Mendengar perkataan Arjuna, Dharmaraja yang
tenggelam dalam renungan dan sedang mengingat-ingat pertolongan, rahmat,
kasih serta simpati yang telah mereka peroleh dari Sri Krishna,
tiba-tiba menegakkan kepalanya dan bertanya, "Arjuna? Apa yang Adinda
katakan! Malapetaka apa yang Dinda alami di jalan? Ceritakan
selengkapnya kepada kami Adik terkasih!", dan
perlahan-lahan
diangkatnya dagu Arjuna ketika menanyakan hal itu. Arjuna menatap wajah
kakaknya sambil berkata, "Kakanda, segala keahlian dan
kemampuan saya
telah meninggalkan saya bersama dengan Sri Krishna. Sekarang saya tidak
memiliki kesaktian apa-apa, tidak mampu berprestasi lagi, lebih
lemah daripada yang paling lemah, sungguh, saya tidak memiliki daya hidup lagi."
"Kakanda,
dengarlah. Orang yang amat sial ini tidak mendapat kesempatan
mendampingi Bhagawan Waasudewa ketika Beliau mangkat ke akhirat walaupun
pada waktu itu Beliau berada di Dwaraka. Saya belum memperoleh
cukup
pahala untuk mendapatkan kesempatan itu. Saya tidak dapat memperoleh
darsan ayah surgawi kita sebelum beliau pergi. Setelah itu, Daruka,
kusir
Beliau, menyampaikan kepada saya amanat yang telah Beliau
berikan untuk saya ketika akan berpulang. Dalam amanat itu Beliau
menulis sendiri sebagai berikut."
Sambil berkata demikian, dari
lipatan pakaian dikeluarkannya sepucuk surat yang dianggapnya lebih
berharga dari hidupnya sendiri karena berasal dari Sri Krishna dan
Beliau tulis sendiri. Diletakkannya surat itu di tangan kakaknya.
Dharmaraja menerimanya dengan hormat dan sigap bercampur rasa cemas.
Ditekannya surat itu pada matanya yang berkaca-kaca; ia berusaha
membaca dan mengartikannya melalui genangan air matanya, tetapi tidak berhasil.
Amanat
itu dimulai sebagai berikut, "Arjuna, ini perintahku; laksanakan tanpa
ragu. Jalankan tugas ini dengan tabah dan sungguh-sungguh." Setelah
menyatakan perintah tersebut, Krishna memaparkan tugas yang
diperintahkannya
dengan kata-kata sebagai berikut. "Aku telah menyelesaikan misi yang
merupakan tujuan kedatanganku. Aku tidak ada berada di dunia lebih lama
lagi dengan tubuh ini. Aku meninggalkannya. Tujuh hari lagi sejak hari
ini, Dwaraka akan tenggelam ke dalam samudera; lautan akan menelan
segala-galanya kecuali rumah bekas tempat tinggalku. Karena itu, Anda
harus membawa para ratu dan wanita-wanita lain yang yang masih hidup,
bersama dengan anak-anak, bayi dan orang-orang jompo, menuju kota
Indraprastha. Aku
pergi dan segala tanggung jawab terhadap wanita dan
suku Yadawa yang masih hidup kuletakkan di tangan Anda. Jagalah mereka
seperti Anda menjaga hidup
Anda sendiri. Aturlah kediaman mereka di
Indraprastha dan lindungi mereka dari bahaya." Penutupnya berbunyi
sebagai berikut, "Demikian yang ditulis Gopala ketika berangkat menuju
kediaman beliau."
Dharmaraja selesai membaca amanat itu. Ia
melihat air mata Bhima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa bercucuran; mereka
duduk bersila bagaikan batu cadas tanpa menyadari apapun juga lainnya.
Arjuna berkata, "Kakanda, saya tidak ingin hidup lebih lama sedetikpun
tanpa Bhagawan diantara kita, saya berniat menenggelamkan diri di laut
yang akan menelan Dwaraka. Saya memutuskan akan membelah kepala saya
dengan busur ini lalu mati. Tetapi perintah ini memaksa saya bertahan;
perintah Beliau yang menguasai jagad
raya mengikat saya pada Bumi
ini. Saya tidak mempunyai waktu untuk merencanakan suatu tindakan;
segalanya harus dilaksanakan dengan cepat."
"Maka saya atur agar
diselenggarakan upacara terakhir untuk mereka yang telah meninggal,
sesuai dengan petunjuk kitab-kitab shaastra. Saya amat cemas, takut
kalau-kalau lautan menelan Dwaraka sebelum para wanita,
anak-anak,
dan orang-orang tua diungsikan, maka saya suruh mereka agar segera
meninggalkan kota itu menuju ke Indraprastha sesuai dengan perintah
Krishna. Kami meninggalkan Dwaraka tanpa keinginan untuk pergi dan
berhasil mencapai perbatasan Panchanada (Punjab) dengan berat hati
karena tidak hadirnya Sri Krishna. Saya terpaksa harus maju terus karena
menaati perintah
Bhagawan dan memikul beban orang-orang tersebut sesuai dengan petunjuk Beliau."
"Pada
suatu hari ketika matahari terbenam, perjalanan kami terhambat oleh
sungai yang meluap deras. Kami tidak berani menyeberanginya dalam
kegelapan, maka saya memutuskan untuk berkemah di tepi sungai malam itu.
Kami kumpulkan semua perhiasan dan barang-barang berharga milik wanita
dan kami simpan di tempat yang aman. Para ratu turun dari pelangkin dan
para dayang berpencar untuk istirahat. Saya pergi ke sungai untuk
melakukan upacara doa senja dan berjalan dengan menyeret diri secara
paksa karena amat sedih berpisah dengan Sri Krishna. Sementara itu
kepekatan malam
menyelubungi tempat tersebut dan segera kami
mendengar jerita perang suku barbar liar dari kegelapan di sekitarnya.
Saya berusaha melihat dalam gelap gulita dan mendapati gerombolan suku
liar penghuni hutang menyerbu ke arah kami dengan tongkat, tombak dan
belati. Mereka merampas perhiasan serta
barang-barang berharga; mereka mulai menyeret para wanita dan mengikat tangan serta kaki mereka."
"Saya
berteriak pada mereka dan mengancam serta menakut-nakuti mereka.
Mengapa kalian datang seperti kelekatu yang jatuh di api," tanya saya.
Kenapa kalian seperti ikan yang menemui ajal karena menginginkan
cacing
umpan pemancing?" demikian saya katakan kepada mereka. Jangan
menghadapi kematian dalam usaha sia-sia untuk merampok kami," saya
ingatkan mereka. "Saya kira kalian tidak tahu siapa saya ini. Apakah
kalian belum
pernah mendengar tentang pemanah yang ditakuti, Arjuna,
putra Pandu, yang melumpuhkan dan menaklukan penakluk tiga dunia yaitu :
Drona, Bhisma, dan Karna? Sekarang akan saya kirim kalian semua ke
kerajaan maut dengan dentangan busur ini, senjata Gandiwa saya yang
tiada bandingnya. Larilah sebelum kalian binasa, jika tidak, umpani
busur ini dengan jiwa kalian," demikian saya nyatakan.
"Meskipun
demikian, mereka terus saja melakukan perbuatan jahatnya tanpa rasa
takut; serangan ganas mereka tidak berkurang; mereka menyerbu perkemahan
kami, bahkan berani menyerang saya. Saya bersiaga dan memasang panah
sakti untuk menghabisi mereka semua. Tetapi, aduh, terjadilah hal yang
mengerikan; saya tidak dapat menjelaskan bagaimana atau mengapa hal itu
dapat
terjadi. Saya tidak dapat mengingat satu pun mantra suci untuk mengisi
senjata itu dengan kekuatan. Saya lupa cara untuk mengisi dan
mencabutnya.
Saya tidak berdaya."
"Di depan mata saya perampok
menyeret dan menculik para ratu, para dayang, dan lain-lainnya. Dalam
penderitaan lahir batin mereka berteriak-teriak memanggil saya, "Arjuna,
Arjuna! Selamatkan kami, tolonglah kami; tidakkah anda dengar seruan
kami? Mengapa anda tidak memperdulikan jerit tangis kami? Apakah anda
menyerahkan kami pada para bandit ini? Kalau kami tahu nasib kami akan
begini, lebih baik kami mati tenggelam di laut seperti Dwaraka, kota
kami tercinta." Saya mendengar semua dalam kesedihan
yang tidak
terlukiskan; saya melihat semuanya. Mereka menjerit-jerit berusaha
melarikan diri ke segala jurusan, para wanita, anak-anak dan orang
jompo. Bagaikan singa ompong yang tidak berkuku, saya tidak dapat
berbuat apa-apa kepada para bajingan itu. Saya tidak dapat merentangkan
busur saya. Saya serang mereka dengan anak panah dalam genggaman saya,
tetapi persediaan panahpun habis dengan cepatnya. Hati saya mendidih
karena sangat marah dan malu. Saya menjadi muak pada kepengecutan saya.
Saya merasa seakan-akan saya sudah mati. Segala usaha saya sia-sia
belaka. Tempat anak panah yang isinya tidak dapat habis ternyata
kehilangan tuahnya setelah Waasudewa meninggalkan kita."
"Keperkasaan
dan keterampilan saya lenyap bersama Sri Krishna ketika Beliau
meninggalkan alam ini. Jika tidak, bagaimana kesialan semacam ini dapat
terjadi sehingga saya hanya menjadi saksi yang tidak berdaya ketika
wanita dan anak-anak yang dipercayakan kepada saya diculik. Di satu
pihak hati saya menderita karena berpisah dari Sri Krishna di lain pihak
saya menderita batin karena tidak bisa melaksanakan perintah Beliau.
Seperti tiupun angin kencang yang mengobarkan api, bencana ini menambah
kesedihan
hati saya. Dan para ratu mereka yang biasanya tinggal di
istana emas dalam puncak kemewahan! Jika saya renungkan nasib mereka di
tangan orang-orang biadab yang ganas itu, hati saya remuk redam. Oh
Tuhan! Oh Krishna! Untuk inikah Paduka selamatkan kami dari bahaya pada
masa lampau, untuk menimpakan hukuman yang dahsyat ini kepada kami?"
Arjuna
menangis keras-keras dan membenturkan kepalanya ke dinding dengan putus
asa sehingga ruangan itu dipenuhi denga duka cita; setiap orang
menggigil dalam keputusasaan. Batu cadas yang paling keraspun pastilah
luluh karena simpati. Aliran air mata yang hangat merebak dari mata
Bhima. Dharmaraja ketakutan ketika melihat adiknya menangis seperti itu.
Ia pergi ke dekatnya dan berbicara dengan lembut serta penuh kasih
untuk menghiburnya. Setelah beberapa waktu Bhima dapat menguasai diri;
ia bersujud di kaki Dharmaraja dan berkata, "Kakanda, saya tidak ingin
hidup lebih lama
lagi. Berilah saya izin. Saya akan pergi ke hutan
untuk mengakhiri hidup saya sambil mengucapkan nama Krishna dan mencapai
surga. Tanpa Krishna, dunia ini seperti neraka bagi saya." Disekanya
air matanya yang hangat dengan saputangan.
Sahadewa yang selama
itu diam, mendekati Bhima dan berkata, "tenangkan diri Kakanda, jangan
terbawa emosi. Ingatkah Kakanda akan jawaban Krishna kepada Dhritarastra
dalam sidang terbuka tempo hari ketika Beliau pergi kesana untuk
merundingkan perdamaian di antara kita?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar