dambho darpo’fimansca
krodhah paarusyam eva ca,
ajnyanam ca abhijatasya
parta sampadam asurin.
(Bhagawad Gita.XVI.4).
Maksudnya: Sifat takabur atau berpura-pura, membangga-banggakan
diri, pembenci, kasar, mengagung-agungkan kewangsaannya, bodoh tanpa
ilmu pengetahuan oh Partha, itu adalah ciri-ciri orang yang tergolong
bersifat keraksasaan.
Menurut Bhagawad Gita XVI.4-5 ada dua kecenderungan sifat manusia
yaitu asuri sampad dan dewi sampad. Kecenderungan keraksasaan dan
kecenderungan kedewaan. Dua kecenderungan ini terjadi karena bertemunya
purusa dengan pradana yaitu unsur kejiwaan dan unsur kebendaan. Dari
purusa muncul kecenderungan kedewaan dari pradana muncul kecenderungan
keraksasaan. Akan menjadi positif apabila kecenderungan kedewaan
menguasai kecenderungan keraksasaan.
Ciri-ciri sifat keraksaan antara lain: dhambo yaitu suka
berpura-pura, darpo (sombong), abhima nasa (membangga-banggakan diri di
depan orang lain), krodha (pemarah, dengki dan pendendam), abhijatasya
(mengagung-agungkan kewangsaanya), parusia (berwatak keras dan
kasar)dan ajnyana (bodoh tanpa ilmu atau kena tujuh kegelapan).
Kalau kecenderungan keraksasaan yang mendominasi kecenderungan
kedewaan akan muncullah enam sifat keraksasaan yang negatif itu. Itulah
yang menjadi musuh yang paling besar umat manusia yang berada dalam
dirinya. Karena itu dalam Kekawin Nitisastra II.5 dinyatakan: ‘’Nora na
satru mangelewihane geleng hana ri hati’’. Artinya, tidak ada musuh
yang lebih hebat dari pada musuh yang ada dalam diri manusia.
Bangkitkan segala kekuatan spiritual untuk melawan musuh yang ada dalam
diri kita masing-masing. Jangan sebaliknya setiap ada masalah pada diri
kita terus mengkambing-hitamkan orang lain sebagai penyebab munculnya
masalah. Upayakan menganalisis terlebih dahulu, siapa sesungguhnya
penyebab utama munculnya masalah tersebut pada diri kita. Kalau memang
muncul dari ulah kita sendiri mengapa kita terlalu cepat menyalahkan
orang lain.
Dalam merayakan Hari Raya Galungan seyogianya ada upaya untuk
mensinergikan ilmu pengetahuan (patitis ikang Jnana Sandhi) untuk
mengatasi musuh yang berada dalam diri kita. Semaikanlah nilai-nilai
spiritualitas agama ke dalam lubuk hati kita sebagai umat manusia untuk
melawan sifat-sifat keraksasaan yang berada dalam diri manusia.
Sifat-sifat keraksasaan itulah sesunguhnya sebagai penyebab utama
kuatnya eksistensi adharma menggeser dharma. Dalam merayakan Galungan
sesungguhnya kita diingatkan agar senantiasa menciptakan kondisi diri
untuk semakin kuatnya kecenderungan dewi sampad atau sifat-sifat
kedewaan agar dominan dalam diri.
Sifat-sifat kedewaan itu menurut pustaka Bhagawad Gita XVI,5 antara
lain: Tejah (cekatan dan tegas dalam bersikap), ksama (pemaaf), dhrti
(teguh iman), sauca (suci lahir batin), adroha (bebas dari rasa benci),
natimanita (tak angkuh atau sombong). Enam sifat utama itulah yang
diingatkan oleh perayaan Galungan untuk senantiasa dibangkitkan.
Dominasi sifat-sifat kedewaan itu akan membawa masyarakat hatinya
“galang apadang” yaitu jiwa yang cerah sebagaimana dinyatakan dalam
Lontar Sunarigama tentang makna perayaan Galungan. Dengan kuatnya
kecenderungan kedewaan maka dharma pun akan senatiasa tegak dalam
kehidupan.
Untuk membangkitkan kecenderungan kedewaan ini bukanlah pekerjaan
yang mudah. Upaya harus dilakukan secara terus menerus. Tidak bisa
hanya dengan menghapalkan ajaran agama dengan membaca dan mendengarkan
dharma wacana. Hal itu harus diupayakan dalam seluruh penyelenggaraan
hidup ini. Dalam Bhagawad Gita VII.1 dinyatakan langkah yang wajib
dilakukan yaitu: Asakta manah yaitu meneguhkan konsentrasi pikiran,
yoga yunjana artinya sungguh-sungguh mempraktikan ajaran yoga.
Madawasraya yaitu selalu berlindung pada Tuhan. Asamsaya artinya tidak
ragu-ragu melakukan apa yang diyakini benar. Samagram artinya lakukan
semuanya itu dengan sepenuh hati.
Melakukan lima hal yang dianjurkan oleh Sri Krisna dalam pustaka
Bhagawad Gita itu harus dilatih terus menerus. Dalam melakukan hal itu
pasti ada ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan. Hadapilah hal itu
dengan teguh tidak mudah putus asa. Karena ciri orang kuat atau bala
tidak mudah sakit, tidak mudah putus asa, tidak mudah tersinggung,
tidak mudah marah, tidak mudah kecewa, tidak menuduh, tetap teguh dan
awas tawakal dengan berbagai permasalahan yang dihadapi. Karena itulah
Galungan dirayakan setiap enam bulan wuku, maksudnya agar jangan kita
lupa dan lengah memperbaiki diri setiap saat. Karena Butha Galungan
selalu mengintip kita semuanya. Bhuta Galungan itu meliputi Butha
Galungan, sifatnya buruk untuk mendorong kita gampang bertengkar. Buhta
Dungulan sifat buruk yang mendorong kita mau menang sendiri tidak mau
tahu kesusahan orang lain dan Butha Amangkurat sifat buruk yang haus
kekuasaan untuk tujuan yang sempit. Tiga Butha Galungan tersebut dewasa
ini masih sangat merajalela di dunia. Di mana-mana ada kerusuhan
berebut pengaruh agar menang dan tidak ikhlas kalah. Di mama-mana ada
orang yang haus akan kekuasaan. Demo kekerasan, ingin menang sendiri.
Masih ada yang mempertahankan adat istiadat yang tidak manusiawi. Ada
berbuat rusuh dengan mengatasnamakan agama. Ini menandakan masih
mendominasinya sifat-sifat keraksasaan dalam berbagai pihak.
Mereka-mereka itu tidak perlu dibenci dan dihujat. Kalau mereka
terbukti melanggar hukum, jatuhkan sanksi secara adil. Jangan memvonis
mereka dengan cara-cara yang tidak adil. Vonis yang tidak adil dan
tidak benar akan merusak dharma. Vonis yang adil dan benar justru akan
membuat dharma akan semakin tegak, yang dihukum dan yang menghukum akan
mendapatkan pahala mulia dari Tuhan. Demikian dinyatakan dalam Manawa
Dharmasastra. Yang penting sebarkan kasih sayang yang tulus kepada
semuanya.
Sumber: Bali Post
Tidak ada komentar:
Posting Komentar