Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi "Pasek Dukuh Bunga Asahduren": Membina Tradisi yang “Bergizi”

Minggu, 03 Juni 2012

Membina Tradisi yang “Bergizi”


srutismrti yuditam samyaan
nibaddam svesu karmasu
dharmamuulam neseveta
saadaacara matandritah

(Sarasamuccaya 253)
Maksudnya: Hilangkanlah keengganan hati itu. Upayakan terus mendalami Weda Sruti dan Smrti atau Dharmasastra itu tentang tertib perilaku Catur Varna. Segala upaya agar dilakukan dalam mewujudkan tradisi dharma itu. Latihlah terus menerus Sistacara atau membina tradisi yang suci itu.
Tradisi tanpa kreasi akan basi. Kreasi akan bergizi apabila berhasil mentradisikan visi dan misi pustaka suci. Visi dan misi pustaka suci yang sukses akan membangun tradisi yang bergizi atau bermakna. Tradisi yang bergizi membuat sabda suci berfungsi membangun hidup yang bergengsi. Hidup bergengsi itu adalah hidup yang berfungsi sesuai dengan posisi berdasarkan pustaka suci. Kuatnya tradisi berdasarkan sabda suci itu membuat masyarakat tidak risi menghadapi inovasi. Proses inovasi harus meninggi menuju cita-cita suci.
Pustaka suci Weda sabda Tuhan sumber ajaran Hindu, harus ditradisikan oleh umat penganut Weda. Proses pengamalan Weda setelah disabdakan oleh Tuhan ditafsir oleh para Resi menjadi Smrti atau Dharma Sastra. Selanjutnya dipaparkan ke dalam pustaka Sila seperti Itihasa dan Purana oleh para Resi yang sastrawan. Dari pustaka Itihasa dan Purana tersebutlah dijabarkan lagi oleh pemuka masyarakat adat menjadi tradisi atau adat istiadat mengamalkan kebenaran Weda. Tujuan mentradisikan Weda itu untuk menciptakan kebahagiaan rokhani yang disebut Atmanastusti. Demikian dinyatakan dalam pustaka Manawa Dharmasastra II.6. Adat istiadat berdasarkan Weda itu disebut Sadacara. Kata Sadacara berasal dari kata Sat dan Acara. Sat artinya kebenaran tertinggi dari Weda, dan Acara berarti tradisi atau adat istiadat yang baik. Istilah Sadacara ini dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra II.12 dan 18. Dalam Sarasamuscaya 253 ini istilah Sadacara tersebut juga dinyatakan sebagai proses untuk mentradisikan kebenaran Weda yang disebut Sat atau Satya itu. Untuk membina tradisi yang bergizi dengan menajamkan fungsi sabda suci akan kuat dengan terus menerus memuja Sang Hyang Tri Murti. Pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Murti untuk mendapatkan wara nugraha Hyang Widhi sebagai Tri Murti dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma agar umat manusia kreatif menciptakan (utpati) sesuatu yang sepatutnya diciptakan untuk terwujudnya tujuan sabda suci tersebut. Memuja Tuhan sebagai Dewa Wisnu untuk menguatkan moral dan mental dalam memelihara dan melindungi (sthiti) sesuatu yang sepatutnya dilindungi dalam rangka tegaknya visi dan misi sabda suci Weda. Pemujaan Tuhan sebagai Dewa Rudra untuk membangun kreativitas menghilangkan (pralina) sesuatu yang seyogianya dihilangkan agar tradisi sabda suci tidak terhalang oleh tradisi yang sudah usang. Dengan tegaknya proses Tri Kona yaitu utpati, sthiti dan pralina dengan benar maka akan terus terbina tradisi yang semakin bergizi mewujudkan amanat pustaka suci Weda.
Pemujaan Tuhan Yang Esa itu sebagai Tri Murti untuk memelihara struktur Tri Guna yang ideal. Kalau Guna Sattwam dan Guna Rajas seimbang mendominasi Citta atau alam pikiran maka manusia akan berniat baik dan aktif berbuat baik berdasarkan dharma. Membangun struktur Tri Guna yang ideal inilah yang wajib ditradisikan dengan tuntunan pustaka suci di samping konsisten memuja Tuhan sebagai Dewa Tri Murti. Dengan berpegang pada pengamalan ajaran Tri Kona dan Tri Guna yang ideal inilah kita bina tradisi Hindu yang semakin bergizi sabda suci.
Dalam prosesi tradisi Hindu di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya sudah semakin ada niatan dan wacana untuk membina tradisi yang sesuai dengan sabda suci. Meskipun dalam tahap pelaksanaan masih tersendat-sendat di sana-sininya. Sesuatu awal yang baik sudah semakin muncul. Membenahi adat istiadat tidak semudah membalikkan telapak tangan. Membenahi adat istiadat harus dengan kebenaran dharma dan dengan cara demokratis. Proses perbaikan adat-istiadat sangat tidak baik menggunakan kekuatan kekuasaan dan kekuatan pengaruh politik. Lakukanlah dengan cara persuasif dan edukatif. Dengan demikian dinamika adat tidak mudah memicu gejolak sosial yang mengarah konflik.
Adanya gejala perbaikan adat istiadat Hindu di Bali ke arah yang semakin baik dapat disaksikan saat ada kegiatan hari raya seperti Galungan, Tahun Baru Saka dan juga beberapa kegiatan keagamaan Hindu lainya. Dahulu perayaan tersebut selalu disertai dengan pesta-pesta dengan minuman keras dan judian. Ada perayaan dengan meledakkan mercon dan sejenisnya. Di beberapa tempat perayaan ada yang memulai dengan tradisi tanpa minuman keras dan judian serta tanpa ledakan mercon. Dewasa ini menyambut Nyepi saat Pangerupukan semakin banyak umat mengarak Ogoh-ogoh dengan sangat santun dan juga tanpa minuman keras serta tanpa ada suara ledakan mercon dan sejenisnya. Dalam tataran niat dan wacana semakin muncul melakukan kegiatan beragama Hindu yang Satvika Yadnya. Dalam tataran laksana memang masih belum begitu menonjol. Kalau saja kita tidak putus asa membenahi tradisi beragama Hindu tersebut dengan cara-cara yang santun dengan pendekatan yang persuasif edukatif tradisi beragama Hindu yang Satvika atau berkualitas rohani yang tinggi akan semakin muncul. Apalagi para guru agama Hindu dan juga para pembina umat dan penyuluh agama Hindu selalu berkomunikasi satu dengan yang lainya saling tukar imformasi dan saling berbagi ilmu. Hal itu akan mengarah semakin kompaknya arah pembinaan umat menuju ke satu arah terwujudnya kehidupan beragama Hindu berdasarkan Weda. Saat ini komunikasi tersebut sudah ada namun perlu lebih dimantapkan terus. Dharma Tula antara pembina umat Hindu seyogianya semakin sering diadakan untuk menyamakan persepsi visi dan misi dalam rang mensukseskan tujuan hidup beragama Hindu yang baik, benar dan tepat.
Sumber : Bali Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar