dambho darpo’fimansca
krodhah paarusyam eva ca,
ajnyanam ca abhijatasya
parta sampadam asurin.
(Bhagawad Gita.XVI.4).
Maksudnya: Sifat takabur atau berpura-pura, membangga-banggakan
diri, pembenci, kasar, mengagung-agungkan kewangsaannya, bodoh tanpa
ilmu pengetahuan oh Partha, itu adalah ciri-ciri orang yang tergolong
bersifat keraksasaan.
Minggu, 03 Juni 2012
Membumikan Simbol Galungan pada Tataran Sosial
BALI, 31 Januari 2012 (Bali Post) :
Oleh I Gusti Ketut Widana
Apa pun yang namanya simbol adalah sebatas alat, piranti atau media komunikatif, informatif sekaligus imperatif (ajakan) untuk bagaimana menyingkap makna di balik simbol itu lalu mengimplementasikannya ke dalam bentuk perilaku. Pada level teoretis, simbol adalah semacam tanda atau penanda yang menggerakkan pikiran untuk tidak semata-mata berhenti pada tingkatan pengetahuan, tetapi lebih penting lagi mewujudnyatakannya ke dalam tataran perilaku, yang oleh Mead dalam Ritzer (2007) dikatakan ada dua (2) jenis, yaitu perilaku lahiriah (yang sebenarnya) dan perilaku tersembunyi (simbol dan makna).
Dalam konteks Galungan, korelasi perilaku lahiriah yang tampak menonjol masih bergerak di seputaran perilaku tersembunyi lewat prosesi ritual yang harus diakui masih stagnan konseptual, dan belum mantap terekspresi ke dalam konteks perilaku unggul di tataran sosial. Padahal filosofi Galungan itu sendiri sarat simbol signifikansi, yang seharusnya mampu menstimulus umat Hindu untuk terus berjuang menegakkan
Oleh I Gusti Ketut Widana
Apa pun yang namanya simbol adalah sebatas alat, piranti atau media komunikatif, informatif sekaligus imperatif (ajakan) untuk bagaimana menyingkap makna di balik simbol itu lalu mengimplementasikannya ke dalam bentuk perilaku. Pada level teoretis, simbol adalah semacam tanda atau penanda yang menggerakkan pikiran untuk tidak semata-mata berhenti pada tingkatan pengetahuan, tetapi lebih penting lagi mewujudnyatakannya ke dalam tataran perilaku, yang oleh Mead dalam Ritzer (2007) dikatakan ada dua (2) jenis, yaitu perilaku lahiriah (yang sebenarnya) dan perilaku tersembunyi (simbol dan makna).
Dalam konteks Galungan, korelasi perilaku lahiriah yang tampak menonjol masih bergerak di seputaran perilaku tersembunyi lewat prosesi ritual yang harus diakui masih stagnan konseptual, dan belum mantap terekspresi ke dalam konteks perilaku unggul di tataran sosial. Padahal filosofi Galungan itu sendiri sarat simbol signifikansi, yang seharusnya mampu menstimulus umat Hindu untuk terus berjuang menegakkan
Memaknai Galungan secara Benar
BALI, 31 Januari 2012 (Bali Post) :
Rabu besok, 1 Februari 2012, masyarakat Hindu di Bali akan merayakan hari raya Galungan. Karena berulang setiap enam bulan sekali, kesannya seperti rutitas saja. Tetapi tentu dari segi pemaknaan, kita tidak boleh memandang sebagai rutinitas belaka. Secara sosial, pemahaman Galungan sebagai hal yang bersifat rutin sangat berbahaya karena pesan yang dimaknakan dalam hari tersebut akan jauh menyimpang. Pemahaman akan Galungan sebagai hal yang bersifat rutin akan membuat manusia Hindu (Bali) sekadar membuat penjor, mempersiapkan makanan atau sekadar datang ke pura saja. Setelah itu selesai karena hal yang bersifat rutin sudah dikerjakan, untuk selanjutnya begitu lagi terulang enam bulan berikutnya. Sekali lagi, ini berbahaya. Padahal, makna hari raya Galungan adalah merayakan kemenangan dharma melawan
Rabu besok, 1 Februari 2012, masyarakat Hindu di Bali akan merayakan hari raya Galungan. Karena berulang setiap enam bulan sekali, kesannya seperti rutitas saja. Tetapi tentu dari segi pemaknaan, kita tidak boleh memandang sebagai rutinitas belaka. Secara sosial, pemahaman Galungan sebagai hal yang bersifat rutin sangat berbahaya karena pesan yang dimaknakan dalam hari tersebut akan jauh menyimpang. Pemahaman akan Galungan sebagai hal yang bersifat rutin akan membuat manusia Hindu (Bali) sekadar membuat penjor, mempersiapkan makanan atau sekadar datang ke pura saja. Setelah itu selesai karena hal yang bersifat rutin sudah dikerjakan, untuk selanjutnya begitu lagi terulang enam bulan berikutnya. Sekali lagi, ini berbahaya. Padahal, makna hari raya Galungan adalah merayakan kemenangan dharma melawan
Kuningan, Anugerah Kemenangan dengan Ilmu Pengetahuan
Haywa amuja bebanten kalangkahin tajeg Sang Hyang Aditya
asuk juga kawengania, apan yan tajeg Sang Hyang Surya, Dewata amoring
swarga. (Petikan Lontar Sunarigama)
Maksudnya: Janganlah mengaturkan bebanten (Kuningan) setelah lewat tengah hari. Kalau sampai lewat tengah hari maka para Dewata telah kembali ke sorga.
Umat Hindu di Nusantara menyelenggarakan upacara Hari Raya Kuningan pada waktu pagi hari sebelum matahari tegak atau tengah hari. Mengapa demikian? Umumnya umat kebanyakan mengatakan agar jangan ketemu dengan Dewa Berung. Padahal tidak ada konsep Agama Hindu yang menyatakan bahwa Dewa itu bisa berung atau luka di badannya. Pandangan yang salah itu mungkin pada awalnya berasal dari orang yang berpengaruh tetapi tidak begitu paham akan ajaran atau petunjuk tentang perayaan Galungan dan Kuningan.
Perayaan Kuningan dilakukan pagi hari karena hari raya tersebut adalah simbol hari anugerah Tuhan atas perjuangan umat menegakkan dharma yang disimbolkan dengan prosesi perayaan Galungan. Menurut
Maksudnya: Janganlah mengaturkan bebanten (Kuningan) setelah lewat tengah hari. Kalau sampai lewat tengah hari maka para Dewata telah kembali ke sorga.
Umat Hindu di Nusantara menyelenggarakan upacara Hari Raya Kuningan pada waktu pagi hari sebelum matahari tegak atau tengah hari. Mengapa demikian? Umumnya umat kebanyakan mengatakan agar jangan ketemu dengan Dewa Berung. Padahal tidak ada konsep Agama Hindu yang menyatakan bahwa Dewa itu bisa berung atau luka di badannya. Pandangan yang salah itu mungkin pada awalnya berasal dari orang yang berpengaruh tetapi tidak begitu paham akan ajaran atau petunjuk tentang perayaan Galungan dan Kuningan.
Perayaan Kuningan dilakukan pagi hari karena hari raya tersebut adalah simbol hari anugerah Tuhan atas perjuangan umat menegakkan dharma yang disimbolkan dengan prosesi perayaan Galungan. Menurut
Adat Hindu Harus Selalu “Nutana”
BALI, 19 Februari 2012 (Bali Post) :
Weda, sabda suci Tuhan dengan syair suci yang disebut Mantra, berjumlah sebanyak 20.389 Mantra. Isinya adalah Sanatana Dharma atau kebenaran yang kekal abadi. Artinya, isi ajaran Weda itu tidak akan pernah lekang atau usang oleh ruang dan waktu. Kapan saja dan di mana saja kebenaran Weda itu akan tetap berlaku. Karena isi Weda itu universal. Maka, berbagai pustaka Hindu menyatakan bahwa Weda itu harus ditradisikan sesuai dengan keberadaan zaman dan umat penganut Weda.
Agar selalu dapat mengikuti kebutuhan dan perkembangan zaman maka Sarasamuscaya 260 menyatakan dengan istilah Weda Abhiyasa. Artinya, Weda itu hendaknya diterapkan menjadi kebiasaan hidup sehingga menjadi adat istiadat yang membudaya diikuti oleh umat penganut Weda. Demikian juga dalam Manawa Dharmasastra II,12 dan 18 ada istilah Sadacara yang artinya juga sama yaitu mentradisikan kebenaran
Weda, sabda suci Tuhan dengan syair suci yang disebut Mantra, berjumlah sebanyak 20.389 Mantra. Isinya adalah Sanatana Dharma atau kebenaran yang kekal abadi. Artinya, isi ajaran Weda itu tidak akan pernah lekang atau usang oleh ruang dan waktu. Kapan saja dan di mana saja kebenaran Weda itu akan tetap berlaku. Karena isi Weda itu universal. Maka, berbagai pustaka Hindu menyatakan bahwa Weda itu harus ditradisikan sesuai dengan keberadaan zaman dan umat penganut Weda.
Agar selalu dapat mengikuti kebutuhan dan perkembangan zaman maka Sarasamuscaya 260 menyatakan dengan istilah Weda Abhiyasa. Artinya, Weda itu hendaknya diterapkan menjadi kebiasaan hidup sehingga menjadi adat istiadat yang membudaya diikuti oleh umat penganut Weda. Demikian juga dalam Manawa Dharmasastra II,12 dan 18 ada istilah Sadacara yang artinya juga sama yaitu mentradisikan kebenaran
Lima Sikap yang Menumbuhkan “Asuri Sampad”
moghaasaa moghakarmano
moghajnyana vicetasah,
raksasim asurim caiva
prakirtim mohinim sritah.
(Bhagawad Gita IX.12)
Maksudnya: Harapan yang sia-sia, pekerjaan yang sia-sia, ilmu pengetahuan yang sia-sia, tanpa perasaan. Semuanya itu menyebabkan kebingungan batin dan menyuburkan sifat-sifat keraksasaan dalam diri.
Mereka yang Dapat Disebut Bhakta
advesa sarva bhuutanam
maitrah karuna eva ca
nirmamo nirhamkarah
sama duhkha sukhah ksami
(Bhagawad Gita XII.13)
Maksudnya: Dia yang tidak membenci semua makhluk, selalu bersahabat, memancarkan cinta kasih, tidak serakah, tidak egois, seimbang dalam keadaan duka dan suka serta pemaaf. Dialah dapat disebut bhakta.
Membina Tradisi yang “Bergizi”
srutismrti yuditam samyaan
nibaddam svesu karmasu
dharmamuulam neseveta
saadaacara matandritah
(Sarasamuccaya 253)
Maksudnya: Hilangkanlah keengganan hati itu. Upayakan terus mendalami Weda Sruti dan Smrti atau Dharmasastra itu tentang tertib perilaku Catur Varna. Segala upaya agar dilakukan dalam mewujudkan tradisi dharma itu. Latihlah terus menerus Sistacara atau membina tradisi yang suci itu.
Kata Kasar Lenyapkan Kebahagiaan
naarumtudah syaad artu’pi na
paradroha karmadhih
yayasyodwijate waca
naalokyam taamudirayet.
(Manawa Dharmasastra II.161)
Maksudnya: Walaupun dalam kemarahan dan kesedihan, janganlah menggunakan kata-kata kasar yang dapat menyakiti hati orang lain baik dengan pikiran dan perilaku. Jangan mengeluarkan kata-kata yang membuat orang lain takut atau marah pada kita. Hal itu akan membuat kita semakin jauh dari rasa bahagia, apalagi sorga.
paradroha karmadhih
yayasyodwijate waca
naalokyam taamudirayet.
(Manawa Dharmasastra II.161)
Maksudnya: Walaupun dalam kemarahan dan kesedihan, janganlah menggunakan kata-kata kasar yang dapat menyakiti hati orang lain baik dengan pikiran dan perilaku. Jangan mengeluarkan kata-kata yang membuat orang lain takut atau marah pada kita. Hal itu akan membuat kita semakin jauh dari rasa bahagia, apalagi sorga.
Kesadaran Tertinggi Datang Secara Perlahan
Dalam tuntunan spiritual Jawa disebutkan: Witing bilai amarga tuna pangerten (mendapat celaka karena kurangnya pengetahuan). Witing kalantur amarga tanpa pitutur (kesalahan yang berkelanjutan karena tidak adanya tuntunan). Witing katula amarga sepi grahita (jiwa terlunta-lunta karena tidak pernah merenung). Ananing siksa saka ing dosa (adanya siksa karena dosa). Wangening siksa sapundhating dosa (batasnya siksa seiring habisnya dosa). Witing luput saka kalimput (penyebab salah karena tertutupi). Weruh ing sisip sayekti sulit (menyadari kekeliruan benar-benar sulit). Rehne kaprah tan nyana salah (karena lumrah tidak mengira itu salah). Weruh ing angger amarga ing bener (tahu hukum kebenaran karena benar). Angger bawana maneka warna (hukum alam bermacam-macam). Angger kodrat kenceng kaliwat (hukum kodrat (rta) tidak bisa dibelokkan). Angele ngelmu yen durung katemu (sulitnya ilmu jika belum dipahami). Gampange ngelmu yen wis katemu (gampangnya ilmu jika sudah dipahami). Budi hayu manggih rahayu (buddhi mulia menemukan kerahayuan). Durangkara manggih sangsara (angkara murka menemukan sengsara). Lepas nalar jagad jembar (wawasan luas dunia jadi lebar). Nalar cendhak jagad rupak (wawasan sempit dunia pun jadi sempit).
Pengasingan Diri Secara Spiritual
urddhvabahurviraumyesa na ca kacciçchrnoti me, dharmadarthaçca kamaçca sa kimartham na sevyate (Sarasamuccaya.11); nihan
mata kami mangke, manawai, manguwuh, mapitutur, ling mami, ikang artha,
kama, malamaken dharma juga ngulaha, haywa palangpang lawan dharma
mangkana ling mami, ndatan juga angrêngö ri haturnyan ewêh sang makolah
dharmasadhana, apan kunang hetunya; itulah sebabnya hamba,
melambai-lambai, berseru-seru mengingatkan, “dalam mencari artha dan
kama itu hendaklah senantiasa dilandasi dharma,” demikianlah kata
hamba. Namun demikian, tidak ada yang memperhatikannya dengan alasan
bahwa sangat sukar berbuat atau bertindak berlandaskan dharma. Apa
gerangan sebabnya?
Dengan Pengalaman Kita Berkembang
Dalam ilmu spiritual Jawa ada disebutkan Waton Bab Bener Lupute Wong Urip (Patokan Tentang Benar Salahnya Orang Hidup):
Bener lupute wong urip (Benar salahnya orang hidup): Benering wong urip, eling marang Uripe. Lupute wong urip, lali marang Uripe. (Benarnya orang hidup, ingat kepada Hidupnya. Salahnya orang hidup, lupa kepada Hidupnya.)
Bener lupute wong lali (benar salahnya orang lupa): Benering wong lali, angudi kaweruh kasunyatan. Lupute wong lali, lumuh angudi kaweruh kasunyatan. (Benarnya orang lupa, mencari pengetahuan kesejatian. Salahnya orang lupa, enggan mencari pengetahuan kesejatian.)
Kapriye wajibe wong urip (Bagaimana seharusnya orang hidup): Wajibe wong urip rumangsa ing Uripe. Hinaning wong urip, ora rumangsa ing Uripe. (Seharusnya orang hidup merasakan Hidupnya. Hinanya orang hidup, tidak merasakan Hidupnya.)
Bener lupute wong urip (Benar salahnya orang hidup): Benering wong urip, eling marang Uripe. Lupute wong urip, lali marang Uripe. (Benarnya orang hidup, ingat kepada Hidupnya. Salahnya orang hidup, lupa kepada Hidupnya.)
Bener lupute wong lali (benar salahnya orang lupa): Benering wong lali, angudi kaweruh kasunyatan. Lupute wong lali, lumuh angudi kaweruh kasunyatan. (Benarnya orang lupa, mencari pengetahuan kesejatian. Salahnya orang lupa, enggan mencari pengetahuan kesejatian.)
Kapriye wajibe wong urip (Bagaimana seharusnya orang hidup): Wajibe wong urip rumangsa ing Uripe. Hinaning wong urip, ora rumangsa ing Uripe. (Seharusnya orang hidup merasakan Hidupnya. Hinanya orang hidup, tidak merasakan Hidupnya.)
Mengenali Brahman dengan Atman
Di dalam buku Kridha Grahita (anonim), sebuah tulisan spiritual Jawa, disebutkan: Katentreman
utawa kajaten ya alame manungsa sejati. Temening anane alam iku tetep
langgeng, nyataning alam iku tumrap kang ngalami. Iku alam maha suci,
wajibe alam suci mung nampani jiwa kang wus tentrem lan suci. Sapa
tentrem utawa suci, ditampa; yen ora, ditulak; ora preduli dumeh angel
lakon-lakonane, ora preduli dupeh netepi pranatan donya. Alam suci mung
wajib nampani jiwa kang suci. Artinya: Ketenteraman atau
kesejatian adalah alamnya manusia sejati. Benar adanya alam tersebut
tetap langgeng, nyatanya alam tersebut bagi yang mengalami. Itu alam
maha suci, kewajiban alam suci hanya menerima jiwa yang sudah tenteram
dan suci. Siapa tenteram atau suci, diterima; kalau tidak, ditolak;
tidak peduli kendatipun sudah menjalani hal-hal yang sulit, tidak
peduli kendatipun sudah memenuhi aturan-aturan duniawi. Alam suci hanya
wajib menerima jiwa yang suci.
Tapa Sadhana Memperkuat Kualitas Satya
Kebanyakan orang menggunakan alasan untuk membenarkan dirinya
mengomeli pasangannya sehubungan dengan apa yang mereka tidak suka pada
pasangannya, atau mempergunjingkan tentang cacat cela orang lain. Ini
bukanlah spirit satya. Kita tidak ingin mengekspos kesalahan-kesalahan,
keburukan-keburukan atau aib orang lain. konfrontasi seperti itu dapat
menimbulkan perdebatan dan pertengkaran. Sebenarnya, tak seorangpun
tahu kesalahan-kesalahan orang lain sebaik pengetahuannya tentang
kesalahan yang ada pada dirinya sendiri. Tetapi, kebanyakan orang
senang mengekspos kesalahan orang lain dan berusaha menutupi kesalahan
sendiri. Semut di seberang tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak.
Kesalahan kecil orang lain diekspos, kesalahan besar diri sendiri
diabaikan. Ketakutan dan keringkihan hati sering mempengaruhi,
sementara tidak ada motivasi dan niat baik untuk memperbaiki kebiasaan
itu. Oleh karena itu, membangun niat suci, berpandangan positif,
membangun paradigma baru, mengalihkan konsentrasi ke dalam diri sendiri
dan membiarkan penyembuhan internal terjadi. Ini adalah kebijaksanaan.
Ini adalah ahimsa, tanpa kekerasan. Ini adalah satya, kebenaran,
kejujuran atas dasar kebijaksanaan. Para arif bijaksana sangat
berhati-hati agar tidak sampai menghina atau mencela orang lain, bahkan
dalam hal
Berkarya dengan Karma Kita
Kita, pecinta kehidupan rohani, dalam hati mungkin pernah bertanya,
“Kenapa Brahman memberi kita karma untuk dilalui?” Dapatkah Dia membuat
kita sempurna sejak awal dan menghindarkan kita dari semua yang
menyakitkan?” Para arif bijaksana senantiasa memberi wejangan,
“Terimalah karmamu sebagai milikmu, sebagai obat penyembuh, bukan
sebagai racun.” Seraya kita melewati pengalaman kreasi kita sendiri
dalam kehidupan sehari-hari dan benih-benih karma bangkit, sebagai
aksi-aksi kita kembali melalui perasaan kita, usahakan tuntas di dalam
kehidupan sekarang ini, tidak dalam kehidupan masa depan, melepaskan
dengan menerima apa adanya setiap dan semua pengalaman sehingga tidak
terpengaruh lagi dan menciptakan putaran baru, terbebas dari belenggu
samsara. Terimalah karma kita apa adanya, apakah itu karma gembira,
karma sedih, karma yang tidak menyenangkan, tidak mengenakkan, yang
menyedihkan, miskin, sengsara, atau karma yang sangat menyenangkan,
yang sangat menggembirakan, bergelimang harta, hidup makmur, terimalah
itu sebagai karma kita. Tetapi itu bukan kita, bukan kita yang
sebenarnya, bukan kita yang sejati. Semua pengalaman yang kita lewati
diberikan agar supaya kita bisa berkembang, supaya tumbuh, belajar dan
akhirnya mencapai kebijaksanaan. Itu semua adalah karya misterius dari
Brahman, cara Dia mendekati umat pecinta kehidupan rohani, cara Dia
membawa kita mendekat dan semakin dekat kepada diri-Nya.
Langganan:
Postingan (Atom)