BALI, 19 Februari 2012 (Bali Post) :
Weda, sabda suci Tuhan dengan syair suci yang disebut Mantra,
berjumlah sebanyak 20.389 Mantra. Isinya adalah Sanatana Dharma atau
kebenaran yang kekal abadi. Artinya, isi ajaran Weda itu tidak akan
pernah lekang atau usang oleh ruang dan waktu. Kapan saja dan di mana
saja kebenaran Weda itu akan tetap berlaku. Karena isi Weda itu
universal. Maka, berbagai pustaka Hindu menyatakan bahwa Weda itu harus
ditradisikan sesuai dengan keberadaan zaman dan umat penganut Weda.
Agar selalu dapat mengikuti kebutuhan dan perkembangan zaman maka
Sarasamuscaya 260 menyatakan dengan istilah Weda Abhiyasa. Artinya,
Weda itu hendaknya diterapkan menjadi kebiasaan hidup sehingga menjadi
adat istiadat yang membudaya diikuti oleh umat penganut Weda. Demikian
juga dalam Manawa Dharmasastra II,12 dan 18 ada istilah Sadacara yang
artinya juga sama yaitu mentradisikan kebenaran
Weda. Sadacara berasal
dari bahasa Sansekerta, dari kata Sat dan Acara. Sat itu adalah Satya
yang artinya kebenaran Weda dan Acara artinya tradisi yang baik. Dalam
Sarasamuscaya 177 dinyatakan ‘’Acara ngarania prawrti kawarah sang
hyang aji’’. Artinya, Acara adalah pelaksanaan ajaran pustaka suci.
Dari pemahaman ini Sadacara adalah ajaran Weda yang Sanatana Dharma itu
diterapkan menjadi tradisi suci. Agar selalu sesuai dengan kebutuhan
zaman maka tradisi Weda atau Sadacara itu haruslah selalu berubah
mengikuti zaman. Hal inilah oleh Swami Siwananda disebut dengan istilah
Nutana. Dalam bahasa Sansekerta kata Nutana artinya muda dan segar.
Yang selalu muda dan segar dari Weda atau Agama Hindu itu adalah
kemasan adat budayanya, bukan substansinya. Contoh dalam konteks itu
bagaimana manusia senantiasa berganti pakaian dan juga perkembangan
mental dan fisik, tetapi orangnya tetap sama. Waktu masih bayi
berpakaian bayi, sudah agak besar sedikit berpakaian yang disebut
bercelana monyet. Demikian selanjutnya sampai dewasa terus pakaian
untuk membukus badan terus berubah-ubah. Secara fisik dan mental juga
terus berubah. Dari yang rendah semakin tinggi, kemudian mencapai batas
ketinggian maksimum. Ada yang fisiknya dari kurus terus semakin gemuk,
ada yang sebaliknya dari gemuk semakin kurus. Demikian juga mental,
awalnya penakut, lama-lama menjadi pemberani. Dulu tak takut tidur
sendiri, lama-kelamaan menjadi berani. Awalnya malu bicara di depan
umum, lama-lama menjadi berani. Dari kurang dewasa terus menjadi
semakin dewasa. Itulah perubahan fisik dan mental. Hal itu dapat
diumpamakan dalam penerapan kebenaran ajaran Weda. Inti yang diterapkan
tetap sama yaitu Dharma yang Sanatana itu. Cuma kemasannya adat
budayanya yang berbeda-beda dari zaman ke zaman. Demikian juga akan
berbeda menurut tempat di mana Weda diterapkan. Inti Weda itu sabda
Tuhan, kemasan adat budayanya buatan manusia. Karena buatan manusia,
tentunya adat budaya itu juga tidak langgeng. Adat budaya itu dibatasi
oleh ruang dan waktu. Agar selalu menjadi menarik, adat budaya itu
harus dipelihara dengan sebaik-baiknya. Layaknya memelihara rumah atau
pakaian. Sewaktu-waktu dibersihkan, dalam waktu yang lain ada yang
direhab. Demikian juga pakaian. Kalau kotor dicuci, disetrika dan
seterusnya. Kalau sudah tidak pas lagi baju itu diganti karena
pemakainya sudah bertambah besar. Demikian jugalah halnya dengan adat
budaya beragama Hindu. Harusnya terus menerus dilakukan upaya Nutana
yaitu meremajakan adat budaya itu agar sesuai dengan perjalanan zaman.
Yang penting isi di dalamnya sama yaitu Sanatana Dharma inti sari Weda.
Agar intisari Weda diterima diberbagai ruang dan waktu maka Manawa
Dharma Sastra VII.10 menetapkan adanya lima pertimbangan dalam
mengamalkan Weda agar Dharma yang kekal abadi itu sukses mencapai
tujuan menuntun umat menuju hidup yang Jagathita dan Moksha (Dharma
Sidhi artha). Lima pertimbangan itu adalah Iksha, Sakti, Desa, Kala dan
Tattwa. Iksha artinya pandangan atau Drsta di masing-masing ruang dan
waktu harus dijadikan dasar pertimbangan menerapkan Dharma. Sakti
artinya kemampuan umat di masing-masing ruang dan waktu. Desa artinya
aturan rokhani setempat yang sudah berlaku baik. Kala adalah waktu saat
Dharma itu diamalkan. Ada waktu Kerta Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga
dan Kali Yuga. Menurut Manawa Dharmasastra I.86 prioritas beragama
setiap zaman berbeda-beda. Mengamalkan Dharma sesuaikanlah dengan
perubahan Yuga tersebut agar sukses. Yang utama adalah Tattwa yaitu
inti kebenaran Weda tidak berubah. Artinya intisari Weda yaitu Tattwa
yang dikermas oleh Iksha, Sakti, Desa dan Kala tetap sama.
Untuk memelihara adat budaya ini sudah ada konsep Tri Kona dan Tri
Guna. Karena itu di setiap Desa Pakraman di Bali ada Pura Kahyangan
Tiga untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti.
Dewa Tri Murti itu adalah Dewa Tri Kona dan Tri Guna. Adat budaya agar
selalu muda dan segar harus ada proses Utpati, Stithi dan Pralina.
Utpati adalah proses yang kreatif untuk menciptakan sesuatu yang
dibutuhkan zaman. Stithi adalah harus ada upaya untuk memelihara dan
melindungi adat dan budaya yang masih relevan dengan zaman. Pralina
adalah upaya untuk mengakhiri menggantikan atau merehabilitasi suatu
adat dan budaya yang sudah usang dan menghambat kemajuan zaman. Untuk
melakukan proses Tri Kona itu tidaklah mudah, karena itu mohonlah
bimbingan rokhani dengan memuja Tuhan sebagai Dewa Tri Murti agar daya
spiritual itu mampu mendukung kecerdasan intelektual menganalisis upaya
Tri Kona tersebut. Pemujaan Tuhan sebagai Dewa Tri Murti itu juga untuk
menguatkan Tri Guna. Tri Guna yang kuat apabila Guna Sattwam dan Guna
Rajah seimbang menguasai pikiran atau Citta. Guna Sattwam mendorong
untuk berniat mulia sedangkan Guna Rajah mendorong untuk melakaukan
niat mulia itu dengan nyata. Dengan demikian Guna Tamah dapat terkuasai
tidak membuat orang menjadi malas. Dewa Tri Murti dalam pustaka Matsya
Purana 53.Sloka 68 dan 69 ada dinyatakan adalah Guna Awatara. Artinya
Tuhan Yang Mahaesa itu turun ke Bhuwana Agung menjadi Sang Hyang Tri
Murti sebagai Guna Awatara untuk menuntun umat manusia mengendalikan
Tri Gunanya. Memuja Dewa Wisnu adalah sebagai penuntun mengendalikan
Guna Sattwam. Memuja Dewa Brahma sebagai penuntun mengendalikan Guna
Rajah dan memuja Dewa Siwa atau Rudra untuk mengendalikan Guna Tamas.
Dengan Tri Guna terkendali maka perubahan yang dilakukan menuju
perubahan yang semakin baik dan benar.
Adat budaya beragama Hindu akan senantiasa dinamis positif muda dan
segar atau Nutana apabila dibina dengan konsep Tri Kona dan Tri Guna
dengan memuja Tuhan sebagai Tri Murti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar