Haywa amuja bebanten kalangkahin tajeg Sang Hyang Aditya
asuk juga kawengania, apan yan tajeg Sang Hyang Surya, Dewata amoring
swarga. (Petikan Lontar Sunarigama)
Maksudnya: Janganlah mengaturkan bebanten (Kuningan) setelah
lewat tengah hari. Kalau sampai lewat tengah hari maka para Dewata
telah kembali ke sorga.
Umat Hindu di Nusantara menyelenggarakan upacara Hari Raya Kuningan
pada waktu pagi hari sebelum matahari tegak atau tengah hari. Mengapa
demikian? Umumnya umat kebanyakan mengatakan agar jangan ketemu dengan
Dewa Berung. Padahal tidak ada konsep Agama Hindu yang menyatakan bahwa
Dewa itu bisa berung atau luka di badannya. Pandangan yang salah itu
mungkin pada awalnya berasal dari orang yang berpengaruh tetapi tidak
begitu paham akan ajaran atau petunjuk tentang perayaan Galungan dan
Kuningan.
Perayaan Kuningan dilakukan pagi hari karena hari raya tersebut
adalah simbol hari anugerah Tuhan atas perjuangan umat menegakkan
dharma yang disimbolkan dengan prosesi perayaan Galungan. Menurut
ketentuan Bhagawad Gita XVII.20 bahwa anugerah atau pemberian suci itu
harus diberikan berdasarkan desa kala patra. Desa artinya berdasarkan
pertimbangan aturan rokhani setempat. Kala maksudnya anugerah itu
diberikan saat waktu yang disebut Satvika Kala. Patra menurut
Sarasamuscaya 271 adalah orang yang sepatutnya diberikan Daana Punia
(Patra ngarania sang yogia wehana dana).
Pagi adalah tergolong waktu yang disebut Satvika Kala artinya hari
yang tenang dan baik melakukan pekerjaan mulia seperti memberi atau
menerima Daana Punia. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa Lontar
Sunarigama menentukan bahwa upacara Kuningan harus dilakukan sebelum
matahari tegak atau sebelum tengah hari. Mereka yang dapat waranugraha
saat Kuningan adalah mereka yang Patra artinya mereka yang baik yang
berjuang meningkatkan diri berdasarkan dharma. Mereka yang berjuang itu
disimbolkan dengan menghaturkan banten Tebog atau Selanggi pada hari
raya Kuningan, di samping sudah melakukan prosesi Galungan sebelumnya.
Banten Tebog dan Selanggi tersebut melambangkan perjuangan ke arah yang
semakin baik dan benar menuju jalan Tuhan. Perjuangan yang benar itu
berdasarkan kesadaran ilmu atau jnyana. Karena itu saat upacara
Galungan di samping menghaturkan Banten Tumpeng Galungan juga disertai
dengan Banten Guru. Banten Guru itu menggunakan tumpeng yang puncaknya
menggunakan telor itik. Hewan itik itu menurut Sarasamuscaya dinyatakan
sebagai hewan yang satvika atau hewan yang mampu membeda-bedakan mana
yang baik dan mana yang buruk. Kalau itik itu diberikan makan nasi
bercampur lumpur maka yang masuk ke perutnya hanyalah nasinya. Dalam
Bhagawad Gita hal itu disebut wiweka jnyana. Kemampuan itu hanya dapat
dicapai oleh manusia dengan belajar atau berguru. Karena itu perjuangan
menegakan dharma harusnya dengan kesadaran ilmu atau wiweka jnyana
dengan berguru kerokhanian. Dharma jangan ditegakkan hanya dengan emosi
dan kekuatan otot saja. Itulah makna menghaturkan Banten Guru saat
Galungan.
Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru adalah simbol
dimulainya prosesi memetik hasil berguru yang puncaknya diperoleh saat
Hari Raya Kuningan. Pada hari Pemaridan Guru ini, dilambangkan dewata
kembali ke sorga dan meninggalkan anugerah berupa kadirgayusaan yaitu
hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan
canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut bermakna, umat
menikmati waranugraha Dewata. Canang meraka itu lambang perjuangan
mendapatkan hidup sehat panjang umur, aman damai dan kesejahtraan yang
adil. Hal itu sebagai wujud dharma akan dicapai hanya dengan menerapkan
ilmu pengetahuan jnyana. Dalam lontar Yadnya Prakerti dinyatakan: Rakan
Banten pinaka Widyadhara Widyadhari adalah ilmuwan sorga. Artinya buah
dan jajan dengan perlengkapan banten yang disebut Rakan Banten
hendaknya diperoleh berdasarkan hasil penerapan ilmu.
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan.
Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti
dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam
lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran
pikiran). Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar
Sunarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini
hendaknya dilaksanakan pada pagi. Saat Kuningan di samping menghaturkan
Banten Tebog atau Selanggi juga memasang Sampian Kuningan. Sampian
Kuningan itu ada empat jenis yaitu Tamiang, Ter, Kolem dan Edongan.
Keempat Sampian Kuningan itu lambang anugerah Tuhan kepada umatnya.
Tamiang lambang aneugrah perlindungan Tuhan. Ter adalah alat
melontarkan panah untuk menyerang musuh. Ter ini lambang kekuatan
anugerah Tuhan untuk menyerang musuh seperti Sang Kala Tiga Wisesa.
Kolem lambang tempat menyimpan panah. Ini artinya lambang kekuatan
rokhani sebagai kekuatan untuk mengalahkan musuh. Endongan adalah
lambang anugerah kesejahtraan.
Perayaan Galungan dan Kuningan ini amat sejalan tattwanya dengan
Hari Raya Wijaya Dasami di India. Kata Wijaya dalam bahasa Sansekerta
artinya menang. Sedangkan dalam bahasa Jawa Kuno kata Galungan dan
Dungulan juga berarti menang. Karena itu Hari raya Galungan dan Hari
raya Wijaya Dasami memiliki makna yang sama yaitu mengingatkan umat
agar dengan kesadaran sendiri untuk menegakkan dharma agar hidup ini
senantiasa “Galang Apadang”.
Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun berdasarkan perhitungan
tahun Surya. Karena itu Hari Raya Wijaya Dasami dirayakan pada bulan
April dan Oktober. Wijaya Dasami dirayakan sepuluh hari. Tiga hari
pertama dirayakan dengan pusat pemujaan ditujukan pada Tuhan sebagai
Dewi Durgha. Tujuannya untuk menghancurkan niat buruk dan membangun
niat suci. Tiga hari kedua memuja Tuhan sebagai Dewi Saraswati agar
niat suci itu disertai dengan ilmu pengetahuan. Tiga hari yang ketiga
memuja Tuhan sebagai Dewi Laksmi agar niat suci dan ilmu pengetahuan
itu menghasilkan kesejahteraan. Hari kesepuluh baru dirayakan dengan
kemeriahan dengan fokus pemujaan Tuhan sebagai Dewa Ganesha dan Laksmi.
Ini melambangkan anugerah rasa aman dan sejahtra sebagai hasil
eksistensi niat suci dan menguasai ilmu pengetahuan.
Sumber: Bali Post
Tidak ada komentar:
Posting Komentar