Banten Sarat Makna Simbolik (Tak hanya Hiasan Belaka)
SARANA upacara atau bebantenan di Bali,
sesungguhnya tidak hanya hiasan belaka. Tetapi, di dalamnya sarat makna
simbolis. Pada umumnya, sarana upakara tersebut sebagai media bagi
umat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta.
Wakil Ketua Parisada Bali Drs. I Gusti
Ngurah Sudiana menyambut baik keinginan umat untuk membuat museum
banten. Tetapi, bentuk-bentuk bebantenan yang dipajang di museum itu
mesti dilengkapi dengan penjelasan makna dan sekaligus bahan-bahannya.
Dengan demikian, umat atau orang asing akan makin paham akan makna di
balik bebantenan tersebut. Hal itu juga sekaligus menghilangkan istilah
anak mula keto di kalangan umat.
Misalnya canang, kata Ngurah Sudiana, sudah umum dipakai sebagai
Di Bali canang disusun menjadi sebuah
sarana persembahyangan yang bahan intinya yakni peporosan. Peporosan
dibuat dari daun sirih, kapur, gambir dan buah pinang. Sirih pada zaman
dulu diberikan sebagai penghormatan terhadap para tamu. Bahkan, sampai
sekarang sirih memiliki arti penting dalam sebuah upacara di Bali dan
juga masih disuguhkan kepada tamu, ujarnya.
Bahan peporosan itu juga mengandung
makna. Pamor atau kapur melambangkan Dewa Siwa, sirih melambangkan Dewa
Wisnu, dan gambir melambangkan Dewa Brahma.
Tidak itu saja, bahan lainnya seperti
ceper yang berbentuk segi empat melambangkan catur purusa artha dan
taledan atau tapak dara melambangkan keharmonisan serta uras sari
lambang keheningan pikiran atau keteguhan pikiran.
Jadi canang itu adalah wujud persembahan
kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Tri Murti. Umat memohon
anugerah kepada Beliau agar mampu mencapai tujuan hidup yakni catur
purusa artha dengan selamat, katanya. Sementara bunga lambang kesucian
hati dan lambang kasih sayang. Bahkan, canang itu inti pokok semua
banten yang lain, kata Sudiana.
Demikian juga kuangen, katanya,
sesungguhnya sebagai perlambang. Dalam Lontar Siwagama, kuangen disebut
sebagai lambang Omkara (aksara suci Tuhan).
Dikatakan, perlengkapan kuangen terdiri
atas kojong dari daun pisang, plawa dan hiasan (pepayasan) bunga dan
peporosan yang bernama silih asih. Peporosan silih asih itu terbuat
dari dua lembar daun sirih berisi kapur (pamor). Di samping itu kuangen
dilengkapi uang kepeng.
Kojong itu disimbolkan angka tiga,
potongan kojong di atas merupakan simbol ardha candra, uang kepeng
sebagai simbol windu, bunga dan daun plawa sebagai lambang nada. Dalam
Lontar Sri Jaya Kusunu, kuangen disebut sebagai lambang Omkara (aksara
suci Tuhan). Sementara dalam Brihad Arinyaka Upanisad, kuangen lambang
Ida Sang Hyang Widhi Wasa, ujarnya sembari menyebut cara penggunaan
kuangen yang benar adalah muka kuangen berhadap-hadapan dengan muka
umat.
Dikatakan, daksina juga mengandung makna.
Daksina berasal dari kata Sansekerta. Daksina bisa berarti upah,
daksina juga bisa bermakna selatan dan nama sebuah banten. Perlengkapan
daksina yakni kelapa, telur bebek, biji-bijian. Dalam Lontar Siwagama,
buah kelapa sebagai simbol ananda –alam semesta ciptaan Tuhan.
Telur yang digunakan sebagai pelengkap
daksina adalah telur itik, karena itik mempunyai sifat-sifat satwan.
Berbeda dengan daksina caru yang dipersembahkan kepada para buthakala,
yang digunakan bisa telur ayam. Sementara kelapa yang dipakai mesti
dikupas dan dihaluskan. Selain kelapa, juga ada beras dan biji-bijian
sebagai lambang kesuburan. Di situ juga ada hasil laut yang juga
perlambang kesuburan.
Daksina juga banyak macamnya. Di antaranya daksina alit bila jumlahnya masing-masing satu biji. Daksina pakakalan, isinya dua kali daksina alit. Daksina krepa, apabila isinya tiga kali lipat dari daksina alit. Daksina gede, apabila isinya empat kali lipat dari daksina alit. Daksina pemogpog atau galahan,
apabila isinya lima kali lipat dari daksina alit. Sementara banten
lainnya seperti peras, kata Sudiana, lambang Hyang Tri Guna Sakti,
seperti yang termuat dalam Lontar Yadnya Prakerti. Dalam pemakaian
sehari-hari peras dipergunakan pula sebagai lambang keberhasilan.
Peras terbuat dari
taledan, di atasnya diisi kulit peras dari janur atau daun kelapa yang
sudah tua. Kemudian diisi dengan sedikit beras, base tampel, benang
putih. Dalam upacara tertentu juga diisi uang kepeng dua buah.
Selanjutnya di atasnya diisi dua buah tumpeng, lauk pauk, jajan,
buah-buahan. Peras dilengkapi sampian peras dan canang genten.
Pengambeyan, terdiri atas sebuah taledan sebagai alasnya, diisi dua
buah tumpeng, tulung pengambeyan, tipat pengambeyan dan perlengkapan
lainnya seperti lauk-pauk, jajan, buah-buahan, dan tebu. Banten
pengambeyan menggunakan sampian tangga. (lun)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar