BALI, 31 Januari 2012 (Bali Post) :
Oleh I Gusti Ketut Widana
Apa pun yang namanya simbol adalah sebatas alat, piranti atau media
komunikatif, informatif sekaligus imperatif (ajakan) untuk bagaimana
menyingkap makna di balik simbol itu lalu mengimplementasikannya ke
dalam bentuk perilaku. Pada level teoretis, simbol adalah semacam tanda
atau penanda yang menggerakkan pikiran untuk tidak semata-mata berhenti
pada tingkatan pengetahuan, tetapi lebih penting lagi
mewujudnyatakannya ke dalam tataran perilaku, yang oleh Mead dalam
Ritzer (2007) dikatakan ada dua (2) jenis, yaitu perilaku lahiriah
(yang sebenarnya) dan perilaku tersembunyi (simbol dan makna).
Dalam konteks Galungan, korelasi perilaku lahiriah yang tampak
menonjol masih bergerak di seputaran perilaku tersembunyi lewat prosesi
ritual yang harus diakui masih stagnan konseptual, dan belum mantap
terekspresi ke dalam konteks perilaku unggul di tataran sosial. Padahal
filosofi Galungan itu sendiri sarat simbol signifikansi, yang
seharusnya mampu menstimulus umat Hindu untuk terus berjuang menegakkan
dharma agar tidak hanya menang di saat Galungan saja, sementara
keseharian hidupnya begitu akrab dengan semangat adharma. Maka tidak
salah jika dikatakan, praktik ritual Galungan sejatinya baru mencapai
tahapan sidhakarya karena mampu melaksanakannya hingga selesai.
Sedangkan pencapaian tujuan (sidhaning don) masih jauh dari harapan.
Tujuan dimaksud adalah tatkala ekspresi simbolik ritualitas bergerak
dinamik membangkitkan solidaritas sosial (kolegial, komunal), lalu
meningkat ke arah perbaikan mental (menjadi lebih positif,
konstruktif), makin tumbuhnya akhlak bermoral (berbudi pekerti luhur)
dan memuncak pada pencapaian kesadaran spiritual (sadar akan jati
diri). Hal ini sejalan dengan pandangan Blumer (2008), salah satu tokoh
teori interaksionisme simbolik, dikatakan bahwa manusia adalah aktor
yang sadar dan reflektif, yang menyatukan objek-objek yang diketahuinya
melalui apa yang disebut self indication, yaitu proses komunikasi
(lewat simbol) yang sedang berjalan di mana individu mengetahui
sesuatu, menilainya, memberinya makna dan memikirkan untuk berperilaku
berdasarkan makna itu.
Korelasi Positif
Dengan demikian, aktivitas ritual, termasuk Galungan akan mempunyai
korelasi positif dengan peningkatan kualitas umat, tidak semata-mata
dalam konsep sraddha bhakti, tetapi lebih diharapkan lagi makin membumi
ke dalam bentuk perilaku unggul, mulia dan berguna bagi kepentingan
bersama di tengah masyarakat. Bagaimana pun, seperti dikatakan Groome
(2001), agama dengan praktik ritualnya sesungguhnya merupakan proses
yang mengatur umat untuk memasuki suatu kehidupan yang bukan telah
mapan, tetapi yang harus masih dibentuk lagi oleh umat itu sendiri.
Sehingga tujuan akhir hidup berkeagamaan adalah terjadinya perubahan
tepatnya perbaikan diri, mulai dari yang mula-mula menyentuh ranah
pengetahuan (kognitif) lalu meningkat ke pembentukan sikap (attitude)
dan akhirnya mengejawantah di kancah perilaku unggul (psikomotorik).
Mengaitkannya dengan konsep Tri Kerangka Agama Hindu, dapat
digambarkan, hakikat ritual sebenarnya tidak lebih sebagai simbolisasi
tataran filosofis (tattwa) ke dalam praktik yadnya (upacara) yang
diharapkan terimplementasi ke dalam tatanan etika (susila). Ibarat
tumbuhan, elemen tattwa (substansi ajaran) itu adalah pohonnya, praktik
upacara/ritual (unsur materi) adalah bunganya, sedangkan bagian
susila/etika (esensi) adalah buahnya.
Dalam konteks Galungan, secara filosofis telah mengamanatkan
kemenangan dharma atas adharma, lalu bagaimana realitas sosialnya,
mengingat makin banyaknya terjadi perilaku umat Hindu (Bali) yang
mendekonstruksi tataran konsep. Mulai dari perusakan alam lingkungan
lewat eksplorasi dan eksploitasi sumber daya hayati demi kebutuhan
hidup sehari-hari termasuk kepentingan investasi ekonomi, meski harus
mengalahkan kelestarian ekologi. Lalu kian merebaknya konflik
sosial-adat menyangkut persoalan yang bersinggungan dengan pura, laba,
setra, mandala, wangsa, dan krama. Belum lagi terkait persoalan atau
kasus kriminal yang makin lazim dilakoni krama Bali (Hindu), dari
tindak kekerasan, perkelahian, pemerkosaan, pencurian (termasuk
pratima) sampai ke tingkat pembunuhan.
Padahal menurut Gandhi, filosof besar Hindu, ”keberagamaan kita
seharusnya meliputi segenap kehidupan yang tercermin pada setiap
perilaku kita. Agama, dengan praktik keagamaannya, termasuk dengan cara
ritual (yadnya) bukanlah semacam sektarianisme yang membiarkan diri
kita terkungkung ke dalam batas-batas simbolik semata”. Akan tetapi
pada kenyataannya, disadari atau tidak, praktik ritual yadnya tak
terkecuali Galungan, tampaknya telah ”memenjarakan” Tuhan sebatas
simbolisasi nyaris tanpa internaliasi makna yang sepatutnya kemudian
terekspresi ke dalam bentuk perilaku-perilaku ‘’sadar diri”, seperti
melaksanakan ritual Galungan dengan kebersahajaan, bebas dari segala
bentuk pesta (miras, bazar ala kafe, dan judi), memeragakan perilaku
hidup manyama braya, selalu bersikap sopan-santun dalam pergaulan,
menumbuhkembangkan mental positif (disiplin, etos kerja tinggi),
mematuhi etika kesusilaan, menaati norma-norma (hukum dan agama) dan
mereflkeksikan kesadaran spiritual dalam bentuk kesadaran sosial dengan
selalu berusaha membuat senang dan bahagianya orang lain: gumaweaken
sukanikanang wong len.
Penulis, dosen Unhi Denpasar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar