Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi "Pasek Dukuh Bunga Asahduren": Tapa Sadhana Memperkuat Kualitas Satya

Minggu, 03 Juni 2012

Tapa Sadhana Memperkuat Kualitas Satya

Kebanyakan orang menggunakan alasan untuk membenarkan dirinya mengomeli pasangannya sehubungan dengan apa yang mereka tidak suka pada pasangannya, atau mempergunjingkan tentang cacat cela orang lain. Ini bukanlah spirit satya. Kita tidak ingin mengekspos kesalahan-kesalahan, keburukan-keburukan atau aib orang lain. konfrontasi seperti itu dapat menimbulkan perdebatan dan pertengkaran. Sebenarnya, tak seorangpun tahu kesalahan-kesalahan orang lain sebaik pengetahuannya tentang kesalahan yang ada pada dirinya sendiri. Tetapi, kebanyakan orang senang mengekspos kesalahan orang lain dan berusaha menutupi kesalahan sendiri. Semut di seberang tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak. Kesalahan kecil orang lain diekspos, kesalahan besar diri sendiri diabaikan. Ketakutan dan keringkihan hati sering mempengaruhi, sementara tidak ada motivasi dan niat baik untuk memperbaiki kebiasaan itu. Oleh karena itu, membangun niat suci, berpandangan positif, membangun paradigma baru, mengalihkan konsentrasi ke dalam diri sendiri dan membiarkan penyembuhan internal terjadi. Ini adalah kebijaksanaan. Ini adalah ahimsa, tanpa kekerasan. Ini adalah satya, kebenaran, kejujuran atas dasar kebijaksanaan. Para arif bijaksana sangat berhati-hati agar tidak sampai menghina atau mencela orang lain, bahkan dalam hal
menyampaikan kebenaran, yang mana sering dilakukan oleh para penceramah murahan yang mengaku mengusung kebenaran dengan sibuk menghina dan mencaci-maki orang atau pihak yang tidak disenanginya. Para bhakta yang bijaksana menyadari bahwa ada kebaikan dan keburukan di dalam diri setiap orang. Di sana ada emosi yang senantiasa naik dan turun, mental yang silih berganti dihiasi kegembiraan dan diterpa depresi, ketabahan dan keputusasaan. Mari kita fokus pada hal-hal yang positif. Di sini ahimsa dan satya bekerja bersama-sama.
Para pencari Brahman, pencari kebenaran yang sejati, harus senantiasa mengusahakan agar jiwanya menjadi suci. Jiwa yang suci adalah jiwa yang benar-benar tidak ada dusta di dalamnya. Semasih ada dusta di dalam diri kita, kita tidak akan pernah diterima di alam kesucian, artinya: kita tidak akan pernah bisa mencapai Kesadaran Brahman.
Bagaimana cara kita mengetahui bahwa kita sedang melangkah menuju Kebenaran tertinggi sementara dengan tebalnya selimut kebodohan yang penuh dengan kedustaan menyelimuti diri kita dan membutakan kita akan Kebenaran yang dituju. Pustaka-pustaka suci menyimpan tuntunan rahasia yang perlu diungkap kerahasiaannya. Siapa yang akan mengungkapnya selain si pemilik rahasia itu sendiri?
Bagaimana mungkin kita bisa mengungkap rahasia Kebenaran sementara kita belum mengenal si pemilik rahasia, Sang Pengungkap Kebenaran. Di sinilah pentingnya seorang siddhaguru bagi seorang pencari Kebenaran. Siddhaguru atau satguru adalah guru yang benar-benar telah mencapai pencerahan batin, mereka yang sudah mengenal Sang Guru Sejati. Ya, siddhaguru inilah yang menjadi “pembuka pintu” bagi kita yang masih ada dalam tahap pencarian ini. Para siddhaguru inilah yang akan mengungkap rahasia tuntunan spiritual yang tersimpan di dalam Veda. Oleh karena itu, di tengah-tengah Kaliyuga dengan selimut avidya yang sangat tebal ini, memilih seorang siddhaguru sebagai penuntun mutlak diperlukan.
Sangat sulit mencari seorang siddhaguru, guru yang benar-benar telah mencapai pencerahan batin. Namun apabila para pencari Brahman, para penekun spiritual, telah berketetapan hati menentukan seorang guru yang sudah tentu diyakini sebagai seorang siddhaguru, guru yang patut digugu dan ditiru, dipercaya dan diteladani, mereka harus benar-benar jujur kepada gurunya. Guru senantiasa menekankan kualitas hubungan yang baik di dalam komunitas pencari Kebenaran. Guru berwenang memberi wejangan, menegur atau memberi gemblengan yang harus dijalankan dalam rangka meningkatkan kualitas kesadaran spiritual para sisyanya. Sebagaimana halnya para pandhita yang konsentrasi kepada satu kebenaran yang ada pada sang guru nabe. Kebenaran terpusat pada sang guru, ini diputuskan oleh para sisya karena mereka telah menentukan dia sebagai siddhagurunya. Dengan dikonsentrasikannya kebenaran kepada sang siddhaguru, ini berarti antara sisya satu dengan yang lainnya tidak diperkenankan memberikan gemblengan rohani tertentu, menganalisa spiritualitas seseorang atas nama kebenaran, yang mana hal ini dapat dipastikan akan menimbulkan berbagai bentuk pertentangan yang merugikan bahkan menyakitkan, yang melanggar ajaran ahimsa: ajaran yang menuntun kita agar tidak menyakiti atau merugikan orang lain dan juga diri sendiri.
Para siddhaguru hanya berkonsentrasi kepada peningkatan kualitas kesadaran spiritual para sisyanya, tanpa pernah mencampuri pemahaman, keyakinan dan pengamalan yang ada di pihak lain. Mereka sangat memahami keaneka-ragaman ini, tetap menyemangati siapa saja yang percaya kepada Brahman. Mereka menghormati fakta bahwa Kebenaran adalah esa, jalan untuk mencapainya (marga yoga) sangat banyak. Mereka sangat memahami bahwa jalan yang mereka tempuh bukanlah jalan yang ekslusif sebagai satu-satunya jalan menuju Kebenaran bagi semua.
Para orang tua memiliki kebenaran bersama anak-anaknya, kebenaran yang terbatas menurut tingkat kebijaksanaan yang dimiliki. Dan, sudah menjadi tugas orang tua untuk membentuk anak-anaknya menjadi pemuda yang bertanggungjawab sebagai anggota dari komunitas keluarga. Demikian pula halnya para guru spiritual dengan sisyanya. Guru bertanggungjawab untuk membentuk sisyanya menjadi individu yang solid dari komunitas pencari Kebenaran. Siddhaguru adalah orang tua dari para orang tua dan anak-anak mereka yang dipercayakan untuk belajar dan berlatih, mengikuti segala bentuk gemblengan dari sang guru. Namun demikian, para siddhaguru tidak benar-benar inklusif , setelah sisyanya dianggap cukup “dewasa”, pintu rahasia itu telah terbuka, sisya akan dilepas untuk memasuki pintu yang telah terbuka mengikuti kemauan bebas spiritualnya dan mengalami pertumbuhan seutuhnya dalam dirinya. Ini adalah kunci dari kemajuan masyarakat pecinta hidup kerohanian.
Pengamalan niyama, untuk memperkuat kualitas satya (kejujuran) kita adalah dengan melaksanakan tapa; membangun sadhana dengan berbagai bentuk pengorbanan, baik materi, tenaga dan pikiran, menguji ketahanan mental, menebus kesalahan-kesalahan. Jika kita mendapati diri kita tidak jujur, mengkhianati suatu harapan yang kita berikan kepada seseorang, tenggelamkan diri ke dalam tapa sadhana. Lakukan sebagai sebuah “penebusan” yang panjang, bertobat, dan bertobat, dan lakukan pencermatan atas pertobatan tersebut. Kita akan segera mendapati bahwa menjadi orang jujur itu jauh lebih mudah daripada tapa sadhana, “bersepeda” itu jauh lebih mudah daripada “belajar bersepeda”, dan pencermatan akan membuat kita mampu melewati dan segera mengendalikan diri yang sering tanpa kita sadari ada dalam keadaan lepas kendali.
Kejujuran adalah kesempurnaan dari kebenaran. Kebenaran itu sendiri adalah kesempurnaan. Apabila kesempurnaan berhasil diraih, kebenaran akan ditemukan, dan spirit dari satya dan ahimsa meresap dalam diri kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar