Membicarakan masalah sejarah
pendirian Kahyangan Tiga pada setiap desa adat
di Bali, belum diketahui dengan pasti, karena
sumber tertulis yang menyebutkan secara jelas
belum ditemukan. Tetapi besar kemungkinan pada
jaman Bali Kuna ketiga pura tersebut telah ada
di tengah-tengah masyarakat Bali karena dipakai
kata Kahyangan untuk menyebut pura tersebut.
Di dalam prasasti-prasasti Bali Kuna belum ditemukan
kata Pura untuk menyebut tempat suci tetapi
yang dipakai adalah kata hyang atau kahyangan.
Sebelum masa pemerintahan
raja suami-istri Udayana dan Gunapriya Darmapatni
tahun 989 -1011M di Bali berkembang banyak aliran-aliran
keagamaan seperti: Pasupata, Bairawa, Wesnawa,
Boda, Brahmana, Resi, Sora, Ganapatya dan Siwa
Sidanta. Di antara penasehat pemerintahan Udayana,
tersebut nama Senapati Kuturan di samping sebagai
ketua Majelis Pusat Pemerintahan yang disebut
"Pakiran-kiran i jro makabehan".
Empu Kuturan sebagai seorang
senapati dan ahli dalam masalah keagamaan, berhasil
dalam menanamkan pengertian di bidang keagamaan
dan menyempurnakan sistem kemasyarakatan di
Bali. Dalam karangannya Purana Tatwa, Dewa Tatwa,
Widisastra, memberikan pelajaran tentang sejarah
para Pendeta, Dewa-dewa dan bagaimana caranya
memuja Dewa-dewa, dan caranya membangun pura
dengan pedagingannya.
Seorang sarjana Belanda yang
lama tinggal di Bali yakni Dr. R. Cons mengatakan
kecerdasan Empu Kuturan sebagai seorang filosof
besar dan negarawan yang bijaksana. Dalam lontar
Raja Purana menyebutkan usaha Empu Kuturan untuk
membangun tempat-tempat suci beserta upacaranya
sebagai berikut:
Ngaran
Dewa ring kahyangan pewangunan Empu
Kuturan kapastikan saking Pura Silayukti,
muwang ngewangun seraya karya, ngadegang
raja purana, mwang nangun karya ngenteg
linggih batara ring Bali, kaprateka
antuk sira Empu Kuturan, Ngeraris nangun
catur agama, catur lokika bhasa, catur
gila, mekadi ngewangun Sanggah Kamulan,
ngewangun Kahyangan Tiga, Pura Desa,
Puseh mwang Dalem.
|
terjemahan: |
Adapun
Dewa di Kahyangan diciptakan atau dibangun
oleh Empu Kuturan, direncanakan dari
Pura Silayukti dan menyelenggarakan
segala pekerjaan sehubungan dengan pembangunan
pura-pura kahyangan jagat, demikian
pula mengadakan pemelaspasan dan mengisi
pedagingan linggih batara-batari di
Bali diatur oleh Empu Kuturan. Selanjutnya
dibuat peraturan agama, empat cara-cara
berbahasa, empat ajaran pokok dalam
kesusilaan dan lima tatwa agama, seperti
mengajar membuat sanggah Kemulan, Kahyangan
Tiga, Pura Desa, Puseh dan Dalem.
|
Sehubungan dengan pembangunan tempat-tempat suci, oleh Empu Kuturan, babad Gajah Mada menyebutkan sebagai berikut:
Sira
to Empu Kuturan sang sida moksah ring
Silayukti sira to urnara marahing tumitahing
Bali Aga, sira nggawe paryangan pengastawan
kabuyutan, ibu, dadia, ring Bali Aga
kabeh, apan Bali gung guna sucaya.
|
Terjemahan: |
Beliau
Empu Kuturan yang moksa di Silayukti,
dia yang mengajarkan membuat pemujaan
di Bali, termasuk tempat suci pemujaan
untuk roh suci leluhur paibon/ dadia,
sehingga Bali menjadi jaya dan sejahtera.
|
Adanya banyak aliran-aliran di Bali menimbulkan perbedaan kepercayaan di masyarakat sehingga sering menimbulkan pertentangan dan perbedaan pendapat di antara aliran yang satu dengan yang lainnya. Akibat adanya pertentangan ini membawa pengaruh buruk terhadap jalannya roda pemerintahan kerajaan dan mengganggu kehidupan masyarakat.
Menyadari keadaan yang demikian
itu maka raja Udayana menugaskan Empu Kuturan
untuk mengadakan pasamuhan (pertemuan) para
tokoh- tokoh agama di Bali. Pasamuhan para tokoh
agama itu bertempat di Desa Bedahulu Kabupaten
Gianyar.
Pertemuan para tokoh-tokoh
agama dari berbagai aliran yang ada di Bali
berhasil menetapkan dasar keagamaan yang disebut
Tri Murti yang berarti tiga perwujudan dari
Hyang Widi yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan
Dewa Siwa. Tempat pasamuhan yang menghasilkan
dasar keagamaan Tri Murti disebut Samuan Tiga
di mana sekarang berdiri Pura Samuan Tiga di Desa Bedahulu. Pada pura
ini tersimpan banyak peninggalan purbakala seperti
lingga, Arca Ganesa, Arca Durga, arca perwujudan
batara- batari.
Tiga kekuatan di atas yang
merupakan prabawa Hyang Widi dapat dirasakan
dan dialami dalam kehidupan di dunia ini sebagai
suatu siklus yaitu: lahir, hidup dan mati. Demikian
seterusnya berputar sebagai suatu lingkaran
yang tiada terputus sepanjang jaman, karena
ia kodrat alam dan hukum Tuhan. Ketiga kodrat
alam ini disebut tri kona (segi tiga). Kesaktian
untuk menciptakan (utpati), kesaktian untuk
memelihara (stiti) dan kesaktian untuk mengembalikan
kepada asalnya (pralina) merupakan tiga sifat
yang mutlak dan diwujudkan dengan dewa Tri Murti.
Di dalam Weda, Tri Murti berarti
tiga Dewa yaitu: Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara
(Siwa), yang diwujudkan dengan:
- Aksara Ang melambangkan Dewa Brahma dengan warna merah dan senjata Gada.
- Aksara Ung melambangkan Dewa Wisnu dengan warna hitam dan senjata Cakra
- Aksara Mang melambangkan Dewa Siwa dengan warna putih dan senjatanya Padma.
Ketiga aksara Ang Ung Mang
jika disatukan menjadi A U M. Dalam persenyawaan
suara huruf A dan U disandikan menjadi 0 sehingga
AUM menjadi Om, yaitu lambang aksara Hyang Widi.
Dari uraian tersebut di atas
dapat diperkirakan bahwa Kahyangan Tiga pada
setiap Desa Adat di Bali dirintis oleh Mpu Kuturan
ketika pemerintahan raja suami istri Udayana
dan Gunapriya Darmapatni pada abad 10M. Perkiraan
ini diperkuat dengan adanya ungkapan dalam babad
Pasek yang menyebutkan demikian:
Nguni
duk pemadegan sira cri Gunapriya Darmapatni
Udayana Warmadewa, hana pesamuan agung
ciwa Budha kalawan Bali Aga, ya etunya
hana desa pakraman mwang Kahyangan Tiga
maka kraman ikang desa para desa Bali
Aga.
|
Terjemahan: |
Dahulu
tatkala bertahtanya Çri Gunapriya
Darmapatni dan suaminya Udayana, ada
musyawarah besar Çiwa Buddha
dengan pihak Bali Aga, itulah asal mulanya
ada desa pekraman dan Kahyangan Tiga
sebagai tatanan kehidupan dari masing-masing
desa Bali Aga.
|
Dan uraian di atas dapat diduga
bahwa pengelompokan masyarakat ketika itu disebut
desa pakraman dan dalam perkembangannya mengalami
perubahan yang akhirnya disebut desa adat yang
dilengkapi dengan peraturan-peraturan yang disebut
Awig-awig.
Awig-awig ini mempunyai kedudukan
sebagai stabilisator yang mengatur kegiatan
dan aspek kehidupan masyarakat. Tujuannya ialah
agar suasana kehidupan desa menjadi tetap terpelihara
secara serasi dan harmonis dengan ketertiban
yang mantap.
Keserasian dan keharmonisan
kehidupan masyarakat dapat diukur dengan sistem
cara berpikir yang lugu dan tidak mengadakan
perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Dengan
cara berpikir yang demikian itu akan melahirkan
suasana senasib sepenanggungan yang lebih dikenal
dengan istilah suka duka sebagai salah satu
warisan budaya yang tak ternilai harganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar