urddhvabahurviraumyesa na ca kacciçchrnoti me, dharmadarthaçca kamaçca sa kimartham na sevyate (Sarasamuccaya.11); nihan
mata kami mangke, manawai, manguwuh, mapitutur, ling mami, ikang artha,
kama, malamaken dharma juga ngulaha, haywa palangpang lawan dharma
mangkana ling mami, ndatan juga angrêngö ri haturnyan ewêh sang makolah
dharmasadhana, apan kunang hetunya; itulah sebabnya hamba,
melambai-lambai, berseru-seru mengingatkan, “dalam mencari artha dan
kama itu hendaklah senantiasa dilandasi dharma,” demikianlah kata
hamba. Namun demikian, tidak ada yang memperhatikannya dengan alasan
bahwa sangat sukar berbuat atau bertindak berlandaskan dharma. Apa
gerangan sebabnya?
Pada saat kita menyerukan kembali seruan Weda agar kita selalu teguh
di dalam menapaki jalan dharma, beragam tanggapan terlontar yang pada
intinya mengatakan sulit melaksanakan dharma secara utuh di
tengah-tengah tuntutan duniawi yang menghimpit, dan lebih sadis lagi
ada yang melontarkan nada sumbang kepada para pecinta kehidupan rohani
sebagai sekumpulan orang-orang dungu yang tidak bisa mengikuti
perkembangan jaman, sebagai sekumpulan orang-orang yang anti kemapanan
akibat keputusasaan di bidang ekonomi dan finansial, sebagai sekumpulan
orang-orang yang tidak rasional, dan sebagainya.
Namun di lain pihak, tidak jarang seruan-seruan tersebut menjadi
tabuh genderang yang membuatnya terjaga dari alam “mimpi” yang maya
dalam tidur lelapnya di atas kasur empuk kenikmatan duniawi, yang
ternyata tidak membuatnya beranjak ke mana-mana, hanya sedikit bergeser
ke kiri atau ke kanan di atas kasur, tetapi tidak pernah beranjak dari
tempat tidur. Tabuh genderang yang pada awalnya membuatnya terlonjak
kaget dan terjaga, degub jantung sedikit terpacu, merasa terganggu
kenikmatan tidur dengan hiasan mimpi indahnya, setelah kesadarannya
semakin pulih, dia menyadari ada banyak aktivitas dan tugas yang
menjadi kewajibannya harus dikerjakan dan diselesaikan. Orang yang
bertanggung jawab akan kewajibannya merasa berterima kasih karena telah
dibangunkan sebelum terlambat, bukannya membentak dan mengusir pihak
yang membuat terbangun lalu menata kembali selimut hangat di tubuhnya
agar dapat melanjutkan tidurnya dan menikmati mimpi-mimpi indahnya.
Alam duniawi ini disebut arcapada (alam wujud atau alam kewadagan) atau mayapada (alam
maya). Arcapada adalah mayapada, semua yang berwujud ini adalah maya,
tidak langgeng. Disebut tidak nyata karena ketidaklanggengannya. Agar
dapat menikmati alam yang lebih nyata (alam kehalusan) bahkan alam nyata (alam kelanggengan), kita harus mengasingkan diri secara spiritual.
Mendengar kata “pengasingan” sudah cukup membuat pikiran kita
menjadi tersiksa. Kenapa ini terasa begitu sulit dilakukan? Bisakah
kita hanya merenungkan hal-hal spiritual, senang berusaha meresapi
Brahman selama berjam-jam, sepanjang hari? Tetapi, jika rasa senang
dalam merenungkan hal-hal spiritual itu datang, kita akan terlepas dari
banyak beban keduniawian sampai jumlah tertentu dan mulai menimbulkan
proses internal alami melalui dan ke dalam pikiran eksternal kita.
Pikiran eksternal dipenuhi daya pikiran yang dibentuk oleh pengetahuan
dan pendapat orang lain. Pengetahuan pinjaman ini membungkus jiwa kita,
karena kebanyakan dari kita masih menggunakan kecerdasan seperti
anak-anak yang sering tidak melalui penyaringan yang memadai. Pendapat
mayoritas seringkali dipandang sebagai kebenaran, sama sekali tidak
terlintas dalam pikiran bahwa pengetahuan, pendapat atau pandangan umum
itu bisa saja salah, rehne kaprah tan nyana salah, karena
sudah lumrah tidak mengira itu salah. Oleh karena itu, masa pelepasan
dan pengasingan diri secara spiritual yang teratur atau pemisahan dari
dunia eksternal itu perlu.
Pada perayaan hari-hari besar keagamaan, kita melihat perubahan di
sisi luar, keceriaan umat, berbagai bentuk persembahan sebagai ungkapan
rasa bhakti, demikian semarak, menggembirakan, gamelan ditabuh memacu
semangat, dharmagita mengumandang, denting genta mengiringi aliran
mantra dari sumber telaga suci Saraswati mengikuti kelok relung sungai
kebhaktian, wangi kembang, dupa dan asap menyan menggiring rasa,
membuka mata hati, berusaha melihat kehadiran Brahman di sekeliling
kita, merasakan-Nya di seluruh rangkaian ritual dan peristiwa yang
terjadi di sana. Selama pemujaan dilaksanakan, kita berusaha untuk
merasakan-Nya, untuk mengalami pengalaman spiritual jauh lebih banyak
daripada selama kita melakukan aktivitas normal sehari-hari. Akhirnya,
sebagai usaha untuk kemajuan spiritual kita, kita memberi perhatian
yang lebih pula, kita mempersembahkan yang tebaik yang bisa kita
persembahkan, secara alami kita berharap mendapatkan suatu perbaikan
hidup dari apa yang telah kita lakukan, kemudian memberikan penilaian
pada pengalaman-pengalaman setiap hari yang kita alami, apakah
kelihatannya baik atau buruk, apakah menyenangkan atau menyakitkan. Ini
adalah pengalaman jiwa cukup dewasa yang melakukan jenis sadhana ini
secara teratur setelah mengambil komitmen tertentu, cukup kuat
memisahkan daya pikiran dari pandangan yang menyatakan dunia eksternal
sebagai realitas absolut. Pada saat kita melakukan pemujaan di Pura,
kita mengharapkan Brahman walaupun sekilas memandang diri kita dan apa
saja yang kita persembahkan, perilaku yang cukup dihormati oleh
orang-orang yang kita sucikan. Jika kita terus mengembangkan bhakti
kita, pandangan Brahman yang sekilas tadi pun akan terus tumbuh.
Brahman ada di dalam dan di luar diri kita, kenapa kita tidak
memuja-Nya yang ada di luar diri kita saja, apakah kita harus memuja
Brahman baik yang di dalam maupun yang di luar diri kita. Ya, menurut
filsafat Weda, itulah yang ideal, tetapi dari yang dua tadi secara
alami bergantung pada sifat alami penganutnya. Ada yang lebih semangat
memusatkan perhatian dan pikirannya pada Brahman dalam dhyana yoga
mereka, dan ada yang lebih semangat memusatkan perhatian dan pikirannya
yang cenderung pada pelaksanaan pemujaan di Pura atau tempat-tempat
yang disucikan lainnya yang disertai dengan berbagai jenis persembahan:
sesaji, musik, kidung, tari, ornamen, atau layanan selama pemujaan yang
dilaksanakan dengan penuh kegembiraan. Secara umum, yang dibangun umat
adalah melakukan keduanya secara seimbang antara kegembiraan dan
ketenangan.
Brahman ada di dalam semua jiwa. Dia ada di sana sebagai Realitas
yang tak berwujud, yang kita sebut Atman. Dia ada di sana sebagai
cahaya murni dan kesadaran yang meresap di setiap atom dari alam
semesta, yang kita sebut Satchidananda. Kita juga tahu bahwa Dia adalah
Sang Pencipta dari semua yang ada, dan Dia ada di semua ciptaan-Nya.
Jadi, secara intelektual kita yakin bahwa Brahman ada di dalam dan di
luar semua ciptaan-Nya, ada di dalam dan di luar alam semesta. Dari
keyakinan tersebut, kita melakukan perenungan mendalam yang panjang,
yang pada akhirnya menuntun kita pada Kesadaran Sejati, Kesadaran
Brahman.
Sifat alami umat dalam memuja Brahman dikembangkan melalui sadhana
dan tapa, dilakukan dalam hidup sekarang ini atau dalam hidup
sebelumnya. Kita harus memuja Brahman secara eksternal, merenung,
memikirkan Brahman yang tak terpikirkan, mewujudkan Brahman yang tak
berwujud, melayani Brahman yang tak butuh pelayanan, sampai kita
terdorong untuk duduk, menenangkan diri, masuk ke dalam jiwa kita,
berhenti berbicara, berhenti berpikir dan untuk memasuki energi agung
dari bhakti, kesetiaan atau ketaatan. Ini adalah cara kita
memperkembangkan, cara kita memajukan spiritualitas kita sepanjang
perjalanan menuju Brahman, menyelam lebih dalam dan lebih dalam lagi.
Semua orang harus memuja Brahman secara eksternal sebelum mendalami
pemujaan secara penuh dan sempurna. Kita tidak bisa mendalami pemujaan
secara penuh dan sempurna jika tidak diawali dengan penguasaan secara
eksternal.
Ketika permasalahan timbul dalam keluarga atau di tempat kerja dan
emosi muncul, itu hakekatnya lupa kepada Brahman. Itu jauh lebih mudah
terjadi pada orang yang selalu memandang perbedaan-perbedaan daripada
yang memandang semuanya sebagai sebuah keesaan dari ciptaan Brahman.
Jika emosi muncul, itu membutuhkan energi yang besar untuk mengingat
Brahman setiap saat, untuk menjaga aliran kasih Brahman. Kita lebih
sering melupakan-Nya. Kita mendapat pengaruh dari pikiran kita sendiri
dan orang lain. Mustahil kita bisa menyadari keesaan Brahman yang
bersemayam di semua wujud jika ego kita merasa diserang atau sakit
hati. Jauh lebih mudah melupakan Brahman daripada mengingat-Nya, dan
yang berkenaan dengan Brahman menjadi sesuatu yang tidak mengenakkan
bahkan menakutkan; padahal itu adalah manah (naluri pikiran)
kita sendiri dan angan-angan kita, daya pikiran nonreligius yang malah
seharusnya dikhawatirkan atau ditakuti. Itu adalah setan dalam diri
kita, pengacau yang menjadi sumber kesusahan dan kesulitan. Jika kita
ingin mengingat Brahman, mulailah dengan sedikit meluangkan waktu
secara teratur untuk mengabaikan “rasa diri” kita yang bersandarkan ahamkara (ego pikiran) dan manah (naluri pikiran), mengasingkan diri secara spiritual mengikuti “rasa jati”, ruang pikiran yang bersandarkan buddhi (akal budi pikiran) dan chitta (kesadaran pikiran) yang kita yakini dapat mengantar kita menuju kepada “jati murti”, keberadaan kita yang sejati, Atman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar