Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi "Pasek Dukuh Bunga Asahduren": Pengasingan Diri Secara Spiritual

Minggu, 03 Juni 2012

Pengasingan Diri Secara Spiritual

urddhvabahurviraumyesa na ca kacciçchrnoti me, dharmadarthaçca kamaçca sa kimartham na sevyate (Sarasamuccaya.11); nihan mata kami mangke, manawai, manguwuh, mapitutur, ling mami, ikang artha, kama, malamaken dharma juga ngulaha, haywa palangpang lawan dharma mangkana ling mami, ndatan juga angrêngö ri haturnyan ewêh sang makolah dharmasadhana, apan kunang hetunya; itulah sebabnya hamba, melambai-lambai, berseru-seru mengingatkan, “dalam mencari artha dan kama itu hendaklah senantiasa dilandasi dharma,” demikianlah kata hamba. Namun demikian, tidak ada yang memperhatikannya dengan alasan bahwa sangat sukar berbuat atau bertindak berlandaskan dharma. Apa gerangan sebabnya?

Pada saat kita menyerukan kembali seruan Weda agar kita selalu teguh di dalam menapaki jalan dharma, beragam tanggapan terlontar yang pada intinya mengatakan sulit melaksanakan dharma secara utuh di tengah-tengah tuntutan duniawi yang menghimpit, dan lebih sadis lagi ada yang melontarkan nada sumbang kepada para pecinta kehidupan rohani sebagai sekumpulan orang-orang dungu yang tidak bisa mengikuti perkembangan jaman, sebagai sekumpulan orang-orang yang anti kemapanan akibat keputusasaan di bidang ekonomi dan finansial, sebagai sekumpulan orang-orang yang tidak rasional, dan sebagainya.
Namun di lain pihak, tidak jarang seruan-seruan tersebut menjadi tabuh genderang yang membuatnya terjaga dari alam “mimpi” yang maya dalam tidur lelapnya di atas kasur empuk kenikmatan duniawi, yang ternyata tidak membuatnya beranjak ke mana-mana, hanya sedikit bergeser ke kiri atau ke kanan di atas kasur, tetapi tidak pernah beranjak dari tempat tidur. Tabuh genderang yang pada awalnya membuatnya terlonjak kaget dan terjaga, degub jantung sedikit terpacu, merasa terganggu kenikmatan tidur dengan hiasan mimpi indahnya, setelah kesadarannya semakin pulih, dia menyadari ada banyak aktivitas dan tugas yang menjadi kewajibannya harus dikerjakan dan diselesaikan. Orang yang bertanggung jawab akan kewajibannya merasa berterima kasih karena telah dibangunkan sebelum terlambat, bukannya membentak dan mengusir pihak yang membuat terbangun lalu menata kembali selimut hangat di tubuhnya agar dapat melanjutkan tidurnya dan menikmati mimpi-mimpi indahnya.
Alam duniawi ini disebut arcapada (alam wujud atau alam kewadagan) atau mayapada (alam maya). Arcapada adalah mayapada, semua yang berwujud ini adalah maya, tidak langgeng. Disebut tidak nyata karena ketidaklanggengannya. Agar dapat menikmati alam yang lebih nyata (alam kehalusan) bahkan alam nyata (alam kelanggengan), kita harus mengasingkan diri secara spiritual.
Mendengar kata “pengasingan” sudah cukup membuat pikiran kita menjadi tersiksa. Kenapa ini terasa begitu sulit dilakukan? Bisakah kita hanya merenungkan hal-hal spiritual, senang berusaha meresapi Brahman selama berjam-jam, sepanjang hari? Tetapi, jika rasa senang dalam merenungkan hal-hal spiritual itu datang, kita akan terlepas dari banyak beban keduniawian sampai jumlah tertentu dan mulai menimbulkan proses internal alami melalui dan ke dalam pikiran eksternal kita. Pikiran eksternal dipenuhi daya pikiran yang dibentuk oleh pengetahuan dan pendapat orang lain. Pengetahuan pinjaman ini membungkus jiwa kita, karena kebanyakan dari kita masih menggunakan kecerdasan seperti anak-anak yang sering tidak melalui penyaringan yang memadai. Pendapat mayoritas seringkali dipandang sebagai kebenaran, sama sekali tidak terlintas dalam pikiran bahwa pengetahuan, pendapat atau pandangan umum itu bisa saja salah, rehne kaprah tan nyana salah, karena sudah lumrah tidak mengira itu salah. Oleh karena itu, masa pelepasan dan pengasingan diri secara spiritual yang teratur atau pemisahan dari dunia eksternal itu perlu.
Pada perayaan hari-hari besar keagamaan, kita melihat perubahan di sisi luar, keceriaan umat, berbagai bentuk persembahan sebagai ungkapan rasa bhakti, demikian semarak, menggembirakan, gamelan ditabuh memacu semangat, dharmagita mengumandang, denting genta mengiringi aliran mantra dari sumber telaga suci Saraswati mengikuti kelok relung sungai kebhaktian, wangi kembang, dupa dan asap menyan menggiring rasa, membuka mata hati, berusaha melihat kehadiran Brahman di sekeliling kita, merasakan-Nya di seluruh rangkaian ritual dan peristiwa yang terjadi di sana. Selama pemujaan dilaksanakan, kita berusaha untuk merasakan-Nya, untuk mengalami pengalaman spiritual jauh lebih banyak daripada selama kita melakukan aktivitas normal sehari-hari. Akhirnya, sebagai usaha untuk kemajuan spiritual kita, kita memberi perhatian yang lebih pula, kita mempersembahkan yang tebaik yang bisa kita persembahkan, secara alami kita berharap mendapatkan suatu perbaikan hidup dari apa yang telah kita lakukan, kemudian memberikan penilaian pada pengalaman-pengalaman setiap hari yang kita alami, apakah kelihatannya baik atau buruk, apakah menyenangkan atau menyakitkan. Ini adalah pengalaman jiwa cukup dewasa yang melakukan jenis sadhana ini secara teratur setelah mengambil komitmen tertentu, cukup kuat memisahkan daya pikiran dari pandangan yang menyatakan dunia eksternal sebagai realitas absolut. Pada saat kita melakukan pemujaan di Pura, kita mengharapkan Brahman walaupun sekilas memandang diri kita dan apa saja yang kita persembahkan, perilaku yang cukup dihormati oleh orang-orang yang kita sucikan. Jika kita terus mengembangkan bhakti kita, pandangan Brahman yang sekilas tadi pun akan terus tumbuh.
Brahman ada di dalam dan di luar diri kita, kenapa kita tidak memuja-Nya yang ada di luar diri kita saja, apakah kita harus memuja Brahman baik yang di dalam maupun yang di luar diri kita. Ya, menurut filsafat Weda, itulah yang ideal, tetapi dari yang dua tadi secara alami bergantung pada sifat alami penganutnya. Ada yang lebih semangat memusatkan perhatian dan pikirannya pada Brahman dalam dhyana yoga mereka, dan ada yang lebih semangat memusatkan perhatian dan pikirannya yang cenderung pada pelaksanaan pemujaan di Pura atau tempat-tempat yang disucikan lainnya yang disertai dengan berbagai jenis persembahan: sesaji, musik, kidung, tari, ornamen, atau layanan selama pemujaan yang dilaksanakan dengan penuh kegembiraan. Secara umum, yang dibangun umat adalah melakukan keduanya secara seimbang antara kegembiraan dan ketenangan.
Brahman ada di dalam semua jiwa. Dia ada di sana sebagai Realitas yang tak berwujud, yang kita sebut Atman. Dia ada di sana sebagai cahaya murni dan kesadaran yang meresap di setiap atom dari alam semesta, yang kita sebut Satchidananda. Kita juga tahu bahwa Dia adalah Sang Pencipta dari semua yang ada, dan Dia ada di semua ciptaan-Nya. Jadi, secara intelektual kita yakin bahwa Brahman ada di dalam dan di luar semua ciptaan-Nya, ada di dalam dan di luar alam semesta. Dari keyakinan tersebut, kita melakukan perenungan mendalam yang panjang, yang pada akhirnya menuntun kita pada Kesadaran Sejati, Kesadaran Brahman.
Sifat alami umat dalam memuja Brahman dikembangkan melalui sadhana dan tapa, dilakukan dalam hidup sekarang ini atau dalam hidup sebelumnya. Kita harus memuja Brahman secara eksternal, merenung, memikirkan Brahman yang tak terpikirkan, mewujudkan Brahman yang tak berwujud, melayani Brahman yang tak butuh pelayanan,  sampai kita terdorong untuk duduk, menenangkan diri, masuk ke dalam jiwa kita, berhenti berbicara, berhenti berpikir dan untuk memasuki energi agung dari bhakti, kesetiaan atau ketaatan. Ini adalah cara kita memperkembangkan, cara kita memajukan spiritualitas kita sepanjang perjalanan menuju Brahman, menyelam lebih dalam dan lebih dalam lagi. Semua orang harus memuja Brahman secara eksternal sebelum mendalami pemujaan secara penuh dan sempurna. Kita tidak bisa mendalami pemujaan secara penuh dan sempurna jika tidak diawali dengan penguasaan secara eksternal.
Ketika permasalahan timbul dalam keluarga atau di tempat kerja dan emosi muncul, itu hakekatnya lupa kepada Brahman. Itu jauh lebih mudah terjadi pada orang yang selalu memandang perbedaan-perbedaan daripada yang memandang semuanya sebagai sebuah keesaan dari ciptaan Brahman. Jika emosi muncul, itu membutuhkan energi yang besar untuk mengingat Brahman setiap saat, untuk menjaga aliran kasih Brahman. Kita lebih sering melupakan-Nya. Kita mendapat pengaruh dari pikiran kita sendiri dan orang lain. Mustahil kita bisa menyadari keesaan Brahman yang bersemayam di semua wujud jika ego kita merasa diserang atau sakit hati. Jauh lebih mudah melupakan Brahman daripada mengingat-Nya, dan yang berkenaan dengan Brahman menjadi sesuatu yang tidak mengenakkan bahkan menakutkan; padahal itu adalah manah (naluri pikiran) kita sendiri dan angan-angan kita, daya pikiran nonreligius yang malah seharusnya dikhawatirkan atau ditakuti. Itu adalah setan dalam diri kita, pengacau yang menjadi sumber kesusahan dan kesulitan. Jika kita ingin mengingat Brahman, mulailah dengan sedikit meluangkan waktu secara teratur untuk mengabaikan “rasa diri” kita yang bersandarkan ahamkara (ego pikiran) dan manah (naluri pikiran), mengasingkan diri secara spiritual mengikuti “rasa jati”, ruang pikiran yang bersandarkan buddhi (akal budi pikiran) dan chitta (kesadaran pikiran) yang kita yakini dapat mengantar kita menuju kepada “jati murti”, keberadaan kita yang sejati, Atman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar