Judul Buku, Pancaran Bhagavata
Oleh, Bhagawan Sri Sathya Sai Baba
Upacara
pemberian nama sang pangeran menimbulkan kegembiraan yang besar pada
warga kerajaan, penghuni istana, dan anggota keluarga raja. Tetapi
Yudhistira, sang sulung diantara Pandawa bersaudara, merasa bahwa ia
harus melakukan sesuatu lebih dari itu; ia tidak merasa puas dengan
sekadar pesta yang meriah. Sore itu juga ia memanggil para sesepuh,
cendikiawan, pendeta, para raja bawahannya, dan tokoh-tokoh masyarakat
agar datang menghadiri rapat; ia mohon agar Sri Krishna memimpin
pertemuan itu dan menganugerahkan kegembiraan kepada semuanya. Maharesi
Wyasa dan Resi Kripa juga hadir.
Yudhistira datang ke ruang
sidang, berdiri diam beberapa saat di hadapan hadirin, kemudian bersujud
di kaki Bhagawan Krishna dan Maharesi Wyasa. Setelah itu ia berpaling
kepada para raja, cendikiawan, dan
tokoh-tokoh masyarakat sambil
berkata, “Saya telah berhasil mengalahkan musuh dengan pertolongan,
kerja sama, dan doa restu Anda sekalian, maupun dengan rahmat Bhagawan
yang hadir disini, serta berkat restu para resi dan kaum bijak yang
telah menyemayamkan Bhagawan dalam hati mereka. Dengan kemenangan ini
kita dapat memperoleh kembali kerajaan kita yang hilang. Juga dengan
rahmat dan berkat ini cahaya harapan telah bersinar dalam hati kita yang
digelapkan oleh rasa putus asa memikirkan kelangsungan dinasti ini.
Garis keturunan Pandawa akan diteruskan oleh pangeran yang hari ini oleh
Bhagawan dinamai Parikshit.
“Sementara semua ini membuat saya
senang, saya harus menyatakan di hadapan Anda sekalian bahwa saya
dilanda kesedihan bila merenungkannya dari segi yang lain. Saya telah
melakukan dosa yang tidak terhitung lagi, membunuh sanak saudara
sendiri. Saya merasa bahwa saya harus melakukan suatu penebusan untuk
hal ini; jika tidak, tidak akan ada kebahagiaan bagi saya, bagi dinasti
saya, atau rakyat saya. Karena itu, saya ingin menggunakan kesempatan
ini untuk mohon nasihat Anda sekalian mengenai hal ini. Diantara Anda
sekalian banyak yang telah mengetahui kenyataan sejati dan mencapai
brahmajnana; Maharesi Wyasa juga hadir disini. Saya berharap Anda
menyarankan suatu acara penebusan agar saya dapat membebaskan diri dari
timbunan dosa yang menggunung amat besar yang terkumpul akibat
peperangan ini.
Ketika Yudhistira mengajukan permasalahan ini
dengan penuh kerendahan hati dan amat menyesal, Sri Krishna berkata,
“Yudhistira, Anda tersohor sebagai Dharmaraja; seharusnya anda memahami
dharma. Anda memahami seluk beluk dharma dan moralitas, tentang
keadilan, tentang perbuatan yang benar dan salah. Karena itu, saya heran
mengapa Anda merasa sedih atas peperangan dan kemenangan ini. Tidakkah
Anda tahu bahwa ksatria tidak berbuat dosa jika ia membinasakan musuh
bersenjata yang datang ke medan perang untuk membunuh? Apapun juga luka,
penderitaan, atau kerugian yang ditimpakan di medan laga daam
pertempuran dengan musuh yang bersenjata, bebas dari dosa. Merpakan
dharma ksatrialah untuk mengangkat senjata dan berjuang sampai saat
terakhir-tanpa memiirkan dirinya sendiri-untuk menyelamatkan negaranya.
Anda hanya melakukan darma Anda. Bagaimana mungkin karma “kegiatan” yang
mengikuti darma ini bisa berdosa? Tidak pantaslah meragukan hal ini dan
berputus asa. Dosa tidak dapat menyentuh, mengepung, atau mengganggu
Anda. Seharusnya Anda bergembira atas perayaan pemberian nama angeran
yang baru lahir, dan bukannya merasa takut pada bencana khayalan serta
berusaha menebus dosa yang tidak ada. Tenanglah, berbahagialah.”
Wyasa
pun bangkit dari kursinya dan berkata kepada Raja. “Perbuatan yang
berdosa dan tercela tidak dapat dielakkan dalam peperangan. Hal ini
jangan menyebabkan rasa sedih. Tujuan utama perang adalah melindungi
darma dari musuh-musuhnya. Jika hal itu selalu diingat, dosa tidak akan
mempengaruhi para pejuang. Luka yang membusuk harus ditangani dengan
pisau; operasi yang dilakukan bukanlah dosa. Jika seorang dokter
menguasai ilmu bedah dan tahu bahwa seseorang membutuhkan pertolongan,
tetapi tidak melakukan pembedahan untuk menyelamatkannya, maka dokter
itu berbuat dosa. Demikian pula bila seorang ksatria tahu bahwa musuh
merupakan sumber ketidakadilan, kekejaman teror, dan kekejian, tetapi
dokter bedah tidak mau memotong bisul itu, walaupun tahu cara
pengobatannya karena ia tidak mau menggunakan pisau (ahli bedah itu
adalah ksatria), maka ia berdosa karena berdiam diri, bukannya karena
menggunakan pedang. Dharmaraja, Anda berbicara dalam pengaruh maya. Saya
dapat mengerti jika orang lain yang kurang arif memiliki keraguan
seperti ini, tetapi saya heran bagaimana Anda bisa mengkhawatirkan dosa
khayalan ini?
Meskipun demikian, jiak perkataan saya kurang
meyakinkan saya dapat menyarakan suatu jalan keluar. Cara itu akan
menghapuskan segala kekhawatiran dan ketakutan. Beberapa raja zaman
dahulu melakukannya setelah peperangan selesai untuk menghapuskan
akibat-akibat dosa. Upacara itu adalah aswamedha “pengurbanan kuda”.
Jika Anda ingin, Anda juga dapat melakukan ritus ini sebagai upacara
penebusan. Tidak ada keberatan untuk itu. Tetapi percayalah kepada saya,
tanpa upacara penebusan pun Anda bebas dari dosa. Karena iman Anda
goyah, saya menyarankan upacara ini demi kepuasan Anda.” Setelah
menyatakan hal ini, Wyasa duduk kembali.
Mendengar ini, semua
sesepuh, cendikiawan, dan tokoh masyarakat serentak bangkit serta
bersoran sorai menyambut saran Maharesi Wyasa. Mereka berteriak, “Jaya,
jaya.” Untuk menunjukkan persetujuan dan penghargaan. Mereka berseru,
“Oh, alangkah baiknya, alangkah penting.” Dan mereka merestui usaha
Dharmaraja untuk membebaskan diri dari dosa-dosa akibat perang. Tetapi
Dharmaraja masih dibebani kesedihan; ia tidak bebas dari rasa takut.
Matanya berkaca-kaca
Ia memohon kepada hadirin dengan amat
memilukan, “Betapapun besar usaha Anda sekalian untuk menyatakan saya
tidak berdosa, saya tidak yakin. Bagaimanapun juga pikiran dan perasaan
saya tidak dapat menerima alasan Anda. Para raja yang melakukan
peperangan mungkin telah membersihkan dirinya dengan aswamedha yaga. Itu
hanya peperangan biasa yang lazim terjadi. Tetapi kasus saya sangat
luar biasa. Dosa saya tiga kali lebih berat karena :
(1) saya telah membunuh sanak dan keluarga.
(2) saya telah membunuh para sesepuh yang suci seperti Bhisma serta Drona, dan
(3) saya telah membunuh banyak raja. Aduh, mengapa begini nasib saya! Betapa mengerikan perbuatan saya!”
“Tidak
ada penguasa lain yang bersalah melakukan kejahatan sebesar ini. Bukan
hanya satu, melainkan tiga aswamedha yaga harus dilangsungkan untuk
melenyapkan beban ini. Hanya dengan demikianlah hati saya akan damai.
Hanya dengan demikianlah dinasti saya dapat berbahagia dan aman
sejahtera. Hanya setelah itulah administrasi kerajaan saya dan aman dan
berfaedah. Hal ini sebaiknya diterima oleh Maharesi Wyasa dan para
sesepuh serta resi lainnya.”
Ketika Yudhistira mengucapkan hal
itu, air matanya menitik di pipinya, bibirnya gemetar karena sedih, dan
tubuhnya membungkuk dibebani penyesalan. Melihat hal ini setiap resi
luluh hatinya dan merasa iba. Warga kerajaan tergerak oleh simpati.
Wyasa dan bahka Waasudewa (Sri Krishna) pun terharu. Banyak pendeta
tanpa sadar menitikkan air mata. Hadirin terdiam keheranan. Dalam
sekejap semua megnerti betapa lembut hati Dharmaraja. Saudara-saudaranya
yang lain, Bhima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa berdiri mengatupkan kedua
tangan dengan sikap hormat dan rendah hati, menanti suatu petuah yang
akan melegakan dari Bhagawan yang duduk di singgasana kepemimpinan.
Dengan
serentak sidang menyetujui tiga aswamedha yaga untuk meringankan
kesedihan Dharmaraja. Seorang resi menyampaikn pendapat hadirin sebagai
berikut, “Kami tidak akan menghalangi keinginan Baginda. Kami
menerimanya dengan sepenuh hati. Kami akan menyelenggarakan yaga itu
sebaik-baiknya sesuai dengan petunjuk shastra hingga ke upacara yang
terakhir karena kami mengutamakan kedamaian hati Baginda lebih dari
apapun juga lainnya. Kami bersedia melakukan apa pun juga yang akan
memuaskan hati baginda.” Pernyataan ini disetujui oleh setiap orang yang
hadir.
Mendengar ini Dharmaraja berkata, “Saya sungguh bahagia,
saya merasa sangat bahagia.” Ia menyampaikan rasa terima kasih atas
tawaran kerja sama ini. Ia berjalan ke tempat duduk Krishna dan Wyasa
dan bersujud di kaki mereka. Dipegangnya kaki Krishna sambil memohon, “
Oh Madhusudana, tidakah Paduka mendengar doa saya? Tidakah Paduka lihat
kesedihan saya? Saya mohon agar Paduka sudi menghadiri yaga yang akan
diselenggarakan, agar Paduka menjamin pahalannya bagi saya, dan
menyelamatkan saya dari beban dosa ini.”
Krishna tersenyum dan
mengangkat Yudhistira dari lantai di hadapan Beliau kemudian berkata,
“Dharmaraja! Patilah saya akan mengabulkan doa Anda. Tetapi Anda telah
menimpakan beban yang luar biasa beratnya pada bahu Anda sendiri. Yaga
ini bukanlah masalah kecil. Apalagi penyelanggaranya adalah raja
kenamaan, Dharmaraja! Itu berarti yaga tersebut harus diselenggarakan
dalam ukuran yang sesuai dengan status Anda. Saya tahu Anda tidak
memiliki dana untuk kegiatan yang sangat mahal ini. Para raja hanya
memperoleh uang dari rakyatnya. Tidaklah terpuji jika uang yang diperas
dari mereka dihabiskan untuk Yajna. Hanya uang yang diperoleh dengan
baik dapat digunakan untuk upacara suci semacam itu, jika tidak, usaha
itu bukannya membawa kebaikan tetapi bahkan akan mendatangkan
kemalangan. Para raja bawahan anda pun tidak dapat menolong karena
mereka pun menjadi melarat akibat perang yang baru usai. Jelas mereka
tidak mempunyai apapun untuk disumbangkan. Setelah mengetahui semua ini,
bagaimana Anda dapat menyetujui penyelenggaraan Aswamedha secara
berturut-turut? Saya heran bagaimana Anda bisa begitu nekad dalam
keadaan sesulit ini. Anda juga telah mengemukakan di depan umum dalam
pertemuan yang dihadiri oleh para tokoh agung serta terkenal ini. Anda
bahkan tidak memberitahu terlebih dahulu tentang gagasan yang mahal ini.
Jika Anda memberitahukan terlebih dahulu kita akan dapat merencanakan
suatu jalan keluar. Ah, ini belum terlambat sekali. Kita akan mengambil
keputusan setelah mempertimbangkannya lagi. Tidak mengapa jika hal ini
menyebabkan sedikit kelambatan.”
Dharmaraja mendengarkan
perkataan Bhagawan Sri Krishna dan tertawa geli. “Bhagawan, saya tahu
Paduka bermain drama dengan saya. Saya tidak pernah memutuskan suatu
tindakan tanpa mempertimbangkan lebih dahulu. Saya juga tidak pernah
merisaukan uang atau sarana yang diperlukan. Bila pelindung kami adalah
Bhagawan, sumber rahmat yang tiada habisnya, mengapa saya harus merasa
cemas tentang apa saja? Jika saya memiliki kalpataru “pohon yang
memeunuhi segala keinginan” di kebun saya, mengapa saya harus merasa
cemas mencari akar dan umbi-umbian? Bhagawan yang Mahakuasa yang telah
melindungi kami bagaikan kelopak mata melindungi biji mata selama
bertahun-tahun yang mengerikan ini pastilah tidak akan memiarkan kami
dalam keadaan ini.”
“Bagi Paduka yang dapat menghembuskan
pegunungan maha besar menjadi debu, kerikil kecil ini sama sekali bukan
masalah. Padukalah harta saya, perbendaharaan saya. Paduka adalah napas
saya. Apapun Paduka katakan, saya tidak akan ragu. Seluruh kekuatan dan
harta saya hanyaah Paduka. Saya serahkan segala beban saya, termasuk
beban pemerintaan dan beban baru penyelenggaraan tiga yaga ini pada kaki
paduka. Paduka dapat melakukan apa saya sekehendak Paduka. Mungkin
Paduka menilai perkataan saya dan membatalkan yaga. Saya tidak khawatir.
Saya selalu senang apapun yang Paduka lakukan. Semuanya terserah pada
kehendak Paduka, bukan saya.”
Bila Tuhan bersemayam dalam hati,
tentu saja tidak diperlukan permohonan khusus. Krishna terharu; Beliau
mengangkat Dharmaraja dan membantunya bangkit. “Tidak, saya hanya
bergurau untuk menguji iman dan bakti Anda. Saya hendak memperlihatkan
kepada rakyat Anda, betapa teguh kepercayaan Anda kepada saya. Anda
tidak perlu mencemaskan apa pun juga. Keinginan Anda akan terkabul. Bila
Anda mengikuti petunjuk saya, dengan mudah Anda akan memperoleh uang
yang diperlukan untuk penyelenggaraan yaga tersebut. Anda dapat
memperolehnya tanpa mengganggu para raja dan memeraws rakyat.”
Mendengar
ini, Dharmaraja merasa gembira. Ia berkata, “Bhagawan, kami akan
menghormati perintah Paduka.” Kemudian Krishna berkata, “Dengarlah. Pada
zaman dahulu seorang maharaja bernama Marut menyelenggarakan suatu yaga
sedemikian rupa sehingga sampai sekarang pun tidak ada yang dapat
menyamainya. Balairung tempat yaga itu dilangsungkan dan setiap benda
yang ada hubungannya dengan upacara tersebut dibuat dari emas. Batu bata
dari emas diberikan sebagai hadiah kepada para pendeta yang memimpin
upacara, dan bukannya sapi yang diberikan melainkan patung sapi yang
terbuat dari emas. Demikian juga bukan tanah yang diberikan melainkan
piring-piring emas! Para brahmin tidak sanggup mengangkutnya pulang
karena itu, mereka hanya membawa sebanyak yang dapat mereka pikul.
Selebihnya mereka buang begitu saja. Potongan-potongan emas itu kini ada
dalam jumlah yang besar untuk yaga yang akan Anda selenggarakan. Anda
dapat mengambilnya.”
Dharmaraja tidak setuju; ia cemas dan merasa
keberatan. Katanya, “Bhagawan, emas itu milik orang-orang yang menerima
hadiah tersebut. Bagaimana saya dapat mnggunakannya tanpa izin mereka?”
Krishna menjawab, “Mereka telah membuangnya dengan sadar sepenuhnya
akan apa yang mreka lakukan dan apa yang mereka buang. Sekarang mereka
sudah tiada. Keturunan mereka sama sekali tidak mengetahui adanya harta
ini. Emas itu kini terkubur di daam tanah.
Ingatlah bahwa segala
harta di dalam tanah yang tidak ada pemiliknya merupakan milik raja yang
menguasai wilayah itu. Bila raja akan mengambilnya, tiada seorang pun
berhak menentang. Bawalah segera harta itu dan siapkan penyelenggaraan
yaga,” perintah Sri Krishna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar