Tattwa, Kedudukan, dan Perbedaannya
Pulau Bali pernah mengalami musibah
besar di mana rakyatnya melarat karena bencana alam yang sambung
menyambung, tanaman pangan selalu rusak karena diserang hama, dan wabah
penyakit menjalar cepat mematikan manusia dan binatang peliharaan.
Menurut Rontal Purana Pasar Agung hal
ini disebabkan karena penduduk Pulau Bali tidak “ngaturang aci” dan
bersembahyang ke Pura Besakih. Ketika pemerintahan Raja Mayadanawa
selama 15 tahun, yaitu sejak tahun 959 Masehi sampai dengan tahun 974
Masehi, rakyat Bali memang benar dilarang ngaturang aci dan
bersembahyang ke Besakih.
Para tentara kerajaan membangun pos
penjagaan pertama di pinggir sungai Balingkang (letaknya di timur pasar
Menanga sedikit lewat jembatan sekarang dikenal dengan pelinggih Yeh
Ketipat) dan kedua, di Pura Manikmas sekarang, untuk menjaga agar tidak
ada penduduk yang datang ke Besakih.
Setiap yang datang ditangkap lalu
digiring ke hadapan raja Mayadanawa. Disaksikan oleh para patihnya,
yaitu Kryan Patih Kalawong dan Kryan Bedawong, Raja lalu bersabda:
Renge ling ngong, samangke ngong angrenge wrtha kunang padartanya ring Basukih hana Dewa, hana Dalem; ndi hana Dalem waneh lawan ingong, ingong Dalem, ingong Dewa yatika tan tuhu mangkana sinembah dening wong Bali… dst… iti ta wang ingong Dalem jati, yan ri Dalem Kadewatan dudu Dalem, ing Basukih dudu Dewa, ingong Dewa jati, ingong haturi widhi wedana mwah sembahen ta ingong asung uripta, mwah samidinta… dst
Jadi, singkatnya, Mayadanawa telah
menyatakan dirinya: “akulah Dewa yang patut kamu sembah, janganlah
menyembah Dewa yang ada di Besakih”.
Ini membuat para Dewa di Kahyangan
memutuskan untuk memusnahkan Mayadenawa. Bhatara Indra diutus untuk
tugas suci ini, dan akhirnya Mayadanawa dikalahkan. Bhatara Indra lalu
menitahkan agar rakyat Bali membangun kahyangan di Desa masing-masing,
taat ngaturang aci, dan bersembahyang di Besakih.
Aci yang dititahkan itu adalah: Eka
Bwana, Panca Walikrama, dan Eka Dasa Rudra. Di saat itu Ida Bethara
Samodaya nyejer di Besakih, dan ketangkil oleh seluruh rakyat yang
tinggal di Pulau Bali.
Bagi Para Rsi, Mpu, dan arwah leluhur
perintis pertama yang datang di Bali dibuatkan palinggih di Besakih agar
dapat ngiring Ida Bethara Samodaya.
Itulah antara lain yang merupakan awal
dibangunnya Pura Pedarmaan di Besakih. Kemudian perkembangan ini lebih
pesat setelah kedatangan Mpu Kuturan di Bali pada tahun 1001 Masehi.
Beliau menata kembali parahyangan mulai dari Sanggah Kemulan Rong Tiga
untuk pawongan (rumah tangga),
Sanggah Pamerajan untuk beberapa rumah
tangga, di mana dipuja arwah suci para leluhur yang berasal dari garis
satu waris. Lebih besar dari Sanggah Pamerajan adalah berturut-turut:
Pura Panti dan Pura Paibon, untuk penyungsungan bagi beberapa Sanggah
Pamerajan.
Pura Dadia untuk penyungsungan bagi beberapa Panti dan Paibon, dan Pura Kawitan, untuk penyungsungan bagi beberapa Dadia.
Perbedaan status Pura-Pura tersebut ditentukan oleh:
- Jumlah penyungsung.
- Jumlah dan jenis Palinggih yang ada.
- Historis (sejarah berdirinya Pura-Pura itu).
Perlu diketahui bahwa pada umumnya
tiap-tiap Sanggah Pamerajan, Panti, Paibon, Dadia, Kawitan, bahkan Pura
Pedarmaan tidak sama baik jumlah/ susunan palinggih, maupun Ida Bethara
yang di-stana-kan, karena masing-masing mengikuti sejarah leluhurnya
dahulu.
Mengenai asal satu waris dan hubungan
ke-cuntaka-an atau saling sumbah pada umumnya sudah sulit ditemukan
dalam tingkatan Kawitan, karena demikian panjangnya silsilah leluhur
yang melewati batas waktu dalam hitungan abad (ratusan tahun).
Selanjutnya mengenai Palinggih Hyang
Kompiang dapat diuraikan sebagai berikut: Palinggih Hyang Kompiang
merupakan fenomena baru dalam perkembangan Agama Hindu di Bali yang
dimulai sekitar tahun 1970, yaitu beberapa tahun kemudian setelah
diadakannya Karya Agung Eka Dasa Rudra (1963) di Pura Besakih.
Ketika itu sebelum Karya, diwajibkan
untuk “membersihkan” setra, sehingga pemeluk Hindu ramai-ramai ngaben.
Upacara pengabenan dilanjutkan dengan nuntun Dewa Hyang/ Hyang Kompiang
ke Pura Dalem Puri di Besakih.
Setelah nuntun lalu Dewa Hyang
distanakan di Sanggah Pamerajan pada suatu bentuk bangunan gedong limas;
palinggih itu dinamakan Palinggih Hyang Kompiang atau Palinggih Dewa
Hyang.
Tempatnya berbeda-beda, ada yang di
jeroan Sanggah Pamerajan, ada pula yang di jabaan Sanggah Pamerajan.
Sumber sastra mengenai Palinggih Dewa Hyang ini tidak ditemukan.
Dasarnya membangun Palinggih Dewa Hyang
kemungkinan adanya persepsi yang berbeda mengenai fungsi Kamulan yang
menyatakan bahwa Kamulan adalah stana Sanghyang Tri Murti, yaitu Brahma,
Wisnu, Iswara atau Sanghyang Tiga Sakti.
Oleh karenanya Dewa Hyang kurang tepat
distanakan bersama-sama dengan Sanghyang Tri Murti, sehingga perlu
dibangun palinggih tersendiri.
Banyak sumber sastra tegas-tegas menyatakan bahwa Kamulan adalah stana Atman yang sudah bersih.
Kutipan Lontar Gong Wesi:
…NGARANIA IRA SANG ATMA, RING KAMULAN TENGEN BAPANTA NGA SANG PARATMA RING KAMULAN KIWA IBUNTA NGARAN SANG SIWATMA RING KAMULAN MADIA RAGANTA, ATMA DADI MEME BAPA RAGANE MANTUK RING DALEM DADI SANG HYANG TUNGGAL NUNGGALANG RAGA…
Kutipan Lontar Usana Dewa:
…RING KAMULAN NGARAN IDA SANGHYANG ATMA, RING KAMULAN TENGEN BAPA NGARAN SANG PARATMA, RING KAMULAN KIWA IBU NGARAN SANG SIWATMA, RING KAMULAN TENGAH NGARAN RAGANYA, TU BRAHMA DADI MEME BAPA MERAGA SANGHYANG TUDUH
Kutipan dari Lontar Siwagama:
…KRAMANIA SANG PITARA MULIHANG BATUR KAMULANYA NGUNI…
Selanjutnya adalah kutipan Lontar Purwabhumi Kamulan:
…RING WUS MANGKANA, IKANG DAKSINA PENGADEGAN SANG DEWA PITARA TINUNTUNAKENA MARING SANGGAH KAMULAN, YAN LANANG UNGGAHAKENA MARING TENGEN, YAN WADON UNGGAHAKENA MARING KIWA, IRIKA MAPISAN LAWAN DEWA HYANGNYA NGUNI, WINASTU JAYA-JAYA DE SANG PANDITA KINA BHAKTYANANA MUWAH DENING SWARGANYA MWANG SENTANAN NIRA…
Semua bukti sastra itu dikuatkan dengan
konsep Sanggah Pamerajan menurut Mpu Kuturan, bahwa Sanggah Pamerajan
adalah tempat suci untuk pemujaan arwah leluhur, di mana palinggih
utamanya adalah Kamulan.
Pemujaan terhadap roh leluhur yang suci
didasarkan pada pengertian bahwa karena tujuan akhir adalah bersatunya
Atman dengan Brahman (Ida Sanghyang Widhi atau Sanghyang Tri Murti atau
Sanghyang Tiga Sakti) maka roh suci leluhur itu disembah, didoakan, dan
di-identikkan dengan Sanghyang Tiga Sakti (dalam konsepsi Moksha).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar