Aduh! Apakah akhirnya ia harus mengalami nasib yang tragis ini?
Apakah ini merupakan ganjaran bagi segala kebaikan yang kelak
dilakukannya? Setelah menempuh hidup yang bajik selama bertahun-tahun,
dapatkan akibatnya tiba-tiba berubah menjadi kematian yang malang ini?
Ada dikatakan bahwa mereka yang mati tenggelam, mereka yang menemui ajal
karena jatuh dari pohon, dan mereka yang meninggal karena digigit ular,
tidak baik kehidupannya di akhirat kelak. Semua ini dianggap ebagai
kematian yang sial, mereka yang menemui ajalnya seperti itu akan menjadi
hantu dan akan menderita, demikian kata orang. Mengapa anak ini harus
mengakhiri hidupnya seperti itu? Oh, alangkah mengerikan. Oh, alangkah
tidak adilnya semua ini!” , ratap Yudhistira sambil menggigit bibirnya
menahan sedih.
Para brahmin segera menghiburnya. “Maharaja!”, seru
mereka, “Tidak ada alasan untuk bersedih hati. Tokoh yang demikian
agung tidak akan mengalami tragedi semacam itu. Tidak. Setelah mengkaji
posisi planet-planet dalam horoskop anak ini, kami dapat melihat dengan
jelas adanya dua kombinasi baik yang menunjukkan vajrayoga dan
bhaktiyoga, keduanya kuat sekali dan berpengaruh baik. Karena itu,
begitu tahu perihal kutukan tersebut, ia akan meninggalkan kerajaan,
istri, serta anak-anaknya, kemudian menyepi di tepi sungai Bhagirathi
yang suci dan memasrahkan diri kepada Tuhan. Resi Suka yang agung, putra
Vyasa, akan datang kesana dan mendiksanya dalam atmajnana dengan
menceritakaan kemuliaan Sri Krishna serta menyanyikan pujian bagi
Beliau. Dengan demikian ia akan melewatkan hari-hari akhirnya di tepi
Sungai Gangga yang suci dan menghembuskan napas terakhir dengan kasih
yang mendalam dan bakti kepada Tuhan. Bagaimana mungkin tokoh semacam
itu mengalami tragedi dan bencana? Ia tidak akan lahir lagi karena
melalui bhaktiyoga ia akan manunggal dengan Tuhan. Mendengar penjelasan
ini, lenyaplah kesedihan Yudhistira dan ia merasa senang. Katanya,
“Kalau begitu, ini bukan kutukan melainkan anugerah yang unik.”
Dengan
ini setiap orang bangkit. Para brahmin diberi penghormatan sesuai
dengan tingkat ilmu dan tapanya. Mereka dianugerahi permata serta
pakaian sutera dan raja mengatur agar mereka diantar pulang. Yudhistira
dan saudara-saudaranya kembali ke istana masing-masing, tetapi mereka
melewatkan waktu berjam-jam membicarakan aneka kejadian hari itu dan
tentang kekhawatiran yang akhirnya hilang terhapus. Mereka senang sekali
oleh perubahan yang akhirnya berlangsung dalam ramalan.
Sang bayi
tumbuh di ruang anak-anak bagaikan bulan yang membesar setengah bulan
menjelang purnama. Karena ia lahir sebagai pewaris tahta kerajaan besar
setelah ada bahaya mengerikan yang terjadi secara berturut-turut setiap
orang mencintainya dan menjaganya bagaikan biji mata, bak napas hidup
mereka sendiri. Draupadi yang amat sedih karena kehilangan kelima
putranya (Upapandawa), Subhadra yang menderita kehilangan dan tidak
terhiburkan karena gugurnya Abhimanyu, dan Pandawa bersaudara yang
ketakutan jika panah dahsyat yang ditujukan oleh Aswatthama kepada putra
Abimanyu-dalam kandungan Uttara-mungkin berakibat fatal dan memusnahkam
garis keturunan Pandawa untuk selama-lamanya, semua merasa lega. Tidak
hanya itu. Mereka merasa gembira melihat anak itu. Mereka sangat
bahagia. Bila rindu ingin melihat dan menggendong si bayi, mereka
mengambilnya dari keputren kemudian melewatkan hari bermain-main dengan
bocah mungil yang menawan hati itu.
Anak ini pun amat cerdas.
Tampaknya ia selalu mengamati roman muka setiap orang yang menimangnya
atau datang di hadapannya. Ia menatap wajah mereka lama-lama dengan
penuh kerinduan. Semua merasa heran atas kelakuannya yang aneh ini.
Setiap orang yang menengoknya menjadi sasaran pengamatan dan pemeriksaan
si anak yang tampaknya bertekad mencari seseorang atau sesuatu di dunia
tempat lahirnya.
Ada beberapa yang berkata dengan sedih bahwa
anak itu mencari ayahnya, Abhimanyu. Lainnya berkata, “Tidak, tidak,
anak itu mencari Sri Krishna.” Beberapa orang lagi berpendapat bahwa
tampaknya anak itu berusaha menemukan suatu sinar kedewataan.
Kenyataannya anak itu mengamati dan memeriksa semuanya untuk mencari
suatu ciri khas atau tanda yang telah diketahuinya guna mengenali suatu
wujud yang diingatnya. Setiap orang menyebut usaha pencarian yang
dilakukan anak itu dengan kata pariksha, karena itu, sebelum upacara
pemberian nama dilangsungkan secara resmi, setiap orang di dalam dan di
luar istana mulai menyebut bocah itu Parikshit “ia yang melakukan
pariksha”.
Nama Parikshit itu menetap! Dari raja hingga ke petani,
dari sarjana hingga orang dusun, dari penguasa hingga orang kebanyakan,
setiap orang menyapa atau menyebut anak itu Parikshit. Kemasyhuran anak
itu bertambah dari hari ke hari. Ia menjadi buah bibir setiap orang.
Pada suatu hari yang baik, Yudhistira memanggil pendeta istana dan
menugasinya menetapkan hari yang bertuah untuk menyelenggarakan upacara
pemberian nama bagi pangeran kecil.
Pendeta itu memanggil para
cendikiawan serta astrologer kelompoknya dan setelah memeriksa hubungan
bintang-bintang mereka menemukan suatu hari yang disetujui oleh semuanya
sebagai hari yang baik untuk tujuan tersebut. Mereka juga menentukan
jam yang tepat untuk pemberian nama. Undangan untuk menghadiri upacara
ini dikirimkan kepada para raja, para sarjana, pendeta, maupun warga
masyarakat yang terkemuka. Raja mengirim utusan-utusan untuk mengundang
para resi dan tokoh spiritual. Arjuna pergi mengunjungi Sri Krishna dan
mohon dengan hormat agar Beliau sudi melimpahkan rahmat buat si anak
pada kesempatan tersebut. Ketika kembali, ia berhasil mengajak Sri
Krishna bersamanya.
Ketika Sri Krishna tiba, para resi, brahmin,
raja, adipati dan warga masyarakat bersiap-siap menerima Beliau dengan
sambutan kehormatan. Pandawa bersaudara mengenakan pakiaian kebesaran
dan menunggu di gerbang utama istana untuk menyambut Beliau. Ketika
kereta Beliau mulai terlihat, genderang dibunyikan, tiupan terompet
mengumandangkan selamat datang, dan setiap orang berseru jaya, jaya
penuh rasa gembira. Yudhistira menghampiri kereta dan memeluk Sri
Krishna segera setelah Beliau turun. Ia menggandeng dan mengajak Belau
masuk ke istana di situ sebuah singgasana yang tinggi telah disiapkan
khusus untuk Beliau. Setelah Sri Krishna duduk, lain-lainnya juga duduk
di tempat yang sesuai dengan tingkat serta kedudukannya.
Sahadewa
pergi ke duang dalam dan si anak dibawa di atas piring emas. Bocah itu
cemerlang bagaikan matahari dan menjadi lebih menawan karena dihias
dengan aneka permata yang sangat indah. Pada pendeta mengidungkan
doa-doa, berseru memohon agar para dewa memberkati dan menganugerahi
anak tersebut dengan kesehatan serta kebahagiaan.
Sahadewa
meletakkan anak itu di lantai di tengah balairung istana. Para dayang
dan pengurus rumah tanga istana datang dalam barisan yang panjang menuju
tempat sang pangeran, mereka memegang piring-piring emas yang penuh
berisi bunga wewangian, kain sutera, dan kain renda. Di balik tirai yang
dipasang secara khusus, para ratu: Rukmini, Draupadi, Subhadra, dan
Uttara mengamati si anak yang meloncat-loncat dan mereka bersuka cita
melihat pemandangan yang membahagiakan ini. Sahadewa mengangkat anak itu
dan meletakkannya di atas timbunan bunga dalam mantap yang didirikan
untuk upacara pemberian nama. Tetapi si anak bangkit dan mulai merangkak
maju dengan berani walau para dayang memprotesnya. Tampaknya bocah itu
hendak pergi ke suatu tempat.
Usaha Sahadewa untuk menghentikannya
ternyata sia-sia. Yudhistira yang selama itu mengamati kelakuan si anak
dengan penuh minat berkata sambil tersenyum. “Sahadewa, jangan
menghalangi. Biarkan saja. Mari kita lihat apa yang dilakukannya.”
Sahadewa melepaskan pegangannya. Dibiarkannya anak itu merangkak sesuka
hatinya, hanya diawasi dan dijaga agar tidak jatuh atau terluka.
Diikutinya setiap langkah bocah itu dengan penuh kewaspadaan.
Pada
waktu duduk di pangkuan Beliau, pangeran kecil menatap wajah Beliau
tanpa berkedip; ia tidak menoleh kian kemari, menarik sesuatu, atau
mengoceh. Ia hanya duduk dan menatap. Setiap orang heran melihat
kelakuannya yang tidak seperti kelakuan anak kecil pada umumnya. Bahkan
Krishna pun ikut merasakan keheranan yang meliputi balairung tersebut.
Sambil
berpaling kepada Yudhistira, Krishna berkata, “Mula-mula saya tidak
percaya ketika diberitahu bahwa anak ini menatap setiap orang yang
datang ke dekatnya dan mengamati roman mukanya. Saya kira itu hanya
penjelasan pendeta ini tentang senda gurau dan permainan yang wajar bagi
seorang anak. Sekarang hal ini memang benar-benar mengherankan. Bocah
ini bahkan mulai mengamati dan memerksa saya. Nah, saya juga akan
mengujinya sedikit.”
Kemudian Krishna berusaha mengalihkan
perhatian anak itu dari diri Beliau dnegan meletakkan aneka permainan di
depannya sedangkan Beliau sediri bersembunyi, Krishna berharap bocah
itu akan segera merupakan Beliau. Tetapi si anak tidak tertarik pada
benda apapun lainnya. Ia telah memusatkan pandangannya secara pasti
kepada Sri Krishna dan hanya Beliaulah yang dicarinya. Ia berusaha
merangkak menuju tempat lain jika dikiranya Krishna berada di situ.
Ketika usaha untuk mengalihkan si anak dari diri Beliau gagal, Krishna
menyatakan, “Ini bukan anak biasa. Ia lulus ujian saya. Karena itu, nama
Parikshitah yang paling cocok baginya. Ia sudah hidup sesuai dengan
nama itu.”
Setelah mendengar pernyataan ini, para pendeta
mengidungkan ayat-ayat menyerukan doa restu mereka bagi si anak. Para
brahmin mengidungkan doa-doa yang sesuai dari kitab weda. Musik terompet
berkumandang di udara. Para wanita menyanyikan lagu-lagu yang membawa
keselamatan. Guru keluarga raja mencelupkan perhiasan dengan sembilan
permata ke dalam mangkuk emas yang berisi madu dan menuliskan nama
tersebut pada lidah si anak. Nama itu juga dituliskan pada beras yang
sudah diratakan dalam piring emas, kemudian berasnya ditaburkan di atas
kepada si anak sebagai lambang kemakmuran dan kebahagiaan. Demikianlah
upacara pemberian nama itu dirayakan secara besar-besaran. Sebelum
pulang, semua pria dan wanita yang hadir diberi cindera mata sesuai
dengan pangkat dan kedudukan mereka. Setiap orang dengan senang dan
kagum membicarakan betapa mengherankan cara anak itu mencari Sri Krishna
dan minta dipangku. Banyak yang memuji kepercayaan teguh yang telah
dicapai si anak.
Yudhistira merasa heran pada kelakuan unik si
anak, karena itu ia menemui Maharsi Wyasa untuk menanyakan mengapa bocah
itu mencari Sri Krishna secara aneh dan ia ingin mengetahui akibat
sikat tersebut. Wyasa berkata,”Yudhistira, ketika anak ini masih berada
dalam kandungan dan panah maut yang ditujukan kepadanya oleh Aswatama
untuk membunuhnya hampir mengenai sasaran, Sri Krishna masuk ke dalam
rahim, mengamankannya, dan menyelamatkan si janin dari kebinasaan. Sejak
saat itu, si anak ingin sekali mengetahui siapa gerangan yang telah
menyelamatkannya di dalam rahim tempat ia terbaring. Ia mulai memeriksa
setiap orang untuk mengetahui apakah orang itu memiliki kecemerlangan
seperti yang telha dilihatnya ketika ia masih berupa janin di dalam
rahim. Hari ini dilihatnya wujud ketuhanan itu dengan segala keindahan
dan kcemerlangannya, karena itu ia langsung merangkak mendapatkan Beliau
dan mohon agar diangkat serta dipangku. Inilah penjelasan mengenai
tingkah lakunya yang aneh yang ingin Anda ketahui.
Mendengar
penjelasan Wyasa ini Yudhistira menitikkan air mata gembira dan syukur.
Dengan penuh rasa gembira atas rahmat Tuhan yang tidak terbatas, ia
menyampaikan hormat baktinya kepada Sri Krishna.
Bersambung ke bab 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar