Di dalam buku Kridha Grahita (anonim), sebuah tulisan spiritual Jawa, disebutkan: Katentreman
utawa kajaten ya alame manungsa sejati. Temening anane alam iku tetep
langgeng, nyataning alam iku tumrap kang ngalami. Iku alam maha suci,
wajibe alam suci mung nampani jiwa kang wus tentrem lan suci. Sapa
tentrem utawa suci, ditampa; yen ora, ditulak; ora preduli dumeh angel
lakon-lakonane, ora preduli dupeh netepi pranatan donya. Alam suci mung
wajib nampani jiwa kang suci. Artinya: Ketenteraman atau
kesejatian adalah alamnya manusia sejati. Benar adanya alam tersebut
tetap langgeng, nyatanya alam tersebut bagi yang mengalami. Itu alam
maha suci, kewajiban alam suci hanya menerima jiwa yang sudah tenteram
dan suci. Siapa tenteram atau suci, diterima; kalau tidak, ditolak;
tidak peduli kendatipun sudah menjalani hal-hal yang sulit, tidak
peduli kendatipun sudah memenuhi aturan-aturan duniawi. Alam suci hanya
wajib menerima jiwa yang suci.
Menyukai sesuatu yang bagus, tidak suka kepada sesuatu yang buruk,
senang karena kaya dan terhormat, mengeluh karena sengsara, berbesar
hati karena terpandang, berkecil hati dicela atau dihina, menyayangi
anak dan istri, mengasihi saudara dan sahabat, benci kepada musuh, dan
sebagainya. Itu kodrat alam indriyawi. Untuk mencapai Kesejatian,
manusia harus mengalahkan kodrat indriyawinya, maksudnya: Tidak
mengeluh dalam kesengsaraan, tidak menyesal karena kehilangan, tidak
susah hati terhadap kematian, tidak marah karena dihina, tidak
mengkhawatirkan kemelaratan atau menemui bahaya, tidak berbangga hati
karena disanjung, tidak kepincut kepada barang bagus, tidak membenci
sesuatu yang buruk, tidak berbangga hati karena kaya dan terhormat,
tidak senang dan juga tidak malas bekerja, tidak mencari-cari pekerjaan
yang tidak semestinya, tidak menolak jika ditambahi pekerjaan yang
menjadi kewajiban walaupun berat, tidak menginginkan pahala dari apa
yang dikerjakan, sabar dan diam jika tidak diharuskan bekerja, selalu
berusaha, berhasil maupun tidak dirasakan sama saja. Singkatnya,
tenteram, teguh sentosa, tak tergoyahkan atau “diam”, demikian jalannya
manusia bisa kembali kepada alam ketenteraman, keheningan yang ada di
luar kodrat duniawi, di luar alam pikiran.
Pada tahap awal, sebelum sadhana dilaksanakan, pikiran dihasut oleh
arus karma dan mungkin ditakuti dengan ketidakmampuannya untuk memahami
atau memenuhi dharmanya. Dalam keadaan terhasut ini dunia nampak suram,
membosankan, atau gelap, menakutkan, dan tidak akan dapat membayangkan,
menggambarkan atau memahami Brahman ada di mana-mana, Brahman hanya ada
di pura atau di tempat-tempat yang disucikan lainnya. “Bagaimana bisa
Brahman yang maha agung berada dalam diri kita yang serba terbatas ini.”
Pada tahapan kedua, bila pikiran diistirahatkan dengan damai dalam
pemenuhan dari suatu pola kehidupan, dharma, ketika ia memiliki
kedewasaan cukup untuk mengendalikan dan melewati arus karma melalui
pemusatan pikiran, pemujaan dan perenungan suci, di sini Brahman nampak
sebagai penolong dalam semua proses yang dilalui, tetapi paling kuat
dirasakan ketika perilaku religius tersebut dilakukan di utama mandala
pura atau tempat-tempat yang disucikan lainnya.
Pada tahapan ketiga, Brahman yang dirasakan sebagai penolong dalam
semua proses yang dilalui terus membantu kesulitan dari pikiran yang
rawan dari pengaruh rasa diri yang didominasi oleh ahamkara (ego) dan
manah (naluri). Dengan mengendapnya rasa diri memunculkan rasa jati,
alam pikiran yang didominasi oleh buddhi yang menuntunnya kepada chitta
(kesadaran murni pikiran). Brahman tidak lagi dicari-cari di luar diri,
Brahman dinikmati sebagai sesuatu yang utama, dimensi integral dari
diri, Hidup dari hidup, kekuatan dan pancaran energi alam semesta. Pada
tahapan ini, ketenangan di sisi dalam lebih besar dari gangguan di sisi
luar, sehingga mampu untuk masuk lebih dalam dan lebih dalam lagi,
memasuki kesadaran penuh kebahagiaan, ini dengan jelas dirasakan dan
kenikmatan spiritual dialami bahwa Brahman meresap di dalam diri kita.
Mata batin mereka yang mengalaminya akan semakin tajam, dan dalam hidup
kesehariannya mereka menjadi saksi, mengamati bahwa kebanyakan orang
tidak melihat Brahman di dalam diri mereka sendiri. Para rishi Weda dan
mereka yang tercerahkan telah menemukan rahasia gaib itu. Brahman di
dalam menjadi kesadaran jiwa sebagai Kebenaran-Pengetahuan-Kebahagiaan,
Satchidananda, energi perekat yang meresap dalam segala hal secara
bersamaan. Pikiran menjadi tenang, tampak damai di mana saja, dan
kebahagiaan sempurna demikian kuat, demikian ajeg, tidak tergoyahkan
lagi. Pada tahapan ini, mata batin menjadi terbuka, benar-benar
merasakan kehadiran Brahman yang sama pada setiap dan semua makhluk
hidup, meresap di dalam setiap atom dari alam semesta sebagai
keagungan-Nya, pendukung utama dari segala yang ada. Hanya ketika hal
ini benar-benar dialami, seseorang dapat menyatakan dengan
sebenar-benarnya bahwa Brahman ada di dalam manusia dan manusia ada di
dalam Brahman.
Tahu filsafat tanpa pengalaman langsung bagaikan tahu tempat yang
jauh dan indah lewat televisi, atau sekedar membaca dari sebuah buku,
atau mendengar dari pernyataan orang lain yang pernah ke sana dan
bersenang-senang di sana. Itu bukan pengalaman sama sekali.
Satu-satunya yang bisa disebut pengalaman adalah pengalaman kita
sendiri. Kita tidak akan mencapai jnana, kearifan spiritual, sebelum
kita mengalaminya sendiri, meskipun kita telah membaca seribu Weda,
kita harus mengenali sendiri Atman kita. Sumber-sumber pengetahuan
spiritual hanyalah penuntun bagi kita, orang tidak akan bisa mengenali
Atman hanya dengan banyak membaca Weda.
Bagaimana mungkin kita dengan pikiran kita yang terbatas bisa
memahami yang tak terbatas, bisa memahami Brahman? Bagaimana bisa
secara intelektual kita meliputi sesuatu yang maha agung seperti
Brahman? Brahman adalah pencipta dan sumber segala ilmu pengetahuan,
pencipta daya pikiran. Dia adalah arsitek agung alam semesta. Lalu,
jika Brahman menciptakan daya pikiran, bagaimana mungkin daya pikiran
memahami Dia? Para rishi meyakinkan, itu mungkin, dan mereka meyakinkan
karena itu telah terlaksana, mereka telah mengalaminya, dan mereka
memberi tuntunan berdasarkan hasil pengalaman yang telah dialami. Daya
pikiran harus mengekspansi, kesadaran harus melampaui rasional pikiran
dan melihat langsung dari pengetahuan kesadaran super.
Sebaiknya kita mencoba untuk melihat Brahman di mana-mana. Selalu
mencoba. Meyakini keyakinan yang diberikan oleh para rishi Weda, bahwa
itu akan terlaksana. Dia akan datang. Siapa lagi yang bisa
memperlihatkan Atman kita kepada kita selain Dia? Perluasan dari Atman
yang ada di dalam diri kita tiada lain adalah Brahman. Dia dapat
memberi kita kecukupan hidup. Dia dapat memberi kita kesehatan. Dia
dapat memberi semua yang kita butuhkan bahkan yang kita inginkan.
Tetapi untuk memuja-Nya sebagai yang tak berwujud membawa pikiran ke
dalam ruang tak terbatas. Pikiran hanya dapat meliputi hal ini dengan
mengidentifikasi. Pikiran tidak bisa mengidentifikasi Kebenaran dalam
bentuk halus ini yang menunjukkan Brahman melampaui pikiran—di luar
bentuk, waktu dan ruang. Tetapi dia ada di dalam diri kita semua secara
serentak, hanya saja terselubung oleh kedunguan kita, terselimuti oleh
ego, yang merasa Brahman ada di tempat yang terpisah dengan identitas
personal. Dia ada di dalam diri kita saat ini juga, bukan di masa depan
yang fiktif. Hanya saja kita harus menghilangkan (mengabaikan) sisi
maya dari kita, menghapus semua karma, kita akan menemukan Dia yang
abadi. Ego adalah hal terakhir yang akan pergi. Itu adalah belenggu
terakhir yang harus ditaklukkan.
Para rishi Weda menyatakan, sekali perbudakan ego dipatahkan, akan
nampak bahwa misteri Brahman adalah meliputi segalanya. Dia adalah
segala apa yang diciptakan-Nya. Brahman meresap pada ciptaan-Nya secara
konstan sebagai Cahaya Kasih Murni dari pikiran setiap orang, dan pada
tahapan ini Brahman masih memiliki suatu wujud.
Hanya dari sisi keabadian kita dapat mengatakan semua yang berwujud
adalah maya. Tetapi dari sisi kita yang maya, semua yang maya adalah
nyata. Tidak mungkin pikiran kita yang maya mengatakan bahwa nasi yang
kita makan adalah nasi bohongan, lauk yang kita makan adalah lauk
bohongan. Dari sudut pandang keabadian, diri sejati kita ini bukan
badan, pikiran, atau emosi kita. Tetapi, bagi alam maya kita, suami,
istri, anak, pacar, dan tetangga kita adalah orang beneran, bukan
orang-orangan (maya). Dengan senantiasa memancarkan Cahaya Kasih Murni
dari pikiran kita kepada semua yang maya kita akan menemukan Yang Abadi.
Di alam kehalusan, Brahman memiliki wujud yang sangat indah, serupa
dengan wujud seorang manusia, tetapi wujud manusia yang benar-benar
sempurna. Dia berpikir. Dia berbicara. Dia berjalan. Dia membuat
keputusan. Kita beruntung memuja Brahman yang agung yang meresap di
dalam segalanya, dan masih melampaui ini Dia meresap di luar segalanya,
di luar alam semesta, di alam kelanggengan, Dia yang berbentuk dan di
luar bentuk sekaligus, Dia adalah Atman di dalam jiwa kita. Jadi, semua
dari kita, para pencari Kebenaran yang esa, kita memiliki Agama Weda
yang agung yang menawarkan dan menuntun kita pada pengalaman Brahman di
dalam wujud dan di luar wujud. Alangkah beruntung kita ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar