Dalam ilmu spiritual Jawa ada disebutkan Waton Bab Bener Lupute Wong Urip (Patokan Tentang Benar Salahnya Orang Hidup):
Bener lupute wong urip (Benar salahnya orang hidup): Benering wong urip, eling marang Uripe. Lupute wong urip, lali marang Uripe. (Benarnya orang hidup, ingat kepada Hidupnya. Salahnya orang hidup, lupa kepada Hidupnya.)
Bener lupute wong lali (benar salahnya orang lupa): Benering wong lali, angudi kaweruh kasunyatan. Lupute wong lali, lumuh angudi kaweruh kasunyatan. (Benarnya orang lupa, mencari pengetahuan kesejatian. Salahnya orang lupa, enggan mencari pengetahuan kesejatian.)
Kapriye wajibe wong urip (Bagaimana seharusnya orang hidup): Wajibe wong urip rumangsa ing Uripe. Hinaning wong urip, ora rumangsa ing Uripe. (Seharusnya orang hidup merasakan Hidupnya. Hinanya orang hidup, tidak merasakan Hidupnya.)
Asaling pangudi lan lumuh (Awal dari pencarian dan keengganan): Asaling pangudi saka rumangsa, asale lumuh amarga tan rumangsa. Wong urip kudu rumangsa kawula, rumangsa dosa. (Awal
dari pencarian karena merasa, awal dari keengganan karena tidak merasa.
Orang hidup harus merasa sebagai “wong cilik”, merasa berdosa.)
Brahman adalah Hidup dari hidup kita. Ingat kepada Hidup berarti
ingat kepada Brahman. Orang yang sudah mampu “mengingat” Hidupnya
adalah orang yang sudah mencapai Kebenaran, yang sudah mencapai
Kesadaran Hidup, Kesadaran Atman, Kesadaran Brahman (benering wong urip, eling marang Uripe). Sementara jiwa kita yang masih tertutup avidya,
tidak mampu mengingat Hidup kita, kita terus berkutat pada kehidupan
yang maya, ketidaklanggengan, tetapi kita demikian terpesona, terpaku,
terbelenggu, melupakan Hidup kita, melupakan Atman, melupakan Brahman,
ini adalah dosa, ini adalah suatu kesalahan (lupute wong urip, lali marang Uripe).
Kesalahan yang terjadi selama ini harus kita perbaiki, dengan terus
membangun keteguhan tekad, setapak demi setapak mencari pengetahuan
kesejatian, mempelajari tattva, belajar dan belajar, mencari dan mencari, untuk menemukan keberadaannya (benering wong lali, angudi kaweruh kasunyatan).
Di sela-sela kita menikmati kesenangan, mengeluhkan kesusahan,
merayakan kemenangan, menangisi kekalahan, meraup keuntungan,
menghitung kerugian, sering bermunculan berbagai pertanyaan di benak
kita mengenai hakekat dari semua yang kita alami, tetapi kita acapkali
mengabaikannya, tidak pernah berusaha mencari jawabannya, akhirnya
sering berakhir di jurang kehampaan, ya, hati kita menjadi hampa,
seakan semua kejadian yang dialami hanyalah rutinitas belaka, tanpa
makna sama sekali (lupute wong lali, lumuh angudi kaweruh kasunyatan).
Lalu, dengan kesadaran terbatas ini, apa yang seharusnya kita
lakukan? Walaupun kita belum mencapai Kesadaran Brahman, kita harus
berusaha merasakan keberadaan-Nya, kapan, di mana dan pada apapun juga (wajibe wong urip, rumangsa ing Uripe). Tanpa ada usaha seperti itu, kita akan tetap terkurung dalam kepapaan, penderitaan akan terus berlanjut (hinaning wong urip, ora rumangsa ing Uripe).
Dengan merasakan kehadiran Kasih Brahman di dalam segala hal akan
menumbuhkan kerinduan jiwa akan Sumbernya, ingin segera memulai
pendakian spiritual kita. Tetapi jangan harapkan hal itu terjadi pada
saat kita masih berkutat dalam pusaran rwa bhineda tanpa pernah
berusaha merasakan kehadiran Kasih Brahman di dalam keduanya. Bagaimana
mungkin tanpa merasakan kehadiran Kasih Brahman di dalam keduanya kita
bisa mempersamakan rwa bhineda, mempersamakan dua hal yang bagi pikiran
kita begitu berlawanan (Asaling pangudi saka rumangsa, asale lumuh amarga tan rumangsa).
Untuk dapat melakukan itu, kita harus mengalahkan ego kita, menaklukan
kesombongan dan keangkuhan kita, mengedepankan pola hidup sederhana,
menyadari kesalahan yang mengakar dalam pola pikir kita selama ini (Wong urip kudu rumangsa kawula, rumangsa dosa).
Keluarga menyediakan mainan bagi anak-anak untuk membuat mereka
gembira. Brahman menyediakan karma dan dharma kepada kita semua untuk
membuat kita gembira, membawa kita semakin dekat kepada-Nya. Dia
menciptakan, mengembangkan, dan akhirnya menyerap segalanya kembali
dalam peleburan agung alam semesta. Brahman melahirkan semua jiwa, para
rishi suci memberitahu kita; dan kita berkembang, kembali menelusuri
bayang-bayang-Nya, bayang-bayang perjalanan kita yang panjang, mereka
menjelaskan lebih jauh. Mainan hidup berupa pengalaman membantu kita
dalam berevolusi, menjaga kita agar menikmati apa adanya sehingga kita
bisa belajar dan berkembang secara spiritual dan mengalami karma,
dharma, dan mengalami alur cerita serangkaian peristiwa mengikuti rta
(hukum-hukum dasar alam semesta). Sama halnya dengan anak-anak yang
dapat tertawa dengan gembira pada saat mereka bermain-main dengan
mainannya, dan di lain waktu sengaja atau tidak mereka merusak,
mematahkan atau memecahkan mainannya lalu menangis, tidak jarang si
anak menyalahkan teman bermainnya lalu melempar mainan tersebut ke
teman yang disalahkannya itu, bahkan sering diakhiri dengan
pertengkaran, begitulah kita pada umumnya, seringkali saling gasak dan
saling melukai, baik secara fisik maupun perasaan, melalaikan dharma
(swadharma maupun paradharma), membuat karma, menyakiti diri kita
sendiri dan juga orang lain, atau kita kemudian mengambil hikmah dari
semuanya, baik yang menyenangkan maupun menyakitkan, baik yang membuat
kita tertawa maupun yang membuat kita menangis, semua direnungkan, dan
perenungan membantu diri kita dan yang lain sebagaimana kita
bermain-main dengan evolusi diri kita sendiri, yang semakin memperkuat
diri kita, semakin belajar semakin tumbuh bijaksana.
Semasih kita dipengaruhi oleh rwa bhineda, pada dasarnya kita
melupakan Brahman, tetapi ada banyak cara (marga yoga) yang dapat
menolong kita menghindari gangguan tersebut, agar kita bisa ingat untuk
senantiasa melihat Brahman di mana-mana. Salah satu cara praktis
menempatkan Brahman di tengah-tengah semua ini adalah dengan senantiasa
mengulang-ulang nama kesayangan yang kita berikan untuk-Nya. Lakukan
japa, melantunkan mantra-mantra pujian kepada Brahman yang kita sukai,
misalnya mantra Gayatri, atau japa-japa singkat yang meluhurkan salah
satu Jiwa Utama Brahman yang sekiranya dapat menenangkan diri kita,
misalnya japa “Om Namah Siwaya” atau banyak lagi yang lain. Dalam hati
kita persembahkan semua itu kepada-Nya. Lihatlah Dia pada semua orang
yang kita jumpai atau hadapi, dengan mengabaikan keadaannya. Dia di
sana sebagai daya hidup mereka, tetapi hanya saja kita perlu meredam
pikiran kita untuk melihat. Tersenyumlah ketika merasa tidak senang
dengan seseorang dan berkata pada diri sendiri, “Bagaimana sebaiknya
melihat-Mu, Oh Brahman, dalam wujud ini.” Tumbuhan, binatang, manusia
pengemis, pangeran, politikus, pengusaha, teman-teman dan musuh, orang
suci, orang arif dan bijaksana, semuanya dijiwai oleh Kasih Brahman.
Kita tersenyum dan berpikir untuk Dia, “Bagaimana sebaiknya melihat-Mu,
Oh Brahman, pada yang ini, pada yang itu, pada yang lain, dan pada
banyak lagi wujud-wujud yang lainnya.”
ascarya-vat pasyati kascid enam
ascarya-vad vadati tathaiva canyah,
ascarya-vac caiman anyah srnoti
srutvapy enam veda na caiva kascit.
(Bhagavad-Gita II.29)
Seseorang melihat kebesaran-Nya, yang lain mengatakan tentang
keagungan-Nya, yang lain mendengar tentang kemuliaan-Nya, namun setelah
mendengar-Nya, tak seorang pun memahami-Nya.
Tidak seorangpun dapat memikirkan Brahman sebagai Dia yang tak
berwujud. Pikiran meresapinya di segala wujud, yang memberinya
pemahaman tentang Dia Yang Utama, dan dari pemahaman yang benar
membawanya kepada pelayanan yang tanpa pamrih, dari pelayanan seperti
itu menuntunnya kepada kesadaran sejati, menyadari Yang Tak Berwujud.
Para rishi meyakinkan bahwa kemurnian akan memberikan kesadaran
Paramatman, dengan banyak perenungan akan dapat menyadari
Satchidananda, apakah dalam bulan-bulan atau tahun-tahun mendatang, di
hari tua atau bahkan sesaat sebelum ajal tiba. Kesempurnaan dari
pengalaman hidup dialami, penampilan dari tujuan terdahulu yang
disempurnakan, akan menuntun jiwa pada pemusnahan keinginan untuk
menuntaskan tujuan akhir dari hidup keduniawian. Sebelum mencapai
tujuan akhir hidup keduniawian, setiap orang di muka bumi ini memiliki
keinginan. Ada kalanya keinginan itu terpenuhi, merasa dikabulkan
karena doa-doa pengharapan yang dipanjatkan, di lain waktu pemenuhannya
dirasakan sebagai suatu kewajaran, nampak secara alami mengikuti
hukum-hukum dasar alam semesta. Itu adalah kekuatan yang sama dari
keinginan yang ingin menuntaskan semua ini, menuju ke satu titik tujuan
yang disebut kebahagiaan sempurna. Keinginan seorang ibu untuk
memelihara anak-anaknya dan menjadi istri yang baik, keinginan seorang
ayah untuk menyangga penghidupan keluarganya, keinginan seorang ilmuwan
untuk mendapatkan penemuan, keinginan seorang atlet untuk mengungguli,
keinginan seorang yogi untuk manunggal dalam keesaan dengan Brahman,
itu adalah kekuatan keinginan yang sama, berubah melalui chakra yang
mereka bangkitkan, sebagai perkembangan jiwa. Itu adalah keinginan yang
sama yang menyeret para pecinta kehidupan rohani untuk mengenal Dia
yang di luar waktu dan wujud, Dia yang ada di luar ruang dan sebab.
Membuat mereka tumbuh menjadi orang-orang yang sabar, dalam kesabaran
tanpa batas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar