Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi "Pasek Dukuh Bunga Asahduren": Membumikan Simbol Galungan pada Tataran Sosial

Minggu, 03 Juni 2012

Membumikan Simbol Galungan pada Tataran Sosial

BALI, 31 Januari 2012 (Bali Post) :
Oleh I Gusti Ketut Widana
Apa pun yang namanya simbol adalah sebatas alat, piranti atau media komunikatif, informatif sekaligus imperatif (ajakan) untuk bagaimana menyingkap makna di balik simbol itu lalu mengimplementasikannya ke dalam bentuk perilaku. Pada level teoretis, simbol adalah semacam tanda atau penanda yang menggerakkan pikiran untuk tidak semata-mata berhenti pada tingkatan pengetahuan, tetapi lebih penting lagi mewujudnyatakannya ke dalam tataran perilaku, yang oleh Mead dalam Ritzer (2007) dikatakan ada dua (2) jenis, yaitu perilaku lahiriah (yang sebenarnya) dan perilaku tersembunyi (simbol dan makna).
Dalam konteks Galungan, korelasi perilaku lahiriah yang tampak menonjol masih bergerak di seputaran perilaku tersembunyi lewat prosesi ritual yang harus diakui masih stagnan konseptual, dan belum mantap terekspresi ke dalam konteks perilaku unggul di tataran sosial. Padahal filosofi Galungan itu sendiri sarat simbol signifikansi, yang seharusnya mampu menstimulus umat Hindu untuk terus berjuang menegakkan
dharma agar tidak hanya menang di saat Galungan saja, sementara keseharian hidupnya begitu akrab dengan semangat adharma. Maka tidak salah jika dikatakan, praktik ritual Galungan sejatinya baru mencapai tahapan sidhakarya karena mampu melaksanakannya hingga selesai. Sedangkan pencapaian tujuan (sidhaning don) masih jauh dari harapan.
Tujuan dimaksud adalah tatkala ekspresi simbolik ritualitas bergerak dinamik membangkitkan solidaritas sosial (kolegial, komunal), lalu meningkat ke arah perbaikan mental (menjadi lebih positif, konstruktif), makin tumbuhnya akhlak bermoral (berbudi pekerti luhur) dan memuncak pada pencapaian kesadaran spiritual (sadar akan jati diri). Hal ini sejalan dengan pandangan Blumer (2008), salah satu tokoh teori interaksionisme simbolik, dikatakan bahwa manusia adalah aktor yang sadar dan reflektif, yang menyatukan objek-objek yang diketahuinya melalui apa yang disebut self indication, yaitu proses komunikasi (lewat simbol) yang sedang berjalan di mana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna dan memikirkan untuk berperilaku berdasarkan makna itu.
Korelasi Positif
Dengan demikian, aktivitas ritual, termasuk Galungan akan mempunyai korelasi positif dengan peningkatan kualitas umat, tidak semata-mata dalam konsep sraddha bhakti, tetapi lebih diharapkan lagi makin membumi ke dalam bentuk perilaku unggul, mulia dan berguna bagi kepentingan bersama di tengah masyarakat. Bagaimana pun, seperti dikatakan Groome (2001), agama dengan praktik ritualnya sesungguhnya merupakan proses yang mengatur umat untuk memasuki suatu kehidupan yang bukan telah mapan, tetapi yang harus masih dibentuk lagi oleh umat itu sendiri. Sehingga tujuan akhir hidup berkeagamaan adalah terjadinya perubahan tepatnya perbaikan diri, mulai dari yang mula-mula menyentuh ranah pengetahuan (kognitif) lalu meningkat ke pembentukan sikap (attitude) dan akhirnya mengejawantah di kancah perilaku unggul (psikomotorik).
Mengaitkannya dengan konsep Tri Kerangka Agama Hindu, dapat digambarkan, hakikat ritual sebenarnya tidak lebih sebagai simbolisasi tataran filosofis (tattwa) ke dalam praktik yadnya (upacara) yang diharapkan terimplementasi ke dalam tatanan etika (susila). Ibarat tumbuhan, elemen tattwa (substansi ajaran) itu adalah pohonnya, praktik upacara/ritual (unsur materi) adalah bunganya, sedangkan bagian susila/etika (esensi) adalah buahnya.
Dalam konteks Galungan, secara filosofis telah mengamanatkan kemenangan dharma atas adharma, lalu bagaimana realitas sosialnya, mengingat makin banyaknya terjadi perilaku umat Hindu (Bali) yang mendekonstruksi tataran konsep. Mulai dari perusakan alam lingkungan lewat eksplorasi dan eksploitasi sumber daya hayati demi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk kepentingan investasi ekonomi, meski harus mengalahkan kelestarian ekologi. Lalu kian merebaknya konflik sosial-adat menyangkut persoalan yang bersinggungan dengan pura, laba, setra, mandala, wangsa, dan krama. Belum lagi terkait persoalan atau kasus kriminal yang makin lazim dilakoni krama Bali (Hindu), dari tindak kekerasan, perkelahian, pemerkosaan, pencurian (termasuk pratima) sampai ke tingkat pembunuhan.
Padahal menurut Gandhi, filosof besar Hindu, ”keberagamaan kita seharusnya meliputi segenap kehidupan yang tercermin pada setiap perilaku kita. Agama, dengan praktik keagamaannya, termasuk dengan cara ritual (yadnya) bukanlah semacam sektarianisme yang membiarkan diri kita terkungkung ke dalam batas-batas simbolik semata”. Akan tetapi pada kenyataannya, disadari atau tidak, praktik ritual yadnya tak terkecuali Galungan, tampaknya telah ”memenjarakan” Tuhan sebatas simbolisasi nyaris tanpa internaliasi makna yang sepatutnya kemudian terekspresi ke dalam bentuk perilaku-perilaku ‘’sadar diri”, seperti melaksanakan ritual Galungan dengan kebersahajaan, bebas dari segala bentuk pesta (miras, bazar ala kafe, dan judi), memeragakan perilaku hidup manyama braya, selalu bersikap sopan-santun dalam pergaulan, menumbuhkembangkan mental positif (disiplin, etos kerja tinggi), mematuhi etika kesusilaan, menaati norma-norma (hukum dan agama) dan mereflkeksikan kesadaran spiritual dalam bentuk kesadaran sosial dengan selalu berusaha membuat senang dan bahagianya orang lain: gumaweaken sukanikanang wong len.
Penulis, dosen Unhi Denpasar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar