Bhima berkata, “ketika di istana Dhritarastra
Krishna ditanya oleh Duryodhana, Dussasana, dan lain-lainnya, mengapa
Beliau menjadi penengah dalam pertengkaran keluarga antara Kaurawa serta
Pandawa dan lebih menyayangi pihak yang satu daripada pihak yang lain
seakan-akan Pandawa merupakan kerabat yang lebih dekat dengan Beliau
daripada Kaurawa, apakah jawaban Sri Krishna. Sekarang berusahalah
mengingat jawaban itu. Bayangkanlah kejadian itu di hadapan Kakanda,
Beliau berjalan hilir mudik seperti anak singa dan mengaum, “Apa yang
Anda katakan? Apakah Kaurawa sama dekatnya kepada saya, seperti Pandawa?
Tidak, mereka tidak akan pernah berada pada tingkat yang sama. Dengar
akan saya beritahukan kepada kalian pertalian keluarga yang mengikat
saya pada Pandawa; untuk badan saya ini, Dharmaraja dapat diibaratkan
dengan kepala, Arjuna dapat iibaratkan dengan bahu dan kedua tangan;
Bhima seperti tubuh; Nakula dan Sahadewa ibarat kedua kaki. Bagi badan
yang tersusun seperti itu, Krishna adalah jantungnya. Anggota tubuh
bergerak dengan kekuatan jantung; tanpa jantung mereka tidak bernyawa.”
“Apakah
arti pernyataan ini bagi kita? Itu berarti kita Pandawa tidak akan
hidup karena jantungnya tidak berfungsi lagi. Kita akan menghadapi
kehancuran. Bhagawan yang merupakan pengejawantahan waktu berusaha
melebur kita ke dalam Beliau. Kita harus siap menjawab panggilan
Beliau.”
“Ini sudah cukup sebagai bukti bahwa Zaman Kali sudah
tiba. Pada hari Krishna meninggalkan dunia ini, hari itu juga pintu
zaman Dwapara tertutup dan gerbang Zaman Kali terbuka. Jika tidak,
dapatkah kekuatan jahat dan berbagai pikiran busuk berkeliaran tanpa
kendali? Dapatkah Arjuna yang tidak pernah melupakan ritus mantra untuk
setiap panah bertuah yang dilepaskan dari busurnya bahkan di tengah
pertempuran yang berkecamuk dengan ganas dan serba cepat, tiba-tiba
dapat lupa sama sekali dalam keadaan yang demikian gentingnya ketika
suku bangsa barbar menyerang kaum wanita dan anak-anak? Pasti semangat
Zaman Kalilah yang telah menyebabkan malapetaka dahsyat ini.”
Pada
waktu itu Nakula ikut berbicara. Katanya, “Kakanda sekalian, langit di
Timur memperlihatkan datangnya fajar. Marilah kita memberitahu para ratu
dan ibu kita mengenai perkembangan ini. Mari kita putuskan langkah
berikutnya yang harus kita ambil, tanpa ditunda lagi. Tubuh tidak
langsung hancur begitu nafas meninggalkannya bukan? Tentu saja hidup
telah meninggalkan kita pada saat Krishna berpulang, tetapi
anggota-anggota badan masih akan hangat untuk sementara waktu. Hari ini
atau besok, kitapun harus pergi ke kehadiran Sri Krishna. Janganlah kita
membuang-buang waktu dalam duka dan kesedihan. Lebih baik kita
memikirkan langkah yang selanjutnya harus kita tempuh dan mempersiapkan
diri untuk perjalanan itu.” Semua saudaranya menyetujui saran bijak yang
dijiwai semangat ketidakterikatan ini.
Pada mulanya mereka
cemas memikirkan bagaimana berita duka itu akan mempengaruhi Draupadi,
Subhadara dan ibu mereka yang telah uzur, tetapi mereka mengabaikan
kekhawatiran itu dan berniat menyampaikannya. Bila Bhagawan telah
meninggalkan raga, mengapa harus mencemaskan apa yang akan terjadi pada
orang lain? Kelima saudara itu memutuskan bahwa Dharmaraja, yang tertua
diantara mereka, harus pergi menemui sang ibu; mereka anggap itulah cara
terbaik.
Kegembiraan menghabiskan waktu lebih cepat, tidak
demikian halnya dengan kesedihan. Bila orang berada salam keadaan
gembira, waktu berjalan dengan cepat; bila mereka sedih, waktu bergerak
lambat. Kesedihan itu berat bagaikan pegunungan, bak air bah pada akhir
zaman.
Walau ibu kota kerajaan Dharmaraja adalah Indraprastha
takhta pusaka leluhurnya masih berada di Hastinapura. Tempat itu telah
kehilangan pamornya sejak perang Mahabharata menewaskan para pangeran
dalam keluarga raja serta semua keturunan sepuh. Karena itu, setiap
tahun Dharmaraja melewatkan beberapa bulan di Indraprastha dan
selebihnya di Hastinapura. Karena tidak mengetahui hal ini, (setibanya
dari Dwaraka) Arjuna pergi ke Indrapastha. Ketika mendapati bahwa
Dharmaraja tidak berada disitu, ia meninggalkan beberapa wanita Dwaraka
yang dapat diselamatkannya dari suku bangsa barbar di kota itu, kemudian
melanjutkan perjalanan ke Hastinapura. Ia disertai seorang Yadawa
sebatang kara bernama Vajra, yaitu salah seorang buyut Sri Krishna,
satu-satunya yang masih hidup diantara kaum pria warga Dwaraka. Vajra
yang malang tidak ingin memperlihatkan diri kepada siapapun juga; ia
merasa sangat malu karena masih hidup. Ia demikian sedih atas kematian
semuanya sehingga selalu menyembunyikan diri di dalam kamar yang gelap
dan sepanjang waktu menggerutu sendiri dengan murung.
Dalam
waktu singkat Ibu Suri Kunti Dewi mendengar dari seorang pelayan bahwa
Arjuna telah tiba. Kunti Dewi berjaga sepanjang malam dengan harapan
Arjuna akan segera datang menemuinya dan menceritakan kabar dari
Dwaraka. Ia tidak memadamkan pelita dan tidak mau tidur. Bila terdengar
olehnya suara tapak kaki yang paling samar sekalipun, dikiranya Arjuna
telah datang, lalu ia bangkit dengan gembira dan berkata, “Oh Nak, Ibu
senang kamu datang. Apa kabarnya?” Ketika tidak ada yang datang, ia
memanggil dayangnya agar datang ke kamar lalu berseru, “Apa artinya hal
ini? Bukankah kau katakan padaku Arjuna telah datang dari Dwaraka?
Mengapa ia belum menemui aku? Pasti engkau keliru; tentu engkau melihat
orang lain datang dan mengiranya Arjuna. Jika ia telah datang, pasti ia
akan segera ke sini.” Demikian Kunti tidak tidur sepanjang malam, ia
melewatkan waktunya di antara harapan dan kekecewaan.
Fajar
menyingsing; setiap orang sibuk dengan tugas masing-masing. Sementara
itu banyak pertanyaan yang timbul dalam hatinya. Mengapa Arjuna tidak
datang menemuinya? Apakah ia benar-benar telah kembali? Apakah ia tidak
dapat segera datang keran masih ada masalah politik mendesak yangn harus
dibicarakan dengan Saudara-Saudaranya hingga larut malam? Atau apakah
perjalanan itu demikian melelahkan sehingga ia memutuskan untuk menemui
ibunya keesokan paginya dan bukan malam itu juga? Jangan-jangan ada
suatu kemelut yang terjadi di Dwaraka sehingga Krishna menyuruh Arjuna
segera berkonsultasi dengan Dharmaraja dan kembali lagi untuk
menyampaikan jawaban serta pemecahannya? Apakah ia lupa akan
kewajibannya kepada ibunya karena kemelut keadaan genting itu? Tentu
saja Arjuna akan datang bila pagi telah menjelang, demikian akhirnya ia
menghibur diri sendiri.
Kunti Dewi bangun ketika kegelapan masih
menyelimuti bumi; ia mandi, mengenakan pakaian baru, dan bersiap-siap
menerima putranya. Pada waktu itu timbulah keraguan lain dalam hatinya
dan membuatnya resah. Setiap malam semua puteranya selalu menemuinya,
mereka datang berurutan lalu bersujud di kakinya, mohon diri untuk pergi
tidur dan mengharapkan doa restunya. Ia heran mengapa malam ini tidak
ada seorangpun yang datang? Hal ini membuat kecemasannya makin menjadi.
Ia mengirim beberapa dayang ke tempat tinggal Draupadi dan Shubhadra dan
mendapati bahwa tiada seorangpun di antara putranya datang untuk makan
malam. Kunti makin merasa cemas. Ketika hatinya sedang tercabik
kepedihan, datanglah seorang pelayan wanita lanjut usia memberitahu
bahwa Dharmawaja dan Arjuna sedang dalam perjalanan menuju ke tempat
tinggalnya. Kunti menjadi resah, takut akan apa yang mungkin mereka
sampaikan, senang akan ia akan bertemu dengan Arjuna yang telah pergi
demikian lama, dan ingin sekali mendengar kabar tentang kaum yadawa.
Harapannya bercampur aduk. Ia gemetar karena tidak mampu menahan
kecemasannya.
Dharmaraja masuk, bersujud di kakinya, lalu
berdiri diam. Arjuna tidak mampu bangkit dari sungkemnya sampai lama.
Kuntilah yang berbicara dan menghiburnya. “Anak yang malang. Bagaiman
engkau bisa pergi meninggalkan Ibunda begitu lama?” Diusap-usapnya
Arjuna dengan penuh kasih, tetapi sebelum ia memberikan doa restu atau
menanyakan kesehatan dan kesejahteraannya, ia bertanya, “Arjuna, Bunda
dengar engkau telah datang semalam, benarkah itu? Mengapa engkau tidak
datang menemui Bunda malam itu juga? Bagaimana mungkin seorang ibu yang
tahu anaknya sudah datang setelah pergi lama, dapat tidur dengan tenang
tanpa melihatnya? Yah, Bunda senang setidak-tidaknya engkau telah datang
pagi ini. Beritahulah Bunda apa kabarnya? Apakah ayah mertua, ibu
mertua, dan kakekmu semuanya baik? Kakak Ibunda, Waasudewa, sekarang
sudah tua sekali, bagaimana keadaannya? Apakah ia masih dapat
berjalan-jalan? Ataukah di tempat tidur terus seperti Bunda? Apakah ia
dirawat seperti Bunda dan segalanya tergantung orang lain?” Kunti Dewi
memegang tangan Arjuna dan menatap wajahnya lekat-lekat. Tiba-tiba ia
bertanya, “Apa yang Bunda lihat ini, Nak? Bagaimana kulitmu menjadi
begini gelap? Mengapa matamu bengkak dan merah seperti ini?”
“Bunda
mengerti. Dwaraka amat jauh dan perjalanan yang lama melewati hutan
berakibat buruk bagimu. Debu dan teriknya matahari mempengaruhi engkau;
kelelahan akibat perjalanan itu tampak di wajahmu. Itu akan pulih lagi
nanti. Katakan apakah pesan Shyamasundara, Krishnaku, buat Bunda? Kapan
Beliau akan datang ke sini? Atau tidak inginkah Beliau menemui Bunda?
Apakah Beliau mengatakan sesuatu? Tentu saja Beliau adalah Waasudewa,
Beliau dapat melihat semuanya dari manapun Beliau berada. Bilakah Bunda
dapat melihat Beliau lagi? Apakah buah yang ranum ini masih berada di
pohon hingga kedatangan Beliau?”
Kunti Dewi berkali-kali
bertanya dan berkali-kali dijawabnya sendiri. Arjuna dan Dharmaraja
tidak mendapat kesempatan untuk mengatakan hal yang hendak mereka
sampaikan. Arjuna mengucurkan air mata tanpa dapat ditahan lagi. Kunti
Dewi mengamati kejadian yang aneh ini. Ditariknya Arjuna ke dekatnya
sehingga kepala putranya tertumpang di bahunya. “Nak, apa yang terjadi?
Katakan pada Bunda. Bunda tidak pernah melihat air mata di wajahmu.
Apakah Gopala marah kepadamu dan menyuruhmu pergi karena engkau tidak
layak menyertai Beliau? Apakah bencana mengerikan semacam itu terjadi
padamu?” Ia diliputi kesedihan, tetapi berusaha sedapat-dapatnya
menghibur putranya.
Pada waktu itu Dharmaraja menutup wajahnya
dengan kedua tangannya dan meratap sambil terisak-isak, “Ibunda! Bunda
masih berbicara tentang Waasudewa kita? Sudah sepuluh hari berlalu sejak
Beliau meninggalkan kita. Beliau telah pergi, kembali ke tempat Beliau
yang sejati. Semua Yadawa telah meninggal.” Sementara Dharmaraja
berbicara, Kunti membuka matanya lebar-lebar dan bertanya, “Apa?
Gopalaku… Nandanandanaku… permata hatiku… hatiku… sudahkah Beliau
membuat bumi ini menjadi janda? Oh Krishna… Krishna…,” dan seakan-akan
hendak menyusul Beliau, saat itu juga ia meninggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar