Kebanyakan orang menggunakan alasan untuk membenarkan dirinya
mengomeli pasangannya sehubungan dengan apa yang mereka tidak suka pada
pasangannya, atau mempergunjingkan tentang cacat cela orang lain. Ini
bukanlah spirit satya. Kita tidak ingin mengekspos kesalahan-kesalahan,
keburukan-keburukan atau aib orang lain. konfrontasi seperti itu dapat
menimbulkan perdebatan dan pertengkaran. Sebenarnya, tak seorangpun
tahu kesalahan-kesalahan orang lain sebaik pengetahuannya tentang
kesalahan yang ada pada dirinya sendiri. Tetapi, kebanyakan orang
senang mengekspos kesalahan orang lain dan berusaha menutupi kesalahan
sendiri. Semut di seberang tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak.
Kesalahan kecil orang lain diekspos, kesalahan besar diri sendiri
diabaikan. Ketakutan dan keringkihan hati sering mempengaruhi,
sementara tidak ada motivasi dan niat baik untuk memperbaiki kebiasaan
itu. Oleh karena itu, membangun niat suci, berpandangan positif,
membangun paradigma baru, mengalihkan konsentrasi ke dalam diri sendiri
dan membiarkan penyembuhan internal terjadi. Ini adalah kebijaksanaan.
Ini adalah ahimsa, tanpa kekerasan. Ini adalah satya, kebenaran,
kejujuran atas dasar kebijaksanaan. Para arif bijaksana sangat
berhati-hati agar tidak sampai menghina atau mencela orang lain, bahkan
dalam hal
menyampaikan kebenaran, yang mana sering dilakukan oleh para
penceramah murahan yang mengaku mengusung kebenaran dengan sibuk
menghina dan mencaci-maki orang atau pihak yang tidak disenanginya.
Para bhakta yang bijaksana menyadari bahwa ada kebaikan dan keburukan
di dalam diri setiap orang. Di sana ada emosi yang senantiasa naik dan
turun, mental yang silih berganti dihiasi kegembiraan dan diterpa
depresi, ketabahan dan keputusasaan. Mari kita fokus pada hal-hal yang
positif. Di sini ahimsa dan satya bekerja bersama-sama.
Para pencari Brahman, pencari kebenaran yang sejati, harus
senantiasa mengusahakan agar jiwanya menjadi suci. Jiwa yang suci
adalah jiwa yang benar-benar tidak ada dusta di dalamnya. Semasih ada
dusta di dalam diri kita, kita tidak akan pernah diterima di alam
kesucian, artinya: kita tidak akan pernah bisa mencapai Kesadaran
Brahman.
Bagaimana cara kita mengetahui bahwa kita sedang melangkah menuju
Kebenaran tertinggi sementara dengan tebalnya selimut kebodohan yang
penuh dengan kedustaan menyelimuti diri kita dan membutakan kita akan
Kebenaran yang dituju. Pustaka-pustaka suci menyimpan tuntunan rahasia
yang perlu diungkap kerahasiaannya. Siapa yang akan mengungkapnya
selain si pemilik rahasia itu sendiri?
Bagaimana mungkin kita bisa mengungkap rahasia Kebenaran sementara
kita belum mengenal si pemilik rahasia, Sang Pengungkap Kebenaran. Di
sinilah pentingnya seorang siddhaguru bagi seorang pencari Kebenaran. Siddhaguru atau satguru adalah guru yang benar-benar telah mencapai pencerahan batin, mereka yang sudah mengenal Sang Guru Sejati. Ya, siddhaguru inilah yang menjadi “pembuka pintu” bagi kita yang masih ada dalam tahap pencarian ini. Para siddhaguru inilah
yang akan mengungkap rahasia tuntunan spiritual yang tersimpan di dalam
Veda. Oleh karena itu, di tengah-tengah Kaliyuga dengan selimut avidya yang sangat tebal ini, memilih seorang siddhaguru sebagai penuntun mutlak diperlukan.
Sangat sulit mencari seorang siddhaguru, guru yang benar-benar telah
mencapai pencerahan batin. Namun apabila para pencari Brahman, para
penekun spiritual, telah berketetapan hati menentukan seorang guru yang
sudah tentu diyakini sebagai seorang siddhaguru, guru yang patut digugu
dan ditiru, dipercaya dan diteladani, mereka harus benar-benar jujur
kepada gurunya. Guru senantiasa menekankan kualitas hubungan yang baik
di dalam komunitas pencari Kebenaran. Guru berwenang memberi wejangan,
menegur atau memberi gemblengan yang harus dijalankan dalam rangka
meningkatkan kualitas kesadaran spiritual para sisyanya. Sebagaimana
halnya para pandhita yang konsentrasi kepada satu kebenaran yang ada pada sang guru nabe. Kebenaran terpusat pada sang guru, ini diputuskan oleh para sisya karena
mereka telah menentukan dia sebagai siddhagurunya. Dengan
dikonsentrasikannya kebenaran kepada sang siddhaguru, ini berarti
antara sisya satu dengan yang lainnya tidak diperkenankan
memberikan gemblengan rohani tertentu, menganalisa spiritualitas
seseorang atas nama kebenaran, yang mana hal ini dapat dipastikan akan
menimbulkan berbagai bentuk pertentangan yang merugikan bahkan
menyakitkan, yang melanggar ajaran ahimsa: ajaran yang menuntun kita agar tidak menyakiti atau merugikan orang lain dan juga diri sendiri.
Para siddhaguru hanya berkonsentrasi kepada peningkatan
kualitas kesadaran spiritual para sisyanya, tanpa pernah mencampuri
pemahaman, keyakinan dan pengamalan yang ada di pihak lain. Mereka
sangat memahami keaneka-ragaman ini, tetap menyemangati siapa saja yang
percaya kepada Brahman. Mereka menghormati fakta bahwa Kebenaran adalah
esa, jalan untuk mencapainya (marga yoga) sangat banyak.
Mereka sangat memahami bahwa jalan yang mereka tempuh bukanlah jalan
yang ekslusif sebagai satu-satunya jalan menuju Kebenaran bagi semua.
Para orang tua memiliki kebenaran bersama anak-anaknya, kebenaran
yang terbatas menurut tingkat kebijaksanaan yang dimiliki. Dan, sudah
menjadi tugas orang tua untuk membentuk anak-anaknya menjadi pemuda
yang bertanggungjawab sebagai anggota dari komunitas keluarga. Demikian
pula halnya para guru spiritual dengan sisyanya. Guru bertanggungjawab
untuk membentuk sisyanya menjadi individu yang solid dari komunitas
pencari Kebenaran. Siddhaguru adalah orang tua dari para orang tua dan
anak-anak mereka yang dipercayakan untuk belajar dan berlatih,
mengikuti segala bentuk gemblengan dari sang guru. Namun demikian, para
siddhaguru tidak benar-benar inklusif , setelah sisyanya dianggap cukup
“dewasa”, pintu rahasia itu telah terbuka, sisya akan dilepas untuk
memasuki pintu yang telah terbuka mengikuti kemauan bebas spiritualnya
dan mengalami pertumbuhan seutuhnya dalam dirinya. Ini adalah kunci
dari kemajuan masyarakat pecinta hidup kerohanian.
Pengamalan niyama, untuk memperkuat kualitas satya (kejujuran) kita adalah dengan melaksanakan tapa;
membangun sadhana dengan berbagai bentuk pengorbanan, baik materi,
tenaga dan pikiran, menguji ketahanan mental, menebus
kesalahan-kesalahan. Jika kita mendapati diri kita tidak jujur,
mengkhianati suatu harapan yang kita berikan kepada seseorang,
tenggelamkan diri ke dalam tapa sadhana. Lakukan sebagai
sebuah “penebusan” yang panjang, bertobat, dan bertobat, dan lakukan
pencermatan atas pertobatan tersebut. Kita akan segera mendapati bahwa
menjadi orang jujur itu jauh lebih mudah daripada tapa sadhana, “bersepeda” itu jauh lebih mudah daripada “belajar bersepeda”, dan
pencermatan akan membuat kita mampu melewati dan segera mengendalikan
diri yang sering tanpa kita sadari ada dalam keadaan lepas kendali.
Kejujuran adalah kesempurnaan dari kebenaran. Kebenaran itu sendiri
adalah kesempurnaan. Apabila kesempurnaan berhasil diraih, kebenaran
akan ditemukan, dan spirit dari satya dan ahimsa meresap dalam diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar