APA difinisi ngayah itu? Seorang tokoh
adat menyebutkan, ngayah adalah kerja bakti untuk berbagai keperluan,
apakah urusan ritual keagamaan atau pun masalah sosial kemasyarakatan.
Kalau sudah disebut sebagai ngayah maka siapa pun yang terlibat tidak
mendapatkan upah. Ini kerja gratis.
Namun, tidak demikian untuk krama banjar
adat. Menjadi krama banjar adat, kalau tidak ikut ngayah akan kena
sanksi berupa denda. Besarnya denda tidak seragam di masing-masing
banjar adat. Juga tergantung jenis ngayah itu, apakah memperbaiki
lingkungan, bekerja menyiapkan sarana upacara, menjenguk
Yang lebih unik lagi, warga adat bukannya
takut membayar denda, tetapi takut akan berapa kali kena denda. Jadi,
bukan tergantung nilai uangnya, tergantung pada berapa kali absen
ngayah. Jika dianggap keterlaluan absennya, meskipun semua denda
dibayar, warga adat itu bisa dikucilkan dari krama banjar. Pengucilan
pada tingkat yang paling sadis adalah kena kasepekang. Kalau itu
terjadi, berbahaya sekali, jika suatu saat ada keluarganya yang
meninggal dunia tak bisa dikuburkan, setidaknya dipersulit. Karena
kuburan yang ada di desa bukan kuburan umum atau kuburan milik agama,
sebagaimana di luar Bali. Kuburan di Bali adalah milik adat.
Beratnya beban adat ini sangat dirasakan
oleh warga yang merantau. Bayangkanlah, kalau ngayah itu seringkali
dilakukan, warga adat yang mencari nafkah di rantau akan kelabakan. Dia
harus memilih, mau pulang ke desanya untuk ngayah atau absen ngayah.
Absen ngayah bisa kena denda dan bisa kena sanksi sosial, rajin ngayah
bisa kena damprat di tempat kerja karena berarti bolos.
Ketika krama Bali masih hidup dalam
budaya agraris, urusan adat seperti ini tak jadi masalah, karena
pekerjaannya sama, yaitu petani. Piodalan di pura atau ngayah
memperbaiki lingkungan selalu dikaitkan dengan musim tanam. Jadi ada
waktu longgar untuk ngayah.
Ketika dunia modern datang, budaya
agraris mulai diganti budaya industri, aturan adat jadi masalah.
Bagaimana bisa seorang manajer hotel harus ngayah ke pura membuat
klakat, sementara dia harus menggelar rapat setiap saat? Bagaimana bisa
eksekutif di bank harus pulang ke desa adat untuk ngayah mengantar
warga yang meninggal dunia? Ini salah satu sebab para eksekutif Bali
kalah bersaing merebut jabatan menengah ke atas.
Untunglah, banyak desa yang sudah punya
aturan adat yang bagus. Persoalan ngayah ini disikapi dengan cara-cara
modern. Prinsipnya adalah budaya agraris sudah ditinggalkan maka aturan
adat yang mengacu kepada budaya agraris harus pula ditinggalkan.
Banyak cara untuk menyikapi masalah ini.
Di Denpasar, beberapa banjar adat
menerapkan sistem ngayah dengan menyiasati waktu. Kalau ada warga yang
meninggal, misalnya, warga adat ngayah mulai pukul lima pagi untuk
membuat perlengkapan upacara. Sekitar pukul tujuh semuanya sudah
selesai. Jadi warga adat bisa bekerja di kantoran. Ada pun mengantar ke
kuburan, tidak dikenakan absensi, jadi bebas mau ikut mengantar atau
tidak. Ini tidak mengurangi sisi kekerabatan, karena kalau tidak ikut
mengantar, malamnya datang ke rumah duka menyampaikan ucapan
belasungkawa sambil membawa bingkisan duka.
Di beberapa desa, hal ini juga sudah
dilakukan. Bahkan mulai ada kemajuan dalam hal menyiapkan sarana
upacara keagamaan. Dulu warga ngayah membuat klakat, tusuk sate, dan
lain-lain. Ibu-ibu juga begitu, ngayah ke pura untuk membuat banten.
Sekarang disiasati dengan masing-masing warga dibebani alat-alat
upacara. Misalnya, seseorang harus membawa 100 tusuk sate, orang lain
membawa 50 klakat. Barang itu harus diserahkan tepat waktu, tak penting
bagaimana mereka mendapatkannya. Apakah membuat sendiri malam-malam di
rumah, atau memesan kepada orang lain, atau membeli. Bukankah
alat-alat seperti ini sudah banyak yang menjualnya? Lihatlah di
sepanjang Desa Kapal, perlengkapan upacara apa pun ada yang menjual.
Demikian pula dengan banten. Serati pura
sudah menetapkan jenis banten apa saja yang digunakan, lalu dibagi
kepada warga adat. Seorang ibu, misalnya, kebagian lima buah daksina,
lainnya kebagian sesayut, lainnya lagi kebagian banten pengulapan dan
sebagainya. Untuk banten besar bisa dikerjakan gotong-royong
berdasarkan letak rumah yang berdekatan. Pada satu saat semua banten
ini diserahkan. Jadi, tidak perlu ngayah setiap hari, cukup sekali pada
saat matanding banten. Jika seorang ibu sibuk bekerja di kantoran dan
tak sempat membuat daksina, misalnya, bukankah barang seperti ini bisa
dibeli di pasar? Inilah model penerapan adat dalam budaya modern.
Ada sebuah desa adat yang sama sekali
warganya tak pernah ngayah untuk membersihkan pura, tetapi puranya
malah tambah bersih dari sebelumnya. Bagaimana menyiasati? Warga urunan
untuk biaya pemeliharaan pura. Lalu dicari warga setempat yang bisa
bertanggung jawab atas kebersihan pura itu dengan mendapatkan gaji
bulanan. Cara modern seperti ini ternyata membuat pura tetap bersih
sepanjang saat dan warga pun tidak ngayah. Lagi pula ada anggapan,
ngayah untuk membersihkan pura terlalu mubazir karena pekerjaan hanya
sekejap, ngobrolnya yang lama. Padahal untuk ngayah itu mengorbankan
waktu produktif untuk bekerja. Bukan saja yang bekerja di kantoran,
juga warga yang bekerja sebagai pedagang, tukang ojek dan sebagainya.
Terobosan seperti ini harus selalu
digulirkan. Tidak usah takut kekerabatan sosial jadi kendor karena ada
cara lain untuk tetap manyamabraya. Jika kita terus menerapkan aturan
ngayah adat seperti masa lalu, lambat laun Bali ini akan dikuasai oleh
para pendatang, yang sama sekali tak terikat oleh ngayah adat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar