyarakat kembali dikejutkan dengan matinya ular duwe untuk kedua kalinya. Sebelum ular duwe tersebut mati, ia sempat berjalan ke sana kemari dari pagi sampai siang. Tepat siang hari ular itu mati. Jero Mangku Tirtawan saat itu mengaku was-was.Karena dia memprediksi bakal terjadi pergantian kepemimpinan secara mendadak. Tetapi kejadiannya malah lain. Saat itu terjadi pembunuhan di salah satu di Denpasar.
Sebelum dipralina ular duwe tersebut ditaruh di depan bale pesamuan sambil memohon petunjuk sulinggih untuk melaksanakan upacara pemralina ke segara. Ketika menjelang sore, persiapan upakara pemrelina sudah selesai ada seorang pemedek yang menghalangi pelaksanaan upacara dimaksud sebab menurutnya ular duwe tersebut akan mengeluarkan senjata.Ucapan orang tersebut tampak ada benarnya. Pada pukul 23.00 Wita dari badan ular duwe tersebut keluar pamor (kapur). Pamor itu berubah menjadi benda senjata yang berbentuk dupa mecanggah. Ketika akan siap-siap ngayut, ular duwe tersebut, muncul sinar biru mengelilingi Bale Pengaruman Utama Mandala Pura Goa Lawah, seiring hilangnya sinar,hujan lebat mengguyur pelataran pura, lalu dilanjutkan dengan nganyut ular duwe ke segara. Pada malam tersebut pemedek beserta Sulinggih menghaturkan guru piduka (permohonan maaf) dan pejati di tempat memrelina ulat tersebut. Tiba-tiba muncul sinar putih lalu sinar tersebut diam di depan sulinggih kemudian dibawa ke pura. Setelah di pura sinar tersebut berubah menjadi senjata berbentuk pasepan.

Memuja Dewa Laut
Menurut sejumlah sumber, Pura Goa Lawah merupakan pura untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Laut. Pura Goa Lawah di Desa Pesinggahan Kecamatan Dawan, Klungkung inilah sebagai pusat Pura Segara di Bali untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Laut. Dalam Lontar Prekempa Gunung Agung diceritakan Dewa Siwa mengutus Sang Hyang Tri Murti untuk menyelamatkan bumi. Dewa Brahma turun menjelma menjadi Naga Ananta Bhoga. Dewa Wisnu menjelma sebagai Naga Basuki. Dewa Iswara menjadi Naga Taksaka. Naga Basuki penjelmaan Dewa Wisnu itu kepalanya ke laut menggerakkan samudera agar menguap menjadi mendung. Ekornya menjadi gunung dan sisik ekornya menjadi pohon-pohonan yang lebat di hutan. Kepala Naga Basuki itulah yang disimbolkan dengan Pura Goa Lawah dan ekornya menjulang tinggi sebagai Gunung Agung. Pusat ekornya itu di Pura Goa Raja, salah satu pura di kompleks Pura Besakih. Karena itu pada zaman dahulu goa di Pura Goa Raja itu konon tembus sampai ke Pura Goa Lawah. Karena ada gempa tahun1917, goa itu menjadi tertutup.

Keberadaan Pura Goa Lawah ini dinyatakan dalam beberapa lontar seperti Lontar Usana Bali dan juga Lontar Babad Pasek. Dalam Lontar tersebut dinyatakan Pura Goa Lawah itu dibangun atas inisiatif Mpu Kuturan pada abad ke XI Masehi dan kembali dipugar untuk diperluas pada abad ke XV Masehi. Dalam Lontar Usana Bali dinyatakan bahwa Mpu Kuturan memiliki karya yang bernama Babading Dharma Wawu Anyeneng yang isinya menyatakan tentang pembangunan beberapa pura di Bali termasuk Pura Goa Lawah dan juga memuat tahun saka 929 atau tahun 107 Masehi. Umat Hindu di Bali umumnya melakukan Upacara Nyegara Gunung sebagai penutup upacara Atma Wedana atau disebut juga Nyekah, Memukur atau Maligia.

Upacara ini berfungsi sebagai permakluman secara ritual-sakral  bahwa atmankeluarga yang diupacara itu telah mencapai Dewa Pitara. Upacara Nyegara Gunung itu umumnya dlakukan di Pura Goa Lawah dan Pura Besakih salah satunya ke Pura Goa Raja.

Pura Besakih di lereng Gunung Agung dan Pura Goa Lawah di tepi laut adalah simbol lingga yoni dalam wujud alam. Lingga yoni ini adalah sebagai simbol untuk memuja Tuhan yang salah satu kemahakuasaannya mempertemukan unsur purusa dengan pradana. Bertemunya purusa sebagai unsur spirit dengan pradana sebagai unsur materi menyebabkan terjadinya penciptaan. Demikianlah Gunung Agung sebagai simbol purusa dan Goa Lawah sebagai simbol pradana.  Hal itu untuk melukiskan proses alam di mana air laut menguap menjadi mendung dan mendung menjadi hujan. Hujan ditampung oleh gunung dengan hutannya yang lebat. Itulah proses alam yang dilukiskan oleh dua alam itu. Proses alam itu terjadi atas hukum Tuhan. Karena itulah di tepi laut di Desa Pesinggahan didirikan Pura Goa Lawah dan di Gunung Agung didirikan Pura Besakih dengan 18 kompleksnya yang utama. Di Pura itulah Tuhan dipuja guna memohon agar proses alam tersebut tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya. Karena dengan berjalannya proses itu alam ini tetap akan subur memberi kehidupan pada umat manusia

Di jeroan Pura, tepatnya di mulut goa terdapat pelinggih Sanggar Agung sebagai pemujaan Sang Hyang Tunggal. Ada Meru Tumpang Tiga sebagai pesimpangan Bhatara Andakasa. Ada Gedong Limasari sebagai pelinggih Dewi Sri dan Gedong Limascatu sebagai Pelinggih Bhatara Wisnu. Dua pelinggih inilah sebagai pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Basuki dan Bhatara Tengahing Segara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar