BALI, 31 Januari 2012 (Bali Post) :
Rabu besok, 1 Februari 2012, masyarakat Hindu di Bali akan merayakan
hari raya Galungan. Karena berulang setiap enam bulan sekali, kesannya
seperti rutitas saja. Tetapi tentu dari segi pemaknaan, kita tidak
boleh memandang sebagai rutinitas belaka. Secara sosial, pemahaman
Galungan sebagai hal yang bersifat rutin sangat berbahaya karena pesan
yang dimaknakan dalam hari tersebut akan jauh menyimpang. Pemahaman
akan Galungan sebagai hal yang bersifat rutin akan membuat manusia
Hindu (Bali) sekadar membuat penjor, mempersiapkan makanan atau sekadar
datang ke pura saja. Setelah itu selesai karena hal yang bersifat rutin
sudah dikerjakan, untuk selanjutnya begitu lagi terulang enam bulan
berikutnya. Sekali lagi, ini berbahaya. Padahal, makna hari raya
Galungan adalah merayakan kemenangan dharma melawan
adharma, kemenangan
kebaikan melawan keburukan, kebenaran melawan ketidakbenaran. Itu yang
harus dimaknai secara mendalam. Artinya, kebenaran atau kebaikan itu
harus kita refleksikan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita mampu
memaknai Galungan dengan cara demikian, pengaruhnya sangat luas. Katika
kita bekerja keras melaksanakan pekerjaan kita utuk mencapai tujuan
yang benar, itu juga sebuah kebaikan dan kebenaran. Agama selalu
mengajarkan dan memberi petunjuk kepada kita untuk bekerja keras berada
dalam jalur yang benar. Galungan, dengan demikian, juga bisa kita
maknai sebagai patokan untuk berperilaku.
Jika kita memaknai Galungan secara benar, tidak akan mungkin orang
berperilaku koruptif karena perilaku itu bukanlah hal yang benar dan
baik. Bagi seorang pelajar, pemaknaan Galungan jelas menciptakan kerja
keras untuk mencapai cita-cita, dan kejujuran (tidak curang dalam
ujian), rajin bersekolah dan taat akan peraturan institusi pendidikan
yang ada. Semua ini adalah perilaku-perilaku yang benar dan baik.
Yang kita khawatirkan sekarang, justru yang terjadi sebaliknya. Di
tengah kompetisi hidup yang begitu ketat, banyak yang tidak memahami
arti Galungan sehingga perilaku hidupnya banyak yang menyimpang. Orang
tidak lagi mengindahkan tata krama hidup, sehingga kestabilan sosial
menjadi terganggu. Ini akibat pemaknaan hari raya yang salah.
Barangkali penyimpangan-penyimpangan sosial yang terjadi diakibatkan
oleh pemaknaan Galungan yang sekadar rutinitas belaka. Itulah yang kita
lihat mengkhawatirkan belakangan ini.
Kita lihat ada anggota masyarakat yang jor-joran membuat penjor,
saling berlomba untuk membuat penjor yang mahal sehingga aksesorisnya
justru kacau. Atau mereka juga jor-joran memakai pakaian mahal ke pura
sehingga mirip kontes pakaian adat. Sekali lagi kita tekankan, jika
memang terjadi hal seperti ini, segeralah hentikan segala yang berbau
jor-joran tersebut karena itu bukan memperlihatkan makna Galungan yang
sesungguhnya. Perilaku jor-joran ini tidak baik, tidak benar, dan
justru menimbulkan potensi konflik. Ini sungguh merugikan bagi
masyarakat Bali.
Kita menginginkan pelaksanaan upacara yang sederhana tetapi
menyentuh makna yang terdalam. Dengan demikian, hari raya Galungan
mempunyai pesan yang sangat universal. Ia tidak saja bisa dipelajarai
dan dihayati oleh mereka yang beragama Hindu (di Bali) tetapi juga oleh
agama-agama lain di berbagai belahan dunia ini. Seperti juga halnya
hari raya Nyepi, di mana kini telah disadari bagaimana pentingnya kita
mengekang kelobaan diri di zaman yang serba cepat ini, dengan hari raya
Galungan kita ditekankan untuk selalu berbuat baik dan benar, tidak
membuat konflik, tidak membuat gaduh dan selalu memberikan inspirasi
positif kepada masyarakat.
Kita juga diingatkan bahwa untuk menjadi manusia baik itu memerlukan
perjuangan dan kerja keras. Itulah barangkali yang membuat kita setiap
enam bulan selalu diingatkan untuk merayakan hari raya Galungan.
Mari lindungi diri kita dari perilaku-perilaku yang jahat agar hidup selalu bisa dinikmati dengan kualitas yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar