Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi "Pasek Dukuh Bunga Asahduren": Kuningan, Anugerah Kemenangan dengan Ilmu Pengetahuan

Minggu, 03 Juni 2012

Kuningan, Anugerah Kemenangan dengan Ilmu Pengetahuan

Haywa amuja bebanten kalangkahin tajeg Sang Hyang Aditya asuk juga kawengania, apan yan tajeg Sang Hyang Surya, Dewata amoring swarga. (Petikan Lontar Sunarigama)
Maksudnya: Janganlah mengaturkan bebanten (Kuningan) setelah lewat tengah hari. Kalau sampai lewat tengah hari maka para Dewata telah kembali ke sorga.
Umat Hindu di Nusantara menyelenggarakan upacara Hari Raya Kuningan pada waktu pagi hari sebelum matahari tegak atau tengah hari. Mengapa demikian? Umumnya umat kebanyakan mengatakan agar jangan ketemu dengan Dewa Berung. Padahal tidak ada konsep Agama Hindu yang menyatakan bahwa Dewa itu bisa berung atau luka di badannya. Pandangan yang salah itu mungkin pada awalnya berasal dari orang yang berpengaruh tetapi tidak begitu paham akan ajaran atau petunjuk tentang perayaan Galungan dan Kuningan.
Perayaan Kuningan dilakukan pagi hari karena hari raya tersebut adalah simbol hari anugerah Tuhan atas perjuangan umat menegakkan dharma yang disimbolkan dengan prosesi perayaan Galungan. Menurut
ketentuan Bhagawad Gita XVII.20 bahwa anugerah atau pemberian suci itu harus diberikan berdasarkan desa kala patra. Desa artinya berdasarkan pertimbangan aturan rokhani setempat. Kala maksudnya anugerah itu diberikan saat waktu yang disebut Satvika Kala. Patra menurut Sarasamuscaya 271 adalah orang yang sepatutnya diberikan Daana Punia (Patra ngarania sang yogia wehana dana).
Pagi adalah tergolong waktu yang disebut Satvika Kala artinya hari yang tenang dan baik melakukan pekerjaan mulia seperti memberi atau menerima Daana Punia. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa Lontar Sunarigama menentukan bahwa upacara Kuningan harus dilakukan sebelum matahari tegak atau sebelum tengah hari. Mereka yang dapat waranugraha saat Kuningan adalah mereka yang Patra artinya mereka yang baik yang berjuang meningkatkan diri berdasarkan dharma. Mereka yang berjuang itu disimbolkan dengan menghaturkan banten Tebog atau Selanggi pada hari raya Kuningan, di samping sudah melakukan prosesi Galungan sebelumnya. Banten Tebog dan Selanggi tersebut melambangkan perjuangan ke arah yang semakin baik dan benar menuju jalan Tuhan. Perjuangan yang benar itu berdasarkan kesadaran ilmu atau jnyana. Karena itu saat upacara Galungan di samping menghaturkan Banten Tumpeng Galungan juga disertai dengan Banten Guru. Banten Guru itu menggunakan tumpeng yang puncaknya menggunakan telor itik. Hewan itik itu menurut Sarasamuscaya dinyatakan sebagai hewan yang satvika atau hewan yang mampu membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kalau itik itu diberikan makan nasi bercampur lumpur maka yang masuk ke perutnya hanyalah nasinya. Dalam Bhagawad Gita hal itu disebut wiweka jnyana. Kemampuan itu hanya dapat dicapai oleh manusia dengan belajar atau berguru. Karena itu perjuangan menegakan dharma harusnya dengan kesadaran ilmu atau wiweka jnyana dengan berguru kerokhanian. Dharma jangan ditegakkan hanya dengan emosi dan kekuatan otot saja. Itulah makna menghaturkan Banten Guru saat Galungan.
Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru adalah simbol dimulainya prosesi memetik hasil berguru yang puncaknya diperoleh saat Hari Raya Kuningan. Pada hari Pemaridan Guru ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugerah berupa kadirgayusaan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut bermakna, umat menikmati waranugraha Dewata. Canang meraka itu lambang perjuangan mendapatkan hidup sehat panjang umur, aman damai dan kesejahtraan yang adil. Hal itu sebagai wujud dharma akan dicapai hanya dengan menerapkan ilmu pengetahuan jnyana. Dalam lontar Yadnya Prakerti dinyatakan: Rakan Banten pinaka Widyadhara Widyadhari adalah ilmuwan sorga. Artinya buah dan jajan dengan perlengkapan banten yang disebut Rakan Banten hendaknya diperoleh berdasarkan hasil penerapan ilmu.
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sunarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksanakan pada pagi. Saat Kuningan di samping menghaturkan Banten Tebog atau Selanggi juga memasang Sampian Kuningan. Sampian Kuningan itu ada empat jenis yaitu Tamiang, Ter, Kolem dan Edongan. Keempat Sampian Kuningan itu lambang anugerah Tuhan kepada umatnya. Tamiang lambang aneugrah perlindungan Tuhan. Ter adalah alat melontarkan panah untuk menyerang musuh. Ter ini lambang kekuatan anugerah Tuhan untuk menyerang musuh seperti Sang Kala Tiga Wisesa. Kolem lambang tempat menyimpan panah. Ini artinya lambang kekuatan rokhani sebagai kekuatan untuk mengalahkan musuh. Endongan adalah lambang anugerah kesejahtraan.
Perayaan Galungan dan Kuningan ini amat sejalan tattwanya dengan Hari Raya Wijaya Dasami di India. Kata Wijaya dalam bahasa Sansekerta artinya menang. Sedangkan dalam bahasa Jawa Kuno kata Galungan dan Dungulan juga berarti menang. Karena itu Hari raya Galungan dan Hari raya Wijaya Dasami memiliki makna yang sama yaitu mengingatkan umat agar dengan kesadaran sendiri untuk menegakkan dharma agar hidup ini senantiasa “Galang Apadang”.
Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun berdasarkan perhitungan tahun Surya. Karena itu Hari Raya Wijaya Dasami dirayakan pada bulan April dan Oktober. Wijaya Dasami dirayakan sepuluh hari. Tiga hari pertama dirayakan dengan pusat pemujaan ditujukan pada Tuhan sebagai Dewi Durgha. Tujuannya untuk menghancurkan niat buruk dan membangun niat suci. Tiga hari kedua memuja Tuhan sebagai Dewi Saraswati agar niat suci itu disertai dengan ilmu pengetahuan. Tiga hari yang ketiga memuja Tuhan sebagai Dewi Laksmi agar niat suci dan ilmu pengetahuan itu menghasilkan kesejahteraan. Hari kesepuluh baru dirayakan dengan kemeriahan dengan fokus pemujaan Tuhan sebagai Dewa Ganesha dan Laksmi. Ini melambangkan anugerah rasa aman dan sejahtra sebagai hasil eksistensi niat suci dan menguasai ilmu pengetahuan.
Sumber: Bali Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar