Kita mulai saja pada era kedatangan “Panca Tirta” ke Bali atas
permintaan Raja Udayana Warmadewa / Gunaprya Darmapatni. Panca Tirta
(Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan,Mpu Bharada) kecuali
Mpu Bharada datang ke Bali pada abad XI untuk membantu pemerintahan Raja
Bali waktu itu karena masyarakat Bali yang menganut Sad Paksa (Enam
Sekte) yang selalu menimbulkan pertentangan dimasyarakat. Atas peran
Catur Sanak ini terutama Mpu Kuturan dengan Kemulan Rong Tiganya, maka
Bali aman. Catur Sanak berparhyangan di Lempuyang Madya (Mpu Gnijaya),
Besakih (Mpu Semeru), Gelgel (Mpu Ghana), dan Silayukti (Mpu Kuturan).
Kalau
kita fokus ke ”Besakih”, maka waktu itu Pujawali dipimpin oleh Mpu
Semeru dan Parhyangan beliau sekarang di Besakih dikenal dengan Pura
Caturlawa. Pada generasi berikutnya Pujawali di Besakih dipimpin oleh
Sang Sapta Pandita (Leluhur Pasek) yang merupakan putra dari Mpu
Gnijaya. Walaupun Sapta Pandita ini tinggal di Jawa (Kuntuliku Desa/
diperkirakan sekitar Malang), tetapi beliu tidak lupa ke Bali
(Mangejawa-Mangebali) setiap ada persembahyangan di Besakih memuja Hyang
Widhi dan para Leluhur. Beberapa puluh tahun kemudian yaitu sekitar
Abad XV dan sesudahnya yaitu sesudah Danghyang Nirarta ke Bali pada masa
pemerintahan Dalem Waturenggong terjadi perubahan strata masyarakat,
termasuk yang memimpin persembahyangan di Besakih. Sudah lama kita
mengenal ”Tri Shadaka”. Istilah ini adalah untuk Sulinggih yang ”Muput”
pada piodalan di Besakih oleh tiga Sulinggih saja, yaitu : Pedanda Siwa,
Pedanda Budha, dan Bujangga, Pada abad XIX setelah Era Kemerdekaan,
wacana kesetaraan Sulinggih dengan istilah ”Sarwa Shadaka” muncul
artinya semua Sulinggih Pedanda, Mpu, Sri Mpu (Pande), Bhagawan, Rsi,
dan Bujangga, punya hak yang sama untuk Muput di Besakih. Secara legal
adalah dengan keluarnya Bhisama PHDI Pusat tentang Sarwa Shadaka ini.
Sehingga sekarang ini Piodalan di Besakih sudah dipimpin oleh Sarwa
Shadaka. Walaupun demikian masih ada keengganan untuk Muput dengan
Sulinggih lain atau usaha-usaha untuk tetap suatu Upacara dipuput oleh
Satu Sulinggih saja atau oleh Tri Shadaka ini bisa dilihat dikota-kota
besar yang tingkat publikasi kemasyakat (Nasional atau internasional)
tinggi. Ini bisa juga terjadi karena ketidak tahuan (kalau tidak mau
disebut kebodohan) umat akan hakekat Sulinggih. Bisa dimaklumi karena
keadaan ini sudah berlangsung ratusan tahun.
Bagaimana Paradigma
umat sekarang ini terhadap Sulinggih ? kita bisa lihat dengan jelas
dimasyarakat. Umat masih mengangung-agungkan Sulinggih, itu boleh karena
beliau orang yang sudah Dwijati yang perlu kita hormati dan dekati
supaya memperoleh ajaran kesucian. Tetapi jika membeda-bedakan ini yang
tidak boleh. Di suatu acara misalnya Peresmian suatu ”Ashram” umat
mengundang Sulinggih dan itu bagus, sayangnya kenapa disetiap Moment
penting itu para Walaka tidak memanfaatkan menyatukan Sarwa Shadaka,
apakah khawatir nanti ada Sulinggih yang diharapkan ternyata tidak mau
hadir ? kalau itu benar kita langsung bisa tahu tingkat kerohanian
Sulinggih tersebut. Atau ini hanya mempertahankan superioritas masa lalu
? saya tidak mau masuk kewilayah itu karena politis adalah
menjerumuskan sehingga kita harus memakai rohani (kebersihan jiwa)
sebagai penuntun. Dilain fihak ada suasana yang lain, kalau diatas
”Mengagungkan”, maka beberapa kawan justru menjadi kena masalah karena
”Pertanyaannya kepada Sulinggih”. Seorang kawan dihadang dengan Sesana,
bahwa Seorang walaka atau Pinandita tidak berhak mengkritik seorang
Sulinggih. Pertanyaan dari kawan ini yang sesungguhnya masukan dimaknai
sebagai kritikan. Seorang kawan yang lain juga dimintai penjelasan oleh
Lembaga Umat Hindu karena tulisannya yang miring tentang Sulinggih,
bahkan beberapa oknum Lembaga Umat (bukan lembaganya) sudah terlalu jauh
ingin memaksakan kehendaknya pada kawan ini. Kenapa umat (walaka)
seperti kebakaran jenggot ? karena Sulinggih tertentu ini ditempatkan
bagai Mutiara yang tidak boleh disentuh, padahal komentar terhadap
Sulinggih dan isi dahmawacananya bukan baru kali ini tetapi sudah banyak
namun belum terpublikasi jadi hanya berupa obrolan biasa ditataran
bawah atau ada disanpaikan langsung saat darmawacana. Apa fenomena yang
terjadi dimasyarakat sekarang ini. Jawabannya adalah ”sudah terjadi
perubahan Paradigma Umat terhadap Sulinggih”. Jika kita simak lagi
dengan lebih jernih, maka akan terlihat, bahwa : Apa yang dilakukan oleh
dua kawan ini tidak keliru, yaitu yang satu bertanya dan yang satu
menulis fakta yang terjadi berupa Darmatula yang disaksikan masyarakat,
jadi kalau itu keliru maka masyarakat bisa menilai. Kalau ternyata masih
ada benturan atau tanggapan, maka kemungkinannya adalah, masih ada yang
bertahan dengan Superioritas, dan masih ada yang belum terbuka
wawasannya, sekaligus ini adalah tantangan bagi Sulinggih dijaman yang
serba kritis ini untuk siap dikritik atau ditanya oleh umat, tentunya
umat harus tetap sopan santun. Siapa yang punya tanggung jawab akan
perubahan ini, ya kita semua. Bagi Sulinggih kita berharap tidak
henti-henti memberikan Jnana Punia kepada umat disamping Muput jadi
harus jelas Muput atau Dang-acarya (memberikan siraman rohani),
Sulinggih jangan membedakan diri dengan Sulinggih lainnya karena umat
akan menilai tingkat kerohaniannya, Sulinggih jangan duduk dipimpinan
organisasi keumatan biarkan itu dipegang Walaka tetapi sebaiknya di
Paruman Sulinggih saja sesuai dengan konsep Wiku dan Natha, Walaka
jangan memecah-mecah Sulinggih malah kita dorong setiap moment untuk
menyatukan mereka, Walaka jangan buta pengetahuan akan Sulinggih
sehingga menjadi arogan dan fanatik pada Sulinggihnya saja karena
Sulinggih itu milik bersama, bagi pejuang-peluang kebenaran, maka
lakukan terus jangan berhenti tetapi tetap dengan sesana yang baik.
Bagaimana dengan penulis ? Jika ini adalah melanggar Sesana karena
memberi masukan kepada Sulinggih, maka biarlah penulis yang menaggung
dosanya, walaupun penulis tetap menyadari, bahwa yang bisa dengan
bijaksana menentukan benar atau salah hanya Hyang Widhi. Semoga
kebenaran datang dari segala penjuru.
Penulis,
Nyoman Sukadana
Karanganyar - Solo - Jawa Tengah
03-07-2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar