naarumtudah syaad artu’pi na
paradroha karmadhih
yayasyodwijate waca
naalokyam taamudirayet.
(Manawa Dharmasastra II.161)
Maksudnya: Walaupun dalam kemarahan dan kesedihan, janganlah
menggunakan kata-kata kasar yang dapat menyakiti hati orang lain baik
dengan pikiran dan perilaku. Jangan mengeluarkan kata-kata yang membuat
orang lain takut atau marah pada kita. Hal itu akan membuat kita
semakin jauh dari rasa bahagia, apalagi sorga.
Dalam era demokrasi dewasa ini setiap orang dijamin kemerdekaannya
secara hukum untuk menyampaikan pendapat atau aspirasinya. Kemerdekaan
itu bukanlah kebebasan tanpa batas. Kemerdekaan itu adalah kebebasan
yang dibatasi oleh hukum dan etika yang bermoral luhur. Sarasamuscaya
73 menyatakan ada sepuluh yang membatasi pikiran, perkataan dan
perilaku yang disebut Dasa Karmapatha. Pikiran dibatasi dengan tiga
batas, perkataan dengan empat batas dan prilaku dengan tiga batas.
Khusus ucapan itu yang paling banyak dibatasi yaitu dengan empat batas.
Dari lidah jangan ada terucap kata-kata yang mengandung niat jahat atau
Ujara Ahala. Lidah jangan mengeluarkan kata-kata fitnah atau Ujar
Pisuna. Jangan keluar ucapan bohong atau Ujar Mithia dan ucapan keras
dan kasar atau Ujar Apergas.
Dahulu penduduk dunia masih sedikit dan setiap orang juga mempunyai
keinginan dan kepentingan yang juga sedikit. Dahulu dirasakan hidup
masih sangat lapang baik secara duniawi maupun secara rokhani. Dewasa
ini jumlah penduduk dunia semakin padat konon sudah mencapai tujuh
miliar jiwa. Jumlah penduduk yang semakin banyak ini dengan keinginan
dan kepentingan yang semakin banyak juga. Hal itu menyebabkan sangat
dirasakan hidup dewasa ini semakin berdesak-desakan secara fisik,
material maupun secara sosial psikologis.
Pejabat publik seperti raja zaman dahulu bisa hidup bersenang-senang
karena aspirasi rakyatnya tidak begitu mendesak sang raja. Dewasa ini
pejabat publik tidak bisa mengistimewakan dirinya hidup
bersenang-senang menghumbar nafsu seperti raja-raja zaman dahulu.
Apalagi ada jaminan hukum bahwa rakyat bebas menyampaikan pendapat dan
aspirasinya. Dahulu raja itu dilayani oleh rakyat. Malahan rakyat
merasa bangga kalau dapat menjadi pelayan raja. Meskipun dalam ajaran
sastra Hindu, kewajiban utama raja itu adalah membahagiakan rakyatnya.
Dalam Kekawin Ramayana dinyatakan: ‘’Gumawe sukanikang rat kininkin
nira.’’ Artinya, membahagiakan rakyat selalu menjadi usaha sang raja.
Dalam paradigma demokrasi, pejabat publiklah yang dituntut melayani
rakyat. Rakyat yang kurang terdidik dan terlatih lebih banyak paham
dengan hak-haknya sebagai warga negara. Padahal hak itu muncul dengan
mendahulukan kewajiban. Di samping itu ada sementara pejabat publik
yang masih bergaya seperti raja. Bukan menjadi pelayan rakyat, malahan
ingin dilayani rakyat. Pejabat publik dewasa ini sesungguhnya sudah ada
yang berubah, menjadi pelayan rakyat, meskipun belum begitu signifikan.
Karena alotnya perubahan sikap pejabat publik, maka rakyat pun ada yang
kurang sabar. Mereka yang kurang sabar inilah yang rawan melakukan demo
yang anarkhis dan brutal. Pemuka agama dan kaum intelektual seyogianya
menjadi penengah antara rakyat yang kurang sabar dengan para pejabat
publik yang kurang hirau pada aspirasi rakyat. Alangkah indahnya kalau
mereka yang berstatus mahasiswa juga menjadi mediator yang arif
bijaksana menghubungkan aspirasi rakyat dengan pejabat publik, sehingga
kebijakan pejabat publik benar-benar berdasarkan aspirasi rakyat yang
dibenarkan oleh konstitusi. Dalam demo yang tanpa kekerasan dan brutal
inilah mahasiswa seyogianya menunjukkan kadar kebijaksanaannya sebagai
calon intelektual harapan bangsa. Demo akan indah kalau mampu mencegah
mereka yang dalam tanda kutip disebut “pahlawan”, maksudnya karena
diupah mau melawan. Memang pada zaman Kali ini dalam sastra Hindu
disebutkan tidak ada yang lebih utama dari uang. Namun bagi mereka yang
memiliki kadar spiritual Ketuhanannya tinggi, uang itu tidak
mendominasi dirinya. Tetapi uang itulah yang didominasi untuk
mengamalkan kebenaran dan kemajuan hidup orang banyak. Artinya, pada
zaman Kali ini orang spiritual itu bukannya menjauhi uang, tetapi
menggunakan uang sebagai alat untuk mensukseskan Catur Purusa Artha.
Dalam ajaran Hindu, uang itu juga disebut Artha. Kata Artha dalam
bahasa Sansekerta artinya tujuan. Karena uang itu adalah alat untuk
mensukseskan tercapainya tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha.
Uang yang digunakan untuk melakukan provokasi politik kotor adalah
Adharma. Memang ada terdengar kabar konon ada demo yang dibiayai pihak
tertentu untuk tujuan politik kotor. Hal ini tentunya tidak mudah
dibuktikan secara hukum. Namun demo yang demikian itu perlu diwaspadai
adanya. Karena dalam keadaan kepepet mungkin ada orang yang bisa
dibayar untuk melakukan demo. Semoga hal ini tidak benar terjadi dalam
perkembangan demokrasi di Indonesia. Karena demokrasi itu adalah suatu
sistim hidup bersama dalam suatu wadah negara yang memang menjadi
kebutuhan hidup di zaman post modern dewasa ini.
Demo yang sesuai dengan hukum dan etika moral adalah demo yang tanpa
kata-kata yang menyakitkan. Karena kata-kata kasar yang menyakitkan
akan manjauhkan kita dari hidup yang bahagia. Mari bangun tradisi demo
sebagai wadah demokrasi yang elegan sesuai dengan aturan hukum dan
etika moral yang berlaku. Dalam Nitisastra V.3 dinyatakan bahwa karena
kata-kata, orang bisa mencapai kebahagiaan (wasita nimitanta manemu
Laksmi). Karena kata-kata kita juga bisa menemukan ajal (wasita
nimitanta pati kapangguh). Karena kata-kata kita bisa menemukan
kedukaan (wasita nimitanta manemu duhkha). Karena kata-kata kita bisa
menambah sahabat (wasita nimitanta manemu mitra). Dari Nitisastra ini
kita dapat arahan yang sangat mulia agar janganlah kita berkata asal
berkata. Apalagi dalam pengamalan sistem hidup berdemokrasi yang
menyangkut kepetingan rakyat banyak, marilah kita berhati-hati
mengeluarkan ucapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar